Membujuk mama

112 9 2
                                    

Misiku sekarang hanya membujuk mama agar mengizinkanku bermain musik. Aku bisa saja melarikan diri dan mengabaikan mama. Tapi, aku tidak akan melakukannya. Aku tidak ingin terus melarikan diri dari masalah. Aku sudah punya tujuan pasti, jadi aku tidak akan ragu untuk mengejarnya.

Berkali-kali aku mencoba berbicara dengan mama, namun belum juga membuahkan hasil. Beberapa hari ini bahkan mama mengabaikanku. Ceritanya ngambek karena aku masih keras kepala ingin bermain musik saja. Memangnya dari siapa sifatku yang satu ini menurun. Dirinya sendiri juga keras kepala sekali, masih kekeuh ingin aku mendaftar kuliah di universitas impiannya. Katakanlah aku egois, tidak mau membantu mewujudkan mimpi mama. Tapi, bukankah mama lebih egois, karena memaksaku mewujudkan cita-citanya.

Jadi, malam ini aku berencana membujuk mama dengan cara baru. Aku akan menunjukkan kepada mama bahwa aku sudah menemukan impianku. Aku bahagia dengan bermain musik. Aku memiliki hak untuk merasa bahagia dengan pilihanku sendiri. Ku yakin, semua orang tua menginginkan kebahagiaan untuk anaknya. Mama selalu bilang kalau tujuannya menjadikanku penerus papa agar masa depanku terjamin dan tidak akan mengalami kesulitan. Singkatnya, mama ingin aku bahagia, kan?

Aku hampir lupa kalau sedang menunggu mama ketika kami bertujuh mulai menikmati alunan musik yang kami ciptakan. Terlalu terbawa suasana, melihat malam ini caffe sudah penuh pengunjung yang ikut meramaikan. Sampai kulihat seorang gadis berambut panjang menarik-narik lengan wanita dewasa yang tampak enggan untuk melangkah.

Aku tersenyum menatap Elea yang sudah duduk di bangku bersama mama menghadap ke arah panggung. Sebelumnya bangku itu sengaja dikosongkan untuk keduanya. Secara khusus aku meminta tolong kepada bang Jo, tadi. Ya, kunjungan keduanya itu bukan kebetulan semata. Kami sudah merencanakannya.

Tatapan mataku bertemu dengan sepasang mata cokelat itu. Ku lebarkan senyum, meski sebenarnya jantungku berdegup kencang saat ini. Meski sudah terbiasa tampil di depan umum, ternyata rasanya berbeda saat mengetahui mama juga melihatnya. Lebih gugup daripada waktu ujian SNBT.

Setelah berhasil menyelesaikan satu lagu, aku mengatur napas mencoba mengontrol diri. Aku hanya perlu bersenang-senang malam ini. Dengan dukungan dari anggota lain, aku mulai menikmati penampilan lagu kedua kami.

Tepat setelah lagu kedua berakhir, kulihat mama pergi keluar meski Elea berkali-kali mencoba mencegahnya. Aku menaruh gitarku dan berlari mengejarnya. Mencegahnya yang hendak masuk ke mobil. Pintu mobil yang sudah dibukanya, kututup paksa.

"Ma …."

"Kita obrolin ini di rumah. Elea masuk!" Mama menatap Elea yang berdiri di jarak yang cukup jauh. Mengkode untuk cepat masuk ke mobil. Melihat gadis itu yang masih bimbang, aku memberi isyarat dengan mengangguk. Mengabaikan motorku, aku milih ikut masuk ke mobil. Biarkan saja, aku akan mengabari yang lain lewat aplikasi chatting. Motorku pasti akan aman.

"Tolong ijinin aku menjalani hidup jadi diriku sendiri. Mama lihat, ini aku yang sebenarnya. Aku bahagia di sana. Biarin aku milih jalan hidupku sendiri. Bener atau nggak jalan yang ku pilih, aku akan terima apapun konsekuensinya. Selagi ada mama, aku bakal baik-baik aja," aku segera membuka suara ketika kami sampai di rumah dan melihat mama sudah duduk di meja makan setelah mengambil segelas air putih.

"Kamu cuma lagi bosen belajar aja. Ini semua bisa kamu jadiin hobi, tapi nanti. Sekarang kejar dulu masa depan kamu. Pikirin masa depan kamu, Jidan! Hidup bukan hanya tentang hari ini."

"The future is a mystery, the past is history, now is a gift, that's why it's called the present. Mempertimbangkan masa depan emang perlu, tapi kita hidup di hari ini. Yang terpenting adalah saat ini aku bahagia. Mama nggak perlu terlalu khawatir."

"Kalo tiba-tiba kamu jatuh gimana?"

"Manusia mana yang nggak ngalamin jatuh bangun di hidupnya? Yang penting aku punya mama di sampingku, aku nggak akan nyerah." Kenapa mama takut sekali aku kesulitan. Bagaimanapun dalam hidup pasti akan melewati bukit dan lembah. Alih-alih mengkhawatirkan lembah hidup yang akan kulewati, tidak bisakah mama menemaniku saja. Mendukungku untuk melewati semua rintangan yang ada. Aku tidak pernah berharap hidupku selalu bahagia. Aku hanya ingin menikmati hidup bersama orang-orang yang kusayangi.

"Mama mau aku menjalani hidup kayak papa? Pusing sama urusan kantor setiap hari, sampe lupa kewajibannya sebagai suami dan sebagai ayah. Dimana letak kesuksesan ketika tidak ada kebahagiaan?" lanjutku.

"Kehidupan sebagai artis nggak segampang yang kamu bayangin, Ji. Kamu nggak pernah denger apa, ada artis bunuh diri gara-gara stress?"

Aku menyodorkan lengaku, menarik lengan kemeja yang kukenakan. "Masih ada bekasnya. Apa mama tahu, walaupun belum jadi artis aku udah pernah nyoba bunuh diri. Dan itu gara-gara mama!"

Hela napasnya terdengar berat, namun mama tidak kunjung mengucapkan sepatah katapun. Setelah meneguk air putih di gelas hingga tandas, mama pergi begitu saja. Melangkah menaiki tangga lalu pintu kamarnya terdengar terbuka lalu ditutup kembali. Sepertinya tidak akan ada makan malam.

Rasanya gelas di hadapanku itu ingin ku banting saja. Aku tidak pernah membayangkan kalau negosiasi dengan mama akan sesulit ini. Rencana masa depan seperti apa, sih yang mama buat. Kenyataan bahwa rencana tidak selalu berjalan lancar sepertinya sulit diakui oleh mama.

Aku tidak tahu lagi harus membujuk mama dengan cara seperti apa. Setelah ini, biarlah mama setuju atau tidak aku tidak peduli. Aku sudah berusaha semampuku. Terserah. Aku benar-benar lelah.

Saat hendak pergi ke lantai atas, kudapati Elea duduk diam di ruang tamu. Pandangannya fokus ke ponselnya. Kupikir dia menguping pembicaraanku, tapi sepertinya sangat fokus dengan ponselnya.

"Kamu laper nggak? Mau makan apa biar Kakak orderin nanti. Mama nggak masak kayaknya," tanyaku sembari mengusap rambut panjangnya yang terlihat sedikit berantakan. Tidak se-rapi sore tadi. Tapi, Wangi buah segar masih tercium kuat. Aku tidak tahu itu Wangi parfumnya atau samponya.

"Kak …," panggilnya tanpa mengalihkan pandangan. Aku berdeham pelan menjawabnya.

"Perusahaan papa bangkrut?"

"Hah?" Aku benar-benar tidak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaannya yang sangat tiba-tiba itu.

"Katanya ada yang korupsi, sampe banyak hutang juga. Terus, katanya mau diakuisisi sama perusahaan lain," paparnya.

"Kamu tau darimana?"

"Nemu artikel di X. Tapi, aku nggak paham. Diakuisisi itu apa? Ini beneran nggak, sih? Kok, papa nggak pernah ngasih tahu?"

"Aku telpon--"

Kami terkejut bukan main ketika tidak ada angin tidak asa hujan, tiba-tiba pintu utama terbuka dengan kasar. Kemudian muncul sosok papa dengan kondisi setengah sadar yang dipapah pak Rofik-- satpam kami. Aku menghampirinya mencoba membantu, tapi segera ditepis oleh papa ditambah racauan tak jelasnya.

"Papa kenapa?" tanyaku cemas.

"Bapak kayaknya mabuk, Den. Barusan dianter sama asistennya udah kayak gini," jelas pak Rofik.

"Ma! Mama!" Elea berlari memanggil mama.

Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba begini? Aku tidak mengerti dengan situasi yang terlalu tiba-tiba ini. Sebenarnya apa yang terjadi?
































Seadanya banget
Yang penting update aja deh
Gampang direvisi nanti

Btw akhirnya Renjun kembali
Huhu kangen banget






9/8/24

Anak MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang