Lari dari kenyataan

85 13 1
                                    

Tidak bisakah aku tertidur lebih lama lagi? Pagi ini, ketika baru membuka mata dan melirik jam di nakas dimana kedua jarumnya kurang lebih sama menunjuk angka empat, hampir saja kusangka jam itu rusak. Setelah menilik jam di ponsel, ternyata memang benar begitu. Sepertinya memang aku yang bermasalah. Apa-apan, kenapa aku bangun cepat sekali. Sudah mencoba untuk menyelami alam mimpi lagi, tapi percuma. Hasilnya aku malah jadi teringat lagi kejadian semalam. Jadi ingin menangis lagi.

Tidak, aku tidak akan membiarkan diriku berlarut dalam kesedihan. Aku tidak akan menangisi hal itu lagi. Hari ini, aku akan melupakan semuanya. Seolah tidak ada yang terjadi. Ku putuskan untuk mencuci muka ala kadarnya kemudian mengganti pakaian yang lebih sporty. Setelan baju Adidas, ditambah topi, dan jangan lupakan headset agar secara tidak langsung menujukkan bahwa aku sedang tidak ingin diganggu. Sepertinya outfit ini cukup untuk membuatku bertahan berada di luar ruangan hingga siang nanti.

Sesuatu yang tidak direncanakan memang biasanya berjalan dengan lancar. Sebelumnya aku sering berencana ingin joging, tapi selalu gagal. Kali ini, tanpa persiapan apapun tiba-tiba saja semua terjadi dengan mudahnya. Dengan berlari dan menghirup udara pagi, ku harap semua pikiran buruk akan hilang. Jujur, aku ingin lari dari semua masalah. Tapi, tidak tahu bagaimana caranya. Jadi, berlari seperti ini kupikir mungkin akan sedikit membantu.

Aku membiarkan kaki ku berlari sesuka hati. Hanya mengandalkan insting. Tersesat, siapa takut. Yakin saja, google map pasti membantu. Walaupun aku tidak yakin baterai ponselku akan bertahan sampai akhir. Saat merasa lelah, aku duduk di segala tempat yang memungkinkan. Setelah energi terkumpul kembali, barulah kaki ini melangkah pergi lagi.

Sebuah danau kecil tertangkap oleh indra penglihatan ku. Sempat mengira itu hanya kolam ikan, tapi sepertinya bukan. Apapun itu, suasananya tenang sekali dan ada pondok kecil yang sebenarnya masih cukup untukku merebahkan tubuh atau sekedar meluruskan kaki. Ditambah ada beberapa pepohonan yang melindungi dari terik matahari yang baru ku sadari ternyata sudah ada di atas ubun-ubun. Rasanya aku seperti menemukan harta karun.

Agar dapat kembali lagi di lain waktu, ku kirimkan lokasi saat ini ke nomor Liam. Ngomong-ngomong aku tidak pernah menghapus riwayat chatku dengannya. Jangan berpikir macam-macam, aku hanya sering mengirimkan sesuatu yang harus diingat padanya agar mudah menemukannya saat dibutuhkan. Seperti materi pembelajaran hingga sekedar rencana pergi ke cafe. Karena itu ku kirimkan padanya agar tidak kelupaan dihapus. Setelah itu biarkan saja dia bertanya-tanya untuk apa aku mengirimkan lokasi tak dikenal.

Tempat apaan?

Lo ngapain ke sana?

Kurang lebih seperti itu balasan chat dari Liam yang kulihat lewat bilah notifikasi. Tanpa mempedulikannya, ku simpan kembali ponselku kemudian merebahkan diri di tempat sempit ini. Cukup nyaman. Jujur saja sudah lumayan lama aku tidak menemukan tempat yang nyaman untuk beristirahat bahkan di rumah sekalipun. Di sini, aku bisa bernapas dengan baik. Tidak sesak seperti saat di rumah. Tapi, tetap saja otak ku tidak bisa berhenti bekerja.

"Berisik!" Tanpa sadar kata itu keluar begitu saja dari mulutku.

Emosi ku naik turun tanpa dapat diprediksi. Itu sangat menyebalkan. Baru saja aku dapat bernapas dengan lega, tiba-tiba pikiran buruk kembali datang sehingga emosi kembali naik. Sudah mencoba untuk menghilangkan segala sesuatu yang mengganggu pikiran, tak lama kemudian pemikiran itu lagi-lagi datang tanpa ku sadari. Kepalaku terus berdenyut nyeri dibuatnya. Ditambah perutku juga mulai terasa tidak nyaman.

Sepanjang hari hanya sibuk mengendalikan emosi sampai tidak menyadari bahwa langit mulai gelap. Ku putuskan untuk beranjak meninggalkan tempat yang tiba-tiba menjadi terasa menyeramkan ini. Tentu saja perjalanan ku tempuh dengan berjalan kaki sepenuhnya. Alasannya agar tidak cepat sampai ke rumah. Malahan sengaja mampir ke beberapa tempat yang sekiranya dapat membantu menaikkan mood. Walaupun akhirnya semua sia-sia. Malahan tubuhku terasa semakin tak karuan.

Sebenarnya seharian ini aku melakukan apa saja. Ketika menyadari diriku tengah duduk seorang diri di halte di tengah heningnya malam, saat itu aku mulai mempertanyakan kewarasanku. Sialan, aku terlihat seperti orang gila saja. Memikirkannya membuatku bergidik, aku tidak mau menjadi gila. Aku harus pulang sekarang juga. Tapi, nampaknya kendaraan umum sudah tidak banyak yang lewat dan aku sudah tidak mampu berjalan lebih jauh lagi. Apalagi ponselku mati kehabisan daya karena tadi pagi terpaksa ku bawa meski prosentase baterainya tak seberapa. Sekarang selain terlihat seperti orang yang tak waras, aku juga terlihat seperti gelandangan.

Ditengah kebingunganku, tiba-tiba sebuah mobil berwarna hitam yang tampak familiar berhenti tepat di hadapanku. Seseorang di balik kemudi membuka pintu dan bergegas menghampiriku. Anak itu, bagaimana dia bisa menemukanku. Teman macam dia ternyata berguna sekali.

"Jidan anjing. Gue muter-muter nyariin lo dari tadi, bisa-bisanya malah duduk nyantai di sini. Goblok banget jadi orang, nyasar sampe nggak bisa pulang sendiri," dia mengumpat di hadapanku sembari berkacak pinggang. Tak seperti ucapannya yang pedas, raut wajahnya kentara sekali sedang khawatir. Cih, ternyata ada yang mengkhawatirkanku juga rupanya.

"HP lo kemanain? Jaman udah canggih, nyasar tuh tinggal buka google map. Minimal tuh jadi orang pinter dikit. Nanya kek, sama orang. Usaha, jangan pasrah doang begini. Dihubungi juga nggak aktif terus. Kalo gue nggak nyariin, mau gimana lo--"

"Mati," ucapku memotong kalimatnya yang sepanjang jalan kereta api. Melihat Liam terdiam dengan ekspresi terkejut mendengar ucapanku, aku terkekeh pelan kemudian merevisi ucapanku sebelumnya. "HP gue mati."

Dia tampak menghembuskan napas lega. Sepertinya dia sempat menahan napas tadi. Okay, salahku karena bicara setengah-setengah. Walaupun sejujurnya ucapanku sebelumnya tak sepenuhnya salah. Sempat terbesit di pikiranku untuk mengakhiri hidup saja. Kalau Liam tidak datang, walau kecil kemungkinannya, bisa saja aku nekat lari ke tengah jalan ketika ada kendaraan lewat. Untungnya hanya pemikiran sesaat. Dan beruntungnya lagi, bantuan datang.

"Pulang!" ucapanya terdengar tak terbantahkan. Aku menurut saja, mengikutinya masuk ke mobil. Duduk di sebelahnya tanpa perlawanan.

Setelah mobil yang dikendarai Liam mulai bergerak, saat itu tiba-tiba aku menyadari betapa tidak nyamannya perutku. Diingat-ingat lagi, aku tidak menelan apapun sejak bangun tidur. Hanya sebotol air mineral yang ku beli sekali di mini mart tadi. Bodoh memang. Apalagi denyutan di kepala tak kunjung hilang sedari tadi. Terlalu rumit untuk dijelaskan, intinya aku lelah. Sehingga tak butuh waktu lama untukku memejamkan mata dan semua rasa tak nyaman tak lagi ku rasakan.





























26/7/24

Anak MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang