Kasihan

61 11 0
                                    

Setelah seharian otak bekerja keras, ketika hendak pulang rupanya tubuhku pun masih harus bekerja keras juga. Langit sudah semakin gelap, tapi kuda besi yang harusnya mengantarku pulang sampai ke rumah nyatanya malah tiba-tiba merajuk. Sudah mencoba mencari apa yang salah, tapi sepuluh menit berakhir sia-sia. Pada akhirnya, aku harus mendorongnya ke bengkel terdekat.

Masalahnya bengkel terdekat dari titik awal motorku mogok rupanya tutup entah untuk alasan apa. Mungkin memang tutup, atau sedang beristirahat. Jadi, aku harus mendorongnya lebih jauh lagi. Sialnya bengkel yang lain jaraknya lumayan jauh. Sempat berpikir untuk meninggalkan motor di tepi jalan, tapi motor ini satu-satunya hartaku. Aku tidak bisa kehilangannya.

Sudah hampir pukul tujuh. Mama marah tidak, ya? Alasan keterlambatanku sudah jelas, karena motorku mogok. Masa iya, mama masih mau marah. Tapi, aku sama sekali tidak bisa memprediksi jalan pikiran mama. Kemungkinan terburuknya, mama hanya akan semakin mengomel menyalahkanku karena tidak merawat barangku dengan baik.

"Kalau nggak bisa ngerawat nggak usah pake motor sekalian!"

Aku sudah bisa membayangkan mama mengatakan hal itu. Walaupun bisa saja itu hanya pikiran burukku, tapi bukan hal mustahil. Hari ini benar-benar buruk.

Ketika menarik napas rasanya berat sekali. Rasanya lelah sekali. Tak hanya kaki yang lelah melangkah, tangan yang pegal mendorong motor, punggung yang ingin segera direbahkan, perut perih karena terlambat makan, otakku juga lelah bekerja keras. Tak cukup bekerja keras memikirkan soal-soal ujian, otakku ini masih saja memikirkan hal lain yang sangat mengganggu. Padahal sudah seminggu berlalu, tapi kalimat itu masih terngiang di kepalaku.

Aku hanya butuh Elea. Kau pergilah dan bawa anak haram itu.

Bawa anak haram itu.

"Anjing! Bangsat! Berhenti mikirin hal-hal nggak penting kayak gitu!" teriakku frustasi dengan isi pikiranku sendiri. Biar saja kalau ada yang dengar. Aku tidak peduli. Sungguh. Saat ini rasanya aku ingin menghilang saja. Aku ingin meninggalkan semua perasaan ini. Ingin bersenang-senang tanpa mempedulikan apapun. Ingin berdiri di atas panggung, memetik gitar menciptakan nada-nada yang ingin ku sampaikan. Sialan, aku tidak bisa melakukan itu. Aku tidak bisa melarikan diri.

"APASIH BERISIK MULU!"

Lantaran terlalu kesal, benda elektronik berukuran segenggam tangan di ponselku sampai ikut jadi pelampiasan emosi. Sejak tadi kubiarkan bergetar sampai berhenti sendiri, tapi tak kunjung berhenti.

Sebenarnya aku takut itu mama, makanya berniat akan mengabaikannya saja. Tapi, saat kulihat nama si penelpon rupanya seseorang yang sama sekali tak terpikirkan. Juniar. Tumben sekali.

"Halo?" sapaku setelah sebelumnya mencoba mengontrol emosi.

"Hari ini hadir nggak, bro?" tanyanya tanpa basa basi menjawab sapaanku.

"Nggak."

"Yaudah, deh. Semangat belajarnya, si paling murid teladan," ucapnya kemudian terkekeh seperti meledekku.

"Nggak usah--" emosiku hampir terpancing, untungnya ia buru-buru memotong ucapanku. Dari tadi sudah ingin marah-marah, malah ada yang mancing emosi. Kan, jadi kesel.

"Gue nggak becanda. Serius, ngasih semangat. Jangan males-malesan, lo!"

Aku diam tak menjawab. Takut kelepasan lagi. Pasti karena sedang emosi, kalimat positif dari bang Jun sebelumnya jadi terdengar seperti meledekku. Padahal niatnya baik.

"Eh, bentar. Lo lagi di jalan? Jangan telpon sambil berkendara woy! Bahaya anjir! Nurut apa kata pak polisi. Gue bukan mau ngomongin yang penting-penting amat, kok. Lo mending--"

Anak MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang