Khawatir

98 14 0
                                    

Ketika kedua mata ini terbuka, cahaya lampu menyambut membuatku harus mengerjap beberapa kali hingga dapat melihat dengan baik. Kuedarkan padangan, ruangan asing berbau obat-obatan ini entah bagaimana mudah sekali ditebak. Apalagi ketika kulihat kantong infus yang menggantung di tiang, sudah pasti ini rumah sakit. Jadi, setelah kuingat lagi malam itu sepertinya aku pingsan di dalam mobil Liam. Kalau tidak, mana mungkin aku berakhir di sini.

Huh, aku ingin tidur lebih lama lagi. Aku tidak peduli sudah berapa lama tertidur sebelumnya. Rasanya detik ini aku masih belum siap menghadapi kenyataan. Terlalu sulit untuk mencegah semua ingatan yang memaksa masuk ke dalam pikiran. Aku lelah berperang dengan pikiranku sendiri. Tapi, meski berkali-kali mencoba untuk memejam kembali, aku tidak dapat terlelap lagi.

"Kak Ji! Kakak udah bangun? Apa ada yang sakit? Butuh sesuatu?"

Mendengar pertanyaan beruntun itu, aku menoleh sampai menemukan Elea berdiri di sampingku dengan raut khawatir yang begitu kentara. Sebagai jawaban, aku hanya memberikan gelengan kepala pelan. Terserah dia mengartikannya seperti apa. Sebenarnya maksudku, aku sendiri tidak tahu apa yang kurasakan. Sepertinya, beberapa bagian tubuhku memang terasa tak nyaman. Tenagaku juga seperti tersedot habis. Moodku jauh lebih buruk. Berbicara saja malas sekali kurasa.

Melihat reaksiku yang minim sekali, gadis itu malah tampak panik. Dia bergegas keluar ruangan. Hanya beberapa detik setelahnya dia kembali bersama mama dan seorang perawat, kemudian seorang dokter pun datang menyusul. Wanita dewasa berpakaian putih itu memeriksaku dan mengajukan beberapa pertanyaan. Karena moodku masih buruk dan tenaga yang minim, kujawab dengan gelengan dan anggukan kepala saja. Setelah memberi beberapa wejangan, dokter itu keluar. Mama yang sedari tadi tak pernah melepaskan pandangannya dari ku pun turut keluar saat perawat keluar ruangan.

Di saat seperti ini pun mama masih enggan menunjukkan perhatiannya padaku. Sebenarnya mama bersikap seperti itu karena memang egonya terlalu tinggi atau aku memang tak seberharga itu untuknya.

Yah, mama lebih baik dari papa setidaknya. Walaupun aku ini bukan anak kandungan, masa iya dalam kondisi seperti ini pun pria gila kerja itu sama sekali tak berniat menunjukkan wajahnya di hadapanku. Sekedar menujukkan bahwa masih ada sedikit rasa peduli untukku.

Cih. Berharap apa aku ini. Papa tidak bersalah karena tidak peduli pada seorang remaja yang bukan darah dagingnya. Mama juga sudah memberikan usaha sebanyak ini untukku. Mengurus orang sakit itu tidak mudah. Menyusahkan sekali aku ini. Sudah begitu masih meminta lebih.

Sesak sekali rasanya. Baru juga bangun, sudah sibuk berperang dengan pikiran. Kubilang berhenti berpikir! Memikirkan semua itu hanya akan menyakiti diriku sendiri. Wahai otak, tolong kerjasamanya kali ini saja.

Tanpa ragu, kutempeleng saja kepalaku yang berisik ini. Sialan, rasanya sakit walaupun sedang minim energi begini. Tapi, entah bagaimana malah menjadi candu. Tanpa berniat mengurangi kekuatan, kulayangkan kembali pukulan pada kepala yang menyebalkan ini. Namun, belum juga mendarat tanganku sudah ditahan oleh seseorang. Aku baru ingat, Elea masih di sini.

"Kak Ji, tolong jangan kayak gini," pintanya dengan nada memohon. Kedua matanya sudah berkaca-kaca.

Bodoh, pemandangan seperti ini pasti menyakitinya. Aku melukai adikku sendiri. Tanpa sadar aku juga memperlihatkan sisi lemah dan sisi bodohku. Sebagai kakak, seharusnya aku memberikan contoh yang baik.

"Maaf." Kata pertama yang baru kuucapkan setelah terbangun itu membuatku sadar ternyata suaraku serak sekali.

Mendengar ucapanku yang tak begitu jelas, tangis gadis itu pecah. Aku jadi kelabakan sendiri. Kenapa dia malah menangis? Apa dia begitu terkejut dengan tingkahku barusan?

Tangan kananku yang masih dia genggam dibawanya menyentuh pipinya dan dia eratkan genggamannya dengan kedua tangan. Mungkin dia takut aku menyakiti diri sendiri lagi.

"Jangan minta maaf. Kakak nggak ada salah apapun. Berhenti menyalahkan diri sendiri untuk semua hal yang terjadi. Jadilah egois sesekali untuk diri sendiri. Nggak papa untuk jadi nggak baik-baik aja. Tapi, tolong jangan sakiti diri sendiri."

Apakah boleh. Aku takut untuk menyalahkan orang lain. Jadi, mencoba untuk mencari kesalahanku sendiri. Apakah aku boleh mencari pembenaran untuk diriku sendiri? Bagaimana kalau aku malah menjadi seseorang yang merasa selalu benar. Bagaimana kalau aku terus-terusan mencari pembenaran untuk diri sendiri. Bukankah selama ini aku juga sudah banyak menyalahkan orang lain? Aku yakin mama tidak seburuk prasangkaku. Tapi, selama ini aku selalu saja menyalahkannya. Bahkan, mungkin hampir membencinya. Walaupun itu tidak mungkin.

"Kemarin Kakak kemana?" Mendengar pertanyaan Elea dengan suaranya yang gemetar, aku yang mulanya kembali sibuk dengan pikiranku akhirnya menoleh ketika merasakan elusan lembut di tangan.

"Mama marah, pagi-pagi Kakak udah pergi nggak pamitan. Tapi, malemnya kakak nggak pulang-pulang mama jadi khawatir. Mama langsung pergi nyetir sendiri buat nyariin kakak. Aku juga udah bantu nyari, sampai nanya ke temen-temen Kakak, tapi nggak ada yang tahu. Sampe tengah malem Kakak masih belum ketemu. Mama masih terus nyari walaupun nggak ada petunjuk sama sekali. Sebenernya kakak kemana? Tolong kasih tau aku, kemana aku harus pergi kalo kakak hilang lagi."

Aku tidak bisa mengatakan apapun. Karena aku tidak pernah memiliki tujuan yang pasti. Waktu itu aku bahkan tidak mengira akan berjalan sejauh itu.

"Untung Kak Liam sama temennya yang lain bantu nyari. Waktu Kak Liam bilang Kakak udah ketemu, rasanya lega banget. Mama langsung pulang, nunggu Kak Liam dateng nganterin kakak. Katanya lokasinya agak jauh, jadi lama sampenya. Aku liat mama bener-bener lega banget waktu mobil Kak Liam sampe di depan rumah. Tapi, liat Kakak tidur dan nggak mau bangun kita jadi panik. Kak Liam langsung nyalain mobil lagi, anterin Kakak ke rumah sakit."

Cowok itu, dia cepat tanggap sekali. Lagi-lagi aku iri padanya. Kurangnya dia apa, sih? Oh, hanya sedikit kurang ajar sepertinya.

"Jangan kayak gini lagi, Kak."

Ada jeda panjang setelah mengucapkan kalimat itu. Dia sempat terisak pelan, hanya sebentar setelah itu menarik napas panjang dan kembali memamerkan senyumannya. Tak lama kemudian, gadis itu kembali berujar. "Tadi siang Kak Anna dateng ke sini. Khawatir banget karena Kakak masih belum bangun juga. Dia sampe nangis."

Gadis cengeng itu. Tidak mengherankan lagi. Dia pasti khawatir sekali. Rupanya, ada banyak juga yang mengkhawatirkanku. Kukira, meski aku menghilang dari dunia ini pun tidak akan ada yang peduli.

"Kak Liam sama temennya juga ikut dateng tadi. Banyak, lho orang yang peduli sama Kakak. Kalo kakak sakit, kita semua khawatir. Cepet sembuh dan jangan sakit lagi, ya? Jangan berpikir untuk menghilang lagi, ya?"

"Kemarin aku baru tahu dari temenku ternyata Kakak punya band, ya? Dia ngefans banget sama Kakak. Kok, aku baru tahu! Pokoknya besok-besok aku harus nonton .…"

Gadis itu terus saja mengoceh. Ingin terus mendapat perhatianku. Saat aku mulai melamun, dia langsung menggoyangkan lenganku kemudian kembali bercerita. Dia tidak membiarkanku kembali sibuk dengan pikiranku. Dan aku berterima kasih untuk itu. Kali ini aku melihat sisi dewasa anak itu lagi.



























27/7/24

Anak MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang