Hidup sebercanda itu, ya? Usahaku selama ini tidak membuahkan hasil. Berbulan-bulan aku belajar mati-matian siang malam, sampai kurang tidur bahkan sering mimisan karena terlalu stress. Nyatanya, aku tidak lolos tes seleksi masuk perguruan tinggi yang mama dambakan. Bodoh. Aku memang bodoh.
Rasanya dunia ini benar-benar tidak mau berpihak kepadaku. Semua yang kulakukan berakhir sia-sia. Jangankan mama, aku pun rasanya marah sekali. Tapi, entah siapa yang harus ku salahkan.
Hampir saja aku melampiaskannya dengan melenyapkan diriku sendiri. Untunglah masih ada bang Jen yang tiba-tiba datang sebagai penyelamat. Dia benar, kalau dia tidak datang mungkin sekarang aku ada di rumah sakit. Entah dengan jantung yang masih berdetak atau tidak.
Sampai sekarang pun, kejadian itu masih terbayang di kepalaku. Apakah aku benar-benar ingin mati? Aku tidak yakin. Mungkin itu hanya emosi sesaat, atau sebenarnya jauh di dalam lubuk hatiku memang ada keputus-asaan yang sedalam itu.
Untuk menghilangkan semua pikiran buruk itu, aku memilih melampiaskan emosi ku dengan bermain musik. Dengan segenap jiwa dan raga, jari-jariku memetik senar gitar yang baru saja ku stem itu.
Melody yang terdengar benar-benar isi hatiku yang sesungguhnya. Benda yang paling jujur. Mengungkapkan apa yang tidak dapat kuungkapkan.Tepat setelah petikan gitarku berakhir, suasana mendadak sunyi. Hanya beberapa detik kemudian, setelah itu tepuk tangan terdengar riuh. Saat itu aku baru menyadari kalau caffe ini sedang ramai sekali pengunjung. Dan mereka semua memberikan apresiasi untukku dengan bertepuk tangan. Bahkan beberapa menyempatkan untuk berdiri. Jadi, seperti ini rasanya mendapatkan apresiasi dari orang lain.
"Udah, pertunjukan solonya?" tanya bang Navis tiba-tiba menghampiri dengan berkacak pinggang. Tapi, wajahnya sama sekali tidak terlihat garang. Jadi, aku menyengir saja untuk menanggapinya.
Sebenarnya aku tahu alasan kenapa dia marah. Aku menurunkan pandanganku mengikuti arah pandang bang Navis. Kakiku yang beralaskan sandal hasil meminjam dari bang Jo, masih penuh luka dengan banyak kotoran yang menempel di sana.
Ketika kami baru saja sampai di sini tadi, langsung disambut raut khawatir semua orang. Sepertinya bang Jen memang mengabari semua orang tentang kondisiku. Makanya sampai tiga orang sekaligus yang datang menjemput kami, bahkan langsung disambut yang lain saat baru sampai di caffe.
Aku disuruh duduk sembari menunggu bang Navis yang sedang mengambil alat-alat untuk mengobati luka-lukaku. Ribet, padahal kupikir tadi sudah mampir ke apotek membeli antiseptik dan kain kasa memangnya butuh apa lagi.
Dengan pikiran yang masih merawut, aku naik ke atas panggung ketika melihat gitar baruku terpajang dengan apik di sana. Semua terjadi begitu saja. Pertunjukan itu, sama sekali tidak direncanakan.
"Dibilangin suruh cuci kaki, malah bikin pertunjukan. Lo pikir keren kayak gitu?!"
"Keren banget anjir!" celetuk bang Marvin.
"Untung udah gue rekam, walaupun nggak dari awal, sih." Bang Haidar mengutak-atik ponselnya, dari wajahnya tampak puas dengan hasilnya.
"Udahlah, sana cuci kaki sekarang. Abis itu ke sini lagi, gue obatin dulu lukanya. Jijik banget, anjir lukanya dibiarin kayak gitu!"
Karena aku juga mulai merasakan kakiku teramat perih, akhirnya aku pergi ke toilet untuk membasuh kakiku. Tak hanya di telapak kaki, rupanya lukanya sampai ke lutut. Bahkan sampai di tangan ke siku. Ternyata lumayan banyak juga. Sungguh, rasanya perih sekali saat air mengguyur luka-luka itu.
Setelah mengeringkan kaki, bang Navis mulai mengobatinya. Walaupun laki-laki, dia telaten sekali. Lihatlah, dia seperti seorang ibu sekarang. Tapi, bukan ibuku pastinya, mamaku bukan tipe ibu yang sehangat itu. Gengsinya tinggi sekali. Seperti tadi, walaupun aku melihat raut terkejutnya ketika kelepasan melempar gelas, tak membuatnya bergerak untuk sekedar menilik sedikit luka diwajahku akibat pecahan kaca. Bahkan tak sepatah katapun terlontar dari bibirnya. Mengingatnya, aku jadi kesal lagi.
"Awww …." Aku meringis menahan perih ketika bang Navis tiba-tiba menekan lukaku.
"Diajak ngomong malah ngelamun. Kebiasaan!" sungut bang Navis. Lagian, aku sudah bosan mendengar omelan mama, masih harus mendengar omelan bang Navis. Malas sekali. Walaupun cara mengomelnya beda, tidak ada efek membuat dada sesak dan telinga berdengung, tetap saja malas mendengarnya.
"Lo kebanyakan ngelamun tahu nggak! Tinggal nunggu waktu sampe lo kesurupan, nih," timpal bang Marvin.
"Bukan kesurupan, kayaknya bentar lagi gue bakal gila, deh Bang. Kepala gue berisik banget, sumpah," keluhku.
"Tenang aja, rumah sakit jiwa masih bisa nampung," ledek Liam. Aku memberinya bombastis side eye. Kalo abang-abang yang lain mengomel tidak apa-apa. Tapi, kalau dia pengecualian. Soalnya dia nyebelin.
"Tapi, nanti band kita nggak bertujuh lagi, dong. Bukan 7dream kalo gitu," sahut bang Jun.
"Rekrut member lagi, lah. Atau bang Jo suruh join aja," Bang Jen malah ikut mengompori.
"Nggak cocok, mukanya terlalu sangar. Gue ngerasa kayak bocah banget kalo sebelah dia." Bang Haidar ikut menyela.
"Maksud lo muka gue nggak cocok jadi band? Keliatan tua?" tak disangka, bang Jo tiba-tiba muncul. Menaruh beberapa cangkir kopi di meja kami. Liam segera meraih es latenya dan meminumnya seperti sudah lama menahan haus. Memang, cuaca hari ini walaupun mendung tapi rasanya panas sekali.
"Ampun bang …, becanda!" Bang Haidar menyengir sambil menyatukan kedua tangannya. Melihat interaksi kakak beradik itu, aku jadi teringat adikku. Elea, apakah dia baik-baik saja? Aku tidak sempat melihat keadaannya tadi. Jangan-jangan dia malah jadi sasaran kemarahan mama di rumah.
"Jangan terlalu dipikirin. Hidup tuh dinikmati aja. Selow …." Aku menoleh mendapat tepukan di punggung, rupanya bang Jun. Pemuda itu tersenyum hangat, sedangkan aku membalasnya dengan ekspresi jijik. Senyum tak biasa itu mencurigakan. Tapi, yang kudapat malah tepukan yang lebih keras di punggungku.
"Nanti juga ketemu jalannya," bang Marvin ikut menambahkan.
"Mending sekarang kalian naik sono. Berisik di sini rusuh doang, sakit telinga gue. Kalo berisik main musik, kan enak di denger." Sepertinya bang Jo mulai tak tahan dengan kerusuhan yang diciptakan adiknya bersama yang lainnya.
"Iya, dong. Siapa dulu vokalisnya. Berkat suara emas gue, tuh." Abaikan saja. Bang Haidar itu, semakin ditanggapi malah semakin senang. Kami bertujuh-- termasuk bang Jo kompak membubarkan diri meninggalkannya duduk sendiri di meja. Bayangkan sendiri bagaimana ekspresi kesal bang Haidar.
Setelah itu kami mulai naik ke atas panggung. Mengambil posisi masing-masing. Aku duduk di bangku yang tadi kutempati. Biasanya, aku lebih nyaman berdiri sebenarnya. Tapi, berhubung kakiku banyak luka dan dililit banyak perban, posisi duduk tidak buruk juga. Walaupun menurutku jadi tidak keren, tidak apa-apa.
Belajar dan ujian masuk kuliah, lupakan saja. Yang terpenting sekarang aku masih bisa bermain musik. Musik adalah hal yang benar-benar ingin kulakukan. Akhirnya aku menemukan hal yang ku inginkan. Aku tidak akan melepaskannya. Tidak peduli meski mama menentangnya dengan keras. Aku akan tetap melakukannya. Daripada menyiksa diri dengan belajar, tapi tak pernah ada hasil yang memuaskan. Lagipula pada hakikatnya memang manusia tidak pernah puas. Selalu saja merasa kurang. Seperti kata bang Jun, aku akan mencoba lebih menikmati hidupku. Dengan bermain musik.
Maaf kemaren nggak update
Soalnya pusing banget
Flu pilek
Kalian jaga kesehatan yaMaaf banget kemaren aku nggak bisa selesein bikin satu part buat dipublish
Untungnya hari ini bisa selesai
Aku up awal nih
Otw tidur
Maaf kalo part ini mengecewakan4/8/24
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Mama
FanfictionKata orang, aku terlalu penurut. Menjadi penurut juga melelahkan sebenarnya, aku hampir menyerah. Tapi, apa salahnya menuruti ucapan orang tua? Hanya karena mama selalu mengaturku dan aku menurutinya lalu mereka akan memanggilku anak mama? Pedul...