Aku siapa

71 13 2
                                    

Ruangan serba putih berbau obat-obatan, suara-suara orang asing di luar ruangan, isi kepala yang terlalu bising dibalik suasana hening di dalam ruangan, aku tidak suka semua itu. Kurasa semua orang juga berpendapat sama. Hembusan napas papa yang teratur sangat kontras dengan helaan napas mama yang terdengar berat.

Sudah dua jam lebih aku duduk diam bersama mama hanya untuk menunggu papa yang sudah tertidur sejak beberapa saat yang lalu. Membosankan sekali, tapi perasaan lain lebih mendominasi. Perasaan seperti cemas, khawatir, gundah, aku tidak bisa mendeskripsikannya. Sejauh apapun hubunganku dengan papa, melihat pria itu terbaring tak berdaya seperti itu membuatku ketakutan kalau sesuatu yang buruk terjadi padanya. Walaupun dokter mengatakan semuanya sudah membaik, tetap saja selagi masih dirawat aku merasa papa masih belum bisa dikatakan baik-baik saja.

Apalagi pikiranku juga semrawut sekali. Seharusnya aku hanya fokus dengan kesembuhan papa, tapi otakku ini masih saja sibuk memikirkan ucapan nenek tempo hari. Beberapa hari bolak-balik ke rumah sakit untuk menemani papa, aku masih merasa tidak berguna sama sekali. Karena nyatanya tidak ada yang bisa kulakukan selain hanya duduk menemani dan membantu hal-hal kecil seperti mengambilkan air minum atau sekedar menaik turunkan ranjang.

Nenek memang benar, aku ini tidak berguna. Tapi, tentang ucapannya mengenai aku adalah orang asing sama sekali tidak dapat ku enyahkan dari pikiranku. Aku jadi teringat ucapan papa ketika bertengkar dengan mama kapan lalu. Papa hanya peduli dengan Elea, sedangkan aku bukanlah siapa-siapa.

"Ma ...," panggilku tanpa menoleh pada mama yang sedang menahan kantuk duduk di sofa.

"Aku ini siapa?"

Tidak ada jawaban untuk beberapa saat. Akhirnya aku kembali mengeluarkan suara.

"Apa aku benar-benar anak kalian?" Sayangnya nyaliku tidak sebesar itu ternyata. Suara yang ku keluarkan jauh lebih kecil dari yang ku kira.

Aku takut, jawaban yang mama berikan tidak seperti yang kuinginkan. Menatap mama yang kini juga menatapku dengan tatapan tak terbaca, aku jadi semakin takut. Mama tidak terlihat seperti akan menjawab pertanyaanku. Aku takut untuk mengartikan keterdiamannya itu. Kini, penyesalan perlahan datang mencekikku. Seharusnya aku tidak perlu bertanya.

Memilih pergi dari ruangan vip yang tiba-tiba terasa sempit ini sepertinya pilihan terbaik. Aku beranjak meninggalkan mama yang masih membisu. Hingga ketika tanganku berhasil meraih handle pintu, suara mama terdengar pelan tapi penuh penekanan.

"Kamu anak mama. Tidak perlu dipertanyakan lagi. Jangan pikirkan apapun yang nenekmu katakan!"

Aku berbalik, mendapati mata mama berkaca-kaca. Ternyata mama tidak sekuat itu. Mama juga bisa menjadi lemah. Sebenarnya masih ada pertanyaan yang ingin kuajukan, namun urung setelah melihat mama memalingkan wajah, tampak enggan melanjutkan pembicaraan ini. Lagi pula aku tak seberani itu untuk mendengar fakta yang tidak kuinginkan. Kuputuskan untuk membuka pintu dan melanjutkan langkah meninggalkan ruangan.

Alih-alih mengatakan aku anak mereka, mama memilih mengatakan bahwa aku anak mama. Apakah sekarang aku masih harus overthinking lagi? Memikirkan apakah aku anak papa atau bukan? Atau justru aku bukan anak keduanya? Sialan. Hidup ini kenapa rumit sekali. Menjadi dewasa sulit sekali.

Baru saja menutup pintu, aku melihat Elea berjalan mendekat. Anak itu baru terlihat sejak aku datang senja tadi. Saat kutanya mama, katanya pergi makan. Makan dimana dia sampai dua jam lebih baru kembali.

"Mau kemana, Kak?"

Baru saja aku hendak berucap, dia sudah lebih dulu mencuri start. Tak berniat menjawab pertanyaannya, aku balik bertanya. Mengungkapkan rasa penasaranku. Masalahnya dia perempuan, malam malam begini baru datang memangnya dari mana saja.

"Dari mana kamu?!"

Huh, galak sekali. Seharusnya aku lebih bisa mengontrol emosiku. Gadis itu tidak tahu apa-apa, tak seharusnya aku melampiaskan emosiku padanya. Melihatnya menurunkan pandangan membuatku merasa bersalah. Kuulurkan tanganku untuk mengusap puncak kepalanya pelan.

"Kamu di sini aja, temenin mama. Kalo ada apa-apa telpon Kakak." Setelah memberikan sedikit pesan, aku meninggalkannya dengan langkah lebar.

Dalam setiap langkahku, aku mulai membuat skenario jalan hidupku dalam kepala. Menebak-nebak siapakah aku sebenarnya. Apakah aku hanya anak yatim piatu yang diangkat menjadi anak oleh orang tuaku sejak bayi? Barangkali hanya mama yang menginginkan untuk mengadopsiku, karenanya papa bahkan nenek juga tidak menyukaiku hingga masih menganggapku orang asing.

Atau mama selingkuh dengan orang lain sehingga papa begitu tak acuh denganku? Atau mungkin papa menghamili mama tanpa sengaja ketika keduanya belum menikah lalu dengan terpaksa papa menikahi mama? Sebentar, pernikahan papa dan mama kapan? Keduanya jarang menghabiskan waktu bersama, jadi sama sekali tidak pernah ada perayaan semacam anniversary. Aku juga tidak begitu dekat dengan keduanya untuk sekedar bertanya kapan pernikahan keduanya dilangsungkan. Aku tak pernah terpikirkan untuk menanyakan hal itu selama ini.

Selagi sibuk dengan isi kepala yang penuh berisik, ponselku bergetar. Aku merogoh kantongku, meraih benda segenggaman tangan yang masih terus bergetar. Nama Liam terpampang di layar ponselku. Untuk apa dia menelponku?

"Maaf--"

Aku baru menunduk sebentar untuk melihat siapa yang menelpon, sudah terjadi kecelakaan saja. Bahuku menabrak seorang pria tak dikenal. Inilah alasan aku tidak suka melihat ponsel sambil berjalan. Terkadang aku heran ketika melihat orang-orang berjalan sambil terus menunduk melihat ponselnya tanpa memperhatikan jalan. Berani sekali.

Aku menatap pria tadi yang langsung pergi bahkan sebelum permintaan maafku usai. Mungkin sedang tidak ingin berurusan dengan orang lain? Soalnya aku juga sedang malas berurusan dengan siapapun sekarang.

Sialnya, ketika aku berbalik ingin melanjutkan langkah mata ini malah mendapati enam pemuda berjalan menghampiriku dengan tergesa. Aku merasa seperti akan dikeroyok saja oleh mereka.

"Mau kemana lo? Kenapa telpon gue nggak diangkat?" cecar Liam begitu sampai di hadapanku.

Aku menghela napas panjang. Aku benar-benar lelah. Yang kuinginkan hanya pergi menyendiri. Kenapa ada saja halangannya. Ada saja keadaan yang mengharuskanku berinteraksi dengan orang lain. Aku lelah menampilkan senyum palsu. Dan enggan mengucapkan sepatah kata pun.

Oke, sekali lagi saja. Aku akan menahannya sedikit lagi. Mereka datang dengan niat baik. Paling tidak aku harus berterima kasih karena mereka sepeduli itu denganku sampai mau meluangkan waktu untuk menjenguk papaku yang sedang sakit.

"Makasih udah sempetin dateng. Tapi, gue mau keluar sebentar. Kalian masuk aja, ada nyokap sama adek gue. Kalo ada apa-apa kabarin gue."

Tanpa menunggu jawaban, aku kembali melanjutkan langkah melewati mereka semua. Namun, seseorang mencekal lenganku.

"Lo kenapa? Mau kemana?" tanya bang Jen terlalu peka. Kurasa dia mengerti hatiku tidak dalam suasana yang baik. Bukannya membiarkanku pergi, dia malah menahanku. Kalau tahu moodku sedang buruk, kenapa tidak biarkan aku pergi saja?

"Gue bilang mau pergi bentar, bangsat!"

Tanpa sadar aku sudah meninggikan suaraku. Terserahlah, aku sudah lelah mengendalikan emosi. Aku menarik paksa lenganku kemudian berjalan cepat ke arah parkiran. Menaiki motorku dan segera mengendarainya dengan cepat. Persetan dengan jalanan yang ramai, aku hanya ingin terus menambah kecepatan kendaraan ini.

Isi kepalaku sekarang benar-benar berisik. Rasanya aku sudah siap mati sekarang juga. Biar saja aku kembali ke rumah sakit sebagai pasien. Kalaupun belum saatnya aku mati, setidaknya aku ingin beristirahat barang sejenak.

Baru saja berpikir demikian, tiba-tiba aku tersentak ketika sedang menyalip mobil ternyata dari lawan arah ada truk besar yang jaraknya sudah semakin dekat saja. Aku tidak begitu yakin apa yang terjadi selanjutnya, apapun itu pada akhirnya aku terjatuh dari motorku. Berguling di aspal yang dingin. Kenapa doa buruk mudah sekali terkabul?





























20/7/24

Anak MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang