Ruangan dingin ini, aku enggan meninggalkannya sebenarnya. Pasalnya di luar sana panas luar biasa, rasanya kulitku seperti terbakar. Meski begitu, ada seseorang yang menungguku di seberang sana. Aku tidak mungkin membuatnya menunggu lebih lama. Dengan langkah pasti, aku membawa kaki panjangku berlari keluar. Hanya agar cepat sampai di halte seberang. Ternyata kaki panjangku lumayan berguna juga, aku jadi bisa berjalan dengan cepat.
Setelah susah payah menyeberang jalanan padat ibukota, akhirnya aku sampai di depan gadis yang sedari tadi berdiri menungguku sambil bersedekap. Bibirnya mencebik dan matanya menatapku dengan tajam meski harus sambil mendongak akibat perbedaan tinggi badan kami, kemudian dia menghentakkan kakinya saat aku menyengir lebar tepat di hadapannya. Aku semakin melebarkan senyum melihat tingkahnya yang malah terlihat lucu di mataku.
"Maaf, antriannya agak panjang," ucapku sambil menyodorkan sebatang cokelat kesukaan gadis itu.
Aku tahu, dia pasti kesal karena harus menungguku lama. Padahal aku yang mencegahnya pulang dan menjanjikan akan pergi hanya sebentar. Mau bagaimana lagi, dia kesal karena untuk kesekian kalinya aku menolak mengantarkannya pulang selepas sekolah. Tapi, aku juga tidak bisa merelakan dia pulang dengan laki-laki lain. Daripada semakin marah, setidaknya aku harus membelikan suap berupa cokelat kesukaannya itu agar setidaknya amarahnya sedikit mereda. Kalau dia sampai benar-benar marah, itu akan sangat merepotkan. Karena aku yang nantinya akan pusing sendiri kalau dia tidak mau bicara padaku. Pacarku itu memang cara marahnya dengan diam. Benar-benar tidak akan mengucap sepatah katapun.
Masalah terbesarnya adalah Anna itu mudah sekali merajuk. Kemarin aku baru saja meluluhkannya yang marah karena aku kelepasan membentaknya. Masa kali ini mau marahan lagi?
"Aku juga beli minuman dingin. Kamu mau?" Sial, sepertinya dia sudah marah. Dia sama sekali tidak menjawab pertanyaanku.
"Anna …." panggilku lirih. Mencoba meminta pengertiannya. Namun, dia bergeming tidak menghiraukanku.
Sepertinya kali ini aku yang harus mengerti. Wajar saja dia marah. Sebagai pacar memang aku cukup sering mengabaikannya karena kesibukanku sendiri. Padahal aku mengendarai motor, tapi bisa dihitung jari aku mengantarkan dia pulang. Kupikir tidak apa-apa karena setidaknya aku sering menjemput untuk berangkat bersama.
Aku kembali mempertimbangkan keputusanku tadi, haruskah kuantarkan saja dia? Tapi, aku bisa terlambat datang ke tempat les. Bukannya terlalu menaati peraturan, aku hanya terlalu menaati perintah mama. Sebut saja aku anak mama, aku tidak keberatan karena aku memang anak mama, bukan anak tetangga.
Aku menghela napas pelan. Kalau mama sampai tahu aku terlambat datang les, bisa mengamuk dia. Lebih seram dari marahnya gadis di hadapanku ini. Jadi, pilihannya hanya mama marah atau pacarku marah.
"Ayo, pulang." Kuraih tangan gadis itu dengan pelan. Sedikit memaksanya untuk mengikutiku ke parkiran, mengambil motorku yang masih terparkir di sana-- aku sudah mengambilnya dari bengkel sepulang sekolah kemarin.
Mama marah hampir setiap hari, sepertinya aku hanya perlu menyiapkan diri saja mendengar omelan mama yang sepanjang sungai Nil. Anna juga sering marah, sih. Tapi, aku akan benar-benar merasa menjadi pacar yang buruk kalau mengabaikannya sekarang.
"Katanya nggak mau nganter," ucapnya dengan nada kesal masih kentara.
"Bukan nggak mau, tapi nggak bisa," balasku sembari memakaikan helm untuknya. "Tapi, buat kamu aku bisa-bisain, deh."
"Sama aja," gerutunya sambil menatap ke segala arah, mungkin sedang enggan menatapku. Atau hanya sedang menunjukkan padaku kalau dia masih marah. Walaupun aku tahu, dia tidak lagi marah karena sudah mau membuka mulutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Mama
FanfictionKata orang, aku terlalu penurut. Menjadi penurut juga melelahkan sebenarnya, aku hampir menyerah. Tapi, apa salahnya menuruti ucapan orang tua? Hanya karena mama selalu mengaturku dan aku menurutinya lalu mereka akan memanggilku anak mama? Pedul...