Kapan berakhir

62 11 0
                                    

Pasca kejadian di malam itu, ketika pertanyaanku mendapatkan jawaban yang tidak memuaskan. Kemudian kecelakaan kecil yang menimpaku-- mama tidak mengetahui soal itu. Aku menyembunyikan lukaku dengan baik dan mama sama sekali tidak curiga. Mama bahkan tidak mengatakan apapun yang menyinggung hari yang lalu. Semua berlalu begitu saja.

Mama masih mama seperti biasanya dan akupun melakukan hal yang sama. Bertindak seolah hari itu bukanlah apa-apa. Padahal dalam kepalaku pertanyaan itu masih berputar-putar, enggan untuk pergi barang sejenak. Aku jadi kesulitan berkonsentrasi dalam belajar. Bagaimana dengan hasil penilaian akhir semester yang sedang kujalani minggu ini? Aku sangat takut untuk itu.

Papa, sudah pulang sejak kemarin. Namun, dokter menganjurkan untuk bedrest. Jadi, untuk beberapa hari kedepan papa akan tetap di rumah. Entah itu kabar baik atau buruk, aku tidak tahu harus mengartikan seperti apa. Kurasa tidak ada bedanya. Bahkan sejak kemarin, setelah membantu papa berjalan ke kamarnya sepulang dari rumah sakit, aku sama sekali belum menginjak ruangan itu lagi. Papa masih betah di dalam kamar sampai pagi ini.

Hadirnya papa, membuat hari-hari mama tampak lebih sibuk dari biasanya. Selain mengurus rumah sebesar ini sendirian, mama juga harus mengurus papa, belum lagi aku yang masih sangat merepotkan, juga Elea. Walau begitu, nampaknya adik perempuanku itu tampaknya sedikit lebih berguna daripada diriku ini. Dia jadi sering membantu pekerjaan mama. Meski hanya sekedar membatu mencuci beberapa piring atau membantu mama memasak. Kadang-kadang juga aku melihatnya menyapu. Gadis itu sudah dewasa rupanya. Kupikir dia hanya akan menjadi bungsu manja yang selamanya hanya bisa merengek pada mama dan papa.

Jadi, sejauh ini akulah yang masih berjalan di tempat. Tidak berkembang sama sekali. Seperti pagi ini ketika aku baru masuk ke dapur untuk sarapan sebelum berangkat sekolah, tapi melihat masakan yang belum siap dan mama yang sedang sibuk bolak-balik mengurus sesuatu di belakang aku hanya dapat duduk manis di meja makan. Tidak tahu harus membantu seperti apa. Sedangkan Lea tampak sibuk mencuci satu wajan besar entah bekas memasak apa. Padahal dia sudah memakai seragam sekolah lengkap.

"Ya ampun, ternyata ada orang. Tapi, masakan di diemin aja nggak ditengokin sama sekali."

Mama berjalan tergopoh-gopoh dari belakang masuk ke dapur kemudian mengaduk sesuatu yang ada di dalam panci di atas kompor menyala. Aku tidak tahu itu apa, kukira mama meninggalkannya karena memang harus menunggu lama sebelum masakan itu matang. Aku sama sekali tidak tahu. Dan kesalahanku adalah ketidaktahuanku. Seharusnya aku bisa lebih tanggap.

"Kan! Santannya pecah. Masa ngaduk sayur doang harus mama. Semuanya harus mama. Ada orang lain tapi kenapa semuanya harus mama, sih?!"

Aku tahu mama kerepotan melakukan semuanya sendiri. Aku juga sangat ingin membantu, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Kalau salah sedikit bisa kena marah. Aku bisa mengerti alasan mama marah untuk hal-hal kecil itu. Tapi, yang tidak kumengerti kenapa hatiku tetap terasa sesak mendengar setiap kalimat yang diucapkannya. Aku tidak tahu mengapa bisa merasa begitu kesal hanya karena menjadi pelampiasan emosi mama. Harusnya sudah terbiasa.

"Maaf, Ma. Mama nyuruh aku nyuci ini. Aku jadi lupa nggak lihatin sayurnya," ucap Lea dengan sesal. Gadis itu, dia tidak bersalah.

"Itu lho, ada satu orang lagi. Cuma melongo doang, inisiatif dikit, kek!"

Di bawah meja, aku menautkan kedua tangan dengan erat. Siapapun tahu ucapkan mama itu ditujukan kepadaku. Dan aku tidak akan mengelak. Tapi, hatiku sakit ketika alih-alih memanggil namaku, mama memilih menyebutku dengan kata seseorang.

"Punya anak udah gede-gede nggak guna amat. Ngapain aja tetep sendiri. Kalo lihat ada kerjaan yang belum beres ya dikerjain. Nggak usah nunggu disuruh. Memangnya pekerjaan rumah itu harus mama yang kerjain? Cuma mama yang wajib kerjain pekerjaan rumah, gitu? Dikira nggak capek apa kerjain semuanya sendiri!"

Pagi-pagi sudah disuguhi omelan mama. Sebenarnya aku sudah muak sekali. Terpikirkan untuk langsung pergi saja dan melupakan sarapan. Tapi, aku tidak setega itu. Mama sudah serepot itu membuat sarapan, mana mungkin aku malah pergi begitu saja. Akhirnya kutebalkan lagi kesabaranku yang sebenarnya sudah mulai menipis lagi. Aku makan meski hanya sekedarnya. Hanya untuk menghargai mama yang sudah susah payah menyiapkannya. Setelah itu tentu saja aku langsung pergi ke sekolah.

Rencananya begitu. Tapi, sebelum aku pergi meninggalkan tempat tiba-tiba saja mama menyodorkan segelas air putih hangat memintaku mengantarkannya ke kamar papa. Tugas yang sulit. Aku tidak tahu mengapa mengantar segelas air putih pada papa menjadi sangat mendebarkan. Mungkin hanya tidak terbiasa. Entah kapan terakhir kali aku berbicara pada papa, aku bahkan tidak ingat. Ternyata hubunganku dengan papa memang sudah sejauh itu.

"Mama bilang, Papa harus minum obat sebelum makan," ujarku menyampaikan pesan mama pada papa yang tampak sibuk dengan tabletnya. Tidak ada balasan apapun, aku jadi bingung apa perlu mengulang perkataanku atau tidak. Papa dengar atau tidak? Kalau pesanku tidak tersampaikan, mama bisa marah nanti.

"Katanya obatnya udah di meja. Kayaknya yang ini, perlu aku bukain?" tanyaku sambil menunjuk dua bungkus obat yang sudah tersedia di atas meja. Tinggal mengupasnya saja.

Cukup lama tidak ada balasan, aku hampir menyerah. Sampai tiba-tiba suara beratnya terdengar ketika aku hendak mulai membuka bungkus obatnya. "Nggak usah. Kamu berangkat sekolah aja, udah siang."

"Iya." Dengan canggung aku meletakkan kembali obat itu. Beranjak pergi dari ruangan yang terasa asing itu.

"Sekolahmu gimana?" Pertanyaan papa menghentikan langkahku sebelum benar-benar pergi dari sana. Pertanyaan mengandung sedikit kepedulian itu menyentuh hatiku. Walaupun tatapan pria itu masih terpaku pada tabletnya.

"Baik-baik aja," sahutku pelan. Karena sejujurnya aku tidak yakin dengan jawaban yang papa inginkan.

"Belajar yang bener! Jangan bikin masalah!"

"Iya."

Cukup lama tak ada lagi balasan, aku pamit pergi ke sekolah. Lalu segera pergi dari tempat yang terasa dingin itu. Lebih baik aku segera pergi ke sekolah. Daripada terlambat nanti kena omel mama lagi.

Untuk kendaraan yang mengantarku ke sekolah pagi ini bukan motor yang biasa ku gunakan. Karena motor itu masih ada di bengkel sejak kecelakaan itu. Sebenarnya kemarin seharusnya aku sudah bisa mengambilnya di bengkel. Tapi, tidak sempat karena menjemput papa di rumah sakit. Jadi, seperti kemarin Liam datang menjemputku. Rupanya anak itu berguna juga. Tanpa perlu susah payah untuk membujuknya, dia mau-mau saja mengantar jemput ku sejak kemarin. Dia mengendarai mobil ngomong-ngomong. Mengingat macetnya jalanan ibukota, kupikir lebih baik mengendarai kendaraan roda dua. Tapi, Liam lebih suka mengendarai mobil mahal kesayangannya itu. Dasar tukang pamer.

"Buruan, cok!" serunya tak sabaran sembari menekan klakson beberapa kali. Sadar diri cuma nebeng, aku mempercepat langkahku menghampirinya. Baru saja aku masuk dan menutup pintu, dia sudah melajukan kendaraannya. Cih, dasar tidak sabaran. Aku bahkan belum memakai sabuk pengaman.

Kalau boleh memujinya sedikit, walau tak sabaran begitu dia setia kawan sekali. Rasanya aku sudah terlalu banyak merepotkannya. Ternyata aku jahat sekali, waktu itu pernah memintanya mengalah untukku hanya agar aku bisa mendapatkan ranking satu. Bodoh. Aku memang sebodoh itu.

Dunia selalu adil. Di rumah aku begitu frustasi menghadapi mama. Hanya keluar sedikit saja aku sudah bertemu orang-orang baik yang mampu membuatku menyunggingkan senyuman. Walaupun, kemanapun aku pergi selalu dibayangi oleh tuntutan dari mama. Berapa lama lagi aku harus belajar sekeras ini? Kapan ini semua akan berakhir?

































22/7/24

Anak MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang