Healing

58 9 0
                                    

Malam ini caffe milik bang Jo lebih ramai dari biasanya. Mungkin karena akhir pekan. Semakin banyak anak muda berdatangan entah itu bersama kawannya ataupun pasangannya. Anna juga datang bersama teman-temannya. Tentu saja tujuan utamanya bukan untuk bersenang-senang dengan mereka, tapi untuk menyemangatiku.

Karena malam ini, grup kami siap merekam penampilan kami untuk diunggah ke berbagai sosial media seperti yang dikatakan bang Navis tadi pagi. Mereka benaran menggeretku ke sini sepulang dari tempat les. Tidak cukup hanya Liam, bang Navis dan bang Jen ikut menjemputku tadi.

Aku gugup sekali. Meski sudah terbiasa tampil di depan banyak orang, rasanya masih mendebarkan sesaat sebelum dimulai. Apalagi di depan kami ada dua kamera yang menyorot. Beberapa kenalan bang Navis sengaja datang atas permintaannya sebagai kameramen.

Menarik napas panjang, aku berusaha menetralkan detak jantungku. Bertukar pandang dengan para member, kemudian mulai memetik gitar setelah mendengar aba-aba. Saat tanpa sengaja bertukar pandang dengan vokalis kami-- bang Haidar, senyumku tak lagi dapat dicegah. Ini benar-benar menyenangkan.

Di sinilah tempat yang aku inginkan. Berdiri di atas panggung bersama kawan-kawan, menciptakan alunan musik yang mampu menutup segala luka yang ku punya. Dengan bonus teriakan penonton yang juga merasa terhibur dengan adanya kami. Inilah obat yang kubutuhkan.

"Satu lagu lagi?" tanya bang Marvin setelah kami sukses menyelesaikan penampilan lagu pertama.

"Tapi, nanti gue kemaleman ...," ujarku mengeluh. Masih bagus aku ikut tampil walaupun cuma satu lagu. Kalau lebih lama lagi, mama bisa mengamuk nanti.

"Ayolah, Ji. Satu lagi aja. Nggak bakal lama, kok," ujar bang Haidar.

"Paling empat menit doang," sambung Liam.

"Kalian nggak usah maksa, ya! Masih bagus Jidan mau sempetin dateng. Mau lanjut atau nggak, keputusan ada di tangan lo, Ji!" Bang Jun menatapku, menganggukkan kepalanya sembari tersenyum. Membiarkanku membuat keputusan.

Aku mempunyai pilihan? Bagaimana kalau pilihanku nanti akan menimbulkan masalah. Selama ini, hidupku selalu ditentukan mama tanpa pernah diberi pilihan. Jadi, aku tidak tahu bagaimana caranya memilih.

Ditengah kebimbanganku yang malah semakin menyita waktu, bang Jen tiba-tiba menyerahkan gitarnya pada bang Haidar. Kemudian merampas gitarku dan memberikannya pada bang Juniar. Tanpa ragu, dia menarik kerah bajuku, menggeretku pergi dari sana. Ini kesannya dia seperti mau mengajakku baku hantam, tapi ternyata cuma mau mengantarku pulang.

"Ji!" Tepat sebelum menaiki motor bang Jen, Anna tiba-tiba muncul sambil berlarian.

"Anna, sorry aku harus buru-buru pulang. Kamu nggak papa pulang sama temen-temenmu, kan? Jangan lupa hubungi aku kalo udah sampe rumah. Jangan kemaleman--" ucapanku terhenti begitu saja ketika gadis manis itu tersenyum lebar sembari memamerkan buket berisi aneka ciki kesukaanku.

"Kamu keren banget malem ini. Fans kamu bisa nambah seribu dalam semalam. Aku nggak papa, kok kalau nanti fans kamu jadi banyak. Tapi, inget aku fans nomor satu kamu."

Aku tidak bisa berkata-kata melihat ketulusannya. Dengan ragu menerima buket yang disodorkannya. Aku tidak tahu apakah pantas mendapatkannya.

"Makasih. Kamu ngasih terlalu banyak buat aku. Aku nggak bisa bales--"

"Udah ..., sana buruan pulang. Jangan sampe telat. Kak Jen, hati-hati bawa pacarku, ya? Jangan sampe lecet!"

"Iya.... Cepet naik! Males gue nontonin orang pacaran!" gerutu bang Jen sembari men-starter motornya.

Tanpa mengingat pesan dari Anna, bang Jen membawaku berkendara dengan kecepatan tinggi. Rasanya ingin mengumpat saja. Kalau mau mati, kenapa mengajakku, sih.

Untungnya kami sampai dengan selamat. Bukan di rumahku, tapi di bengkel tempat motorku diservis kemarin. Baguslah besok aku tidak bingung lagi kalau mau bepergian. Ide yang bagus juga untuk dijadikan alasan ke mama kalau ditanya kenapa pulang terlambat. Pinter juga kadang-kadang, nih bang Jen.

Walaupun aku bisa melanjutkan perjalanan sendiri dengan motorku, ternyata bang Jen tetap mengikutiku sampai ke rumah. Aku tidak melarangnya, terserah dia mau melakukan apa. Aku hanya perlu berterimakasih padanya karena sudah diantar sampai rumah dengan selamat meski terlambat dua puluh menit.

"Traktir seblak depan sekolah lo, besok!" begitu katanya ketika aku mengucapkan terima kasih padanya. Tidak masalah, hanya seblak.

Yang terpenting sekarang, aku harus menghadapi mama. Ketika memasuki rumah, aku tidak melihat wanita itu di ruang tamu. Artinya aku belum terlambat sekali sampai mama menunggu-nunggu selama itu.

Awalnya aku ingin langsung pergi ke kamar sebelum mama tahu. Tapi, belum sampai anak tangga terakhir suara mama menginterupsi. Aku berbalik menatapnya yang baru keluar dari dapur. Kedua tangannya masih basah, mungkin habis mencuci piring.

"Kenapa telat?"

"Mampir dulu ambil motor di bengkel." Please, semoga mama percaya saja.

"Makan dulu sana! Asam lambungmu naik lagi nanti!"

Eh, mama tahu kemarin asam lambungku naik? Padahal aku tidak mengeluhkan apapun. Mencari obatnya juga diam-diam. Bagaimana bisa tahu? The power of emak, ya?

Tapi, baguslah. Mama tidak marah. Dengan senang hati, aku kembali turun pergi ke dapur mengambil makan malam. Apalagi ternyata lauknya kesukaanku-- sop ayam.

Emang boleh, aku sebahagia ini? Boleh. Kenapa tidak. Tadi siang rasanya melelahkan sekali, ternyata malam ini tiba-tiba energiku naik lagi. Band. Wah, setelah bermusik moodku benar-benar naik drastis. Semangatku juga naik lagi. Sepertinya aku benar-benar menemukan cara untuk menyembuhkan diri.














Maaf kemaleman
Maaf pendek
Mungkin nanti aku revisi lagi bagian ini


18/7/24

Anak MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang