Alasan untuk bahagia

61 13 2
                                    

Menurutku senyuman dapat mendatangkan kebahagiaan. Jadi, aku tersenyum agar bahagia bukan karena bahagia. Karena itu, rasanya aku hampir lupa seperti apa bahagia yang sesungguhnya. Tapi, hari ini aku mengingatnya.

Semangat meledak-ledak, jantung berpacu cepat, hingga senyum lebar yang kupamerkan kini bukan sekedar untuk mencoba menemukan kebahagiaan, aku yakin kali ini benar-benar bahagia. Kebahagiaan yang seringkali kucari-cari, kini kudapatkan hanya karena mengiringi seseorang yang bernyanyi dengan suara lantang nan merdu dengan gitar kesayanganku ini. Hingga petikan terakhir, senyumku masih enggan memudar. Aku tidak bisa menyembunyikan rasa senangku dan kurasa memang tidak perlu disembunyikan.

Sang vokalis yang berhasil membuat penampilan malam hari ini pecah menyalami setiap dari kami yang sama-sama berada di atas panggung. Hingga terakhir, ketika menyalamiku dia tersenyum lebar kemudian merangkulku.

"Jidan, lo keren banget! Gue nggak nyangka lo berkembang sebanyak ini," ucapnya dengan bangga.

"Makasih, Bang. Gue bakal belajar terus biar makin pantes ngiringi suhu kayak lo, Bang."

Sumpah, aku malu sekali mendapatkan pujian langsung dari seseorang yang kukagumi. Dia senior kami, anggota band paling terkenal dalam sejarah sekolah kami. Vokalis yang memiliki warna suara sangat khas dan visual yang tak kalah keren. Pertama kali aku berinteraksi dengannya saat pertama kali datang ke tempat ini bersama Liam. Dia juga yang menyarankanku untuk belajar bermain gitar. Kalau mau dilebih-lebihkan, dia guru musikku yang pertama.

"Bang Beni disogok pake apa sama Jidan?" celetuk Liam. Anak itu memang paling rese. Tidak bisa melihat temannya senang sedikit saja.

"Syirik tanda tak mampu!" balasku.

"Gue serius, kok. Jidan mainnya udah jauh lebih bagus daripada dulu. Perkembangannya pesat banget. Kalian beruntung dapet gitaris berbakat kayak dia."

Pujian dari bang Beni tadi masih teringiang di kepala. Sepanjang perjalananku pulang ke rumah, kubiarkan kedua sudut bibir ini terangkat selagi sebagian wajahku tertutup masker dan kaca helmet. Kalau orang-orang melihat, aku bisa dikira gila senyum-senyum sambil mengendara.

Ternyata bahagia itu sederhana. Kebahagiaan datang lebih sering dari yang aku kira. Hanya saja seringkali aku tidak menyadari setiap kenikmatan yang kumiliki. Setiap hal yang seharusnya bisa kujadikan alasan untuk bahagia, kadang-kadang aku melupakannya. Bahagia itu tidak sulit, kita hanya perlu mencari alasan sekecil apapun untuk menjadi bahagia.

Bisa berkendara malam-malam sambil menikmati hembusan angin malam dan menikmati waktu sendiri, aku sangat bersyukur untuk itu. Dapat melupakan sejenak beban pikiran hanya dengan bermain musik saja aku sudah senang sekali. Setidaknya aku tahu cara untuk menyembuhkan diriku sendiri. Mama masih belum mengetahui tentang aku yang hampir setiap hari pergi ke caffe untuk bermain musik bersama teman-teman, itu merupakan hal yang wajib kusyukuri. Bagaimana kalau suatu saat mama tahu dan melarangku untuk pergi ke sana lagi?

Oh iya, mama. Ini sudah terlalu malam, bagaimana kalau mama marah lagi. Tadi terlalu menyenangkan sampai aku lupa waktu. Saat ini, ketika motorku berhasil terparkir di garasi kudapati jarum jam sudah menunjuk angka sembilan. Hanya sekitar lima menit lagi jarum panjangnya akan menyentuh angka dua belas. Tamat riwayatku.

Apa aku lewat pintu belakang saja? Tidak mungkin, jam segini pasti pintu belakang sudah dikunci. Andai saja aku bisa naik ke balkon kamarku tanpa bantuan tangga seperti spiderman. Oh, haruskah aku mencari tangga untuk naik dan masuk lewat pintu di balkon kamarku?

Aku menghela napas. Lupakan saja. Aku memang bersalah kali ini dan harus menghadapi apapun konsekuensinya. Diomeli sekasar apapun, akan aku terima. Bahkan meski harus mendapatkan hukuman, akan kujalani juga. Aku tidak boleh lari dari masalah sekecil ini.

Anak MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang