Tergantung Mindset

51 13 4
                                    

Dalam hidup, masalah pasti akan datang silih berganti. Masalah datang, kemudian waktu akan berlalu hingga tanpa disadari kita bisa melewati masalah itu dan menjadi seseorang yang lebih kuat. Setelah itu masalah yang lebih besar akan datang, sadar atau tidak pada akhirnya kita akan melaluinya dan menjadi lebih kuat lagi. Saat menoleh ke belakang, ternyata masalah yang dulu pernah kita anggap berat ternyata bukanlah apa-apa. Karena kita sudah semakin kuat dan masalah yang datang kini dianggap terlalu berat. Pada akhirnya semua akan berlalu juga.

Tapi, sampai kapan? Sampai kapan siklus itu akan terus berlanjut. Harus melapangkan dada selebar apa lagi untuk menghadapi hidup yang semakin rumit ini. Rasanya aku sudah bosan menghadapi semuanya. Kenapa rasanya bahagia jarang menghampiri ketika masalah justru terus menerus datang. Bukankah itu tidak adil?

Lalu untuk apa sebenarnya aku hidup? Untuk menghadapi masalah kemudian menjadi pribadi yang kuat? Setelah menjadi pribadi yang kuat lalu apa? Apa yang akan kudapat nantinya?

Sayangnya aku begitu pengecut sampai tidak berani untuk sekedar meminta kematian menjemput. Jangankan melompat dari atap gedung empat lantai ini. Tersandung kaki meja saja rasanya sudah luar biasa sakitnya. Iya kalau langsung mati, bagaimana kalau harus merasakan sakit yang luar biasa dulu. Bagaimana kalau ternyata mati justru sangat menyakitkan.

"Ngapain lo!"

Jantungku rasanya hampir melompat keluar ketika sedang sibuk bergelut dengan pikiran tiba-tiba suara melengking milik pemuda berkulit putih itu mengejutkanku. Aku menatap nyalang pemuda itu, tapi dia malah tertawa puas. Sudahlah, aku sedang tidak mood untuk berdebat dengannya. Kuputuskan untuk kembali menyamankan posisi duduk, menikmati semilir angin meski panas matahari cukup menyengat.

"Ternyata lo bisa bolos juga, ya? Bisa nyampe ke rooftop lagi. Keren!"

Aku melirik Liam tak habis pikir. Kenapa dia menyebalkan sekali. Hobi bikin orang emosi. "Lo ketua OSIS! Lebih aneh kalo lo yang bolos."

"Makanya gue lebih keren daripada lo." Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikirannya. Biarkan sajalah, anggap saja suara angin yang berlalu.

"Lagian ngapain lo bisa sampe ke sini? Mau lompat ke bawah biar viral?"

"Mulut lo beliin filter, deh." Meski aku sudah bertekad tidak akan meladeni bocah itu, tetap saja setiap ucapannya selalu saja memancing emosiku.

"Muka lo suram banget soalnya, kayak masa depan lo. Kayak muka-muka orang depresi."

Dia tertawa terbahak-bahak. Puas sekali mengejekku. Apa wajahku benar-benar seperti itu? Aku memang stress sepertinya, tapi kurasa tidak separah itu. Otakku ini memang menyebalkan. Harusnya aku ke sini untuk menenangkan pikiran, tapi pikiranku malah jadi semakin berantakan.

"Mau nyoba ngerokok? Katanya rokok bisa ngilang stress, loh."

Dasar setan, bukannya memberi solusi malah mengajari anak polos sepertiku berbuat kenakalan. Sesat memang. Kenapa pula aku berteman dengannya.

"Emang lo pernah nyoba?"

"Nggak, sih. Gue denger dari bang Haidar." Anak itu malah cengengesan.

Sebagai cowok, sebenarnya aku ingin mencoba hal seperti itu. Tapi, sekali lagi kukatakan aku ini anak mama. Aku tidak berani menentang mama meski di belakangnya. Mama melarang keras aku merokok. Walaupun sebenarnya aku pernah mencobanya sekali. Benar-benar sekali hisap, setelah itu batuk-batuk parah. Semua gara-gara bang Haidar.

"Atau mau coba minum?" Liam menaik turunkan kedua alisnya. Menatapku dengan senyum penuh arti.

"Minum jus jeruk aja gue mah. Lo nggak usah ngadi-ngadi, deh," ketusku. Makin ngawur aja ucapannya.

Anak MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang