Matahari bersinar terang hari ini. Panasnya menyengat sekali. Aku heran saat orang-orang sering membandingkan suasana hati dengan cuaca. Aku bukan siapa-siapa yang mana ketika sedang bersedih langit pun ikut bersedih dan semua orang ikut merasakan kesedihanku. Aku tidak begitu spesial sampai matahari harus ikut sembunyi saat senyumanku memudar. Langit akan tetap menjatuhkan airnya saat waktunya tiba meski aku sedang bersorak gembira.
Entah aku terjatuh hingga berada diambang kematian ataupun aku sedang bahagia seolah dunia dalam genggamanku, tetap saja dunia akan berjalan sebagaimana mestinya. Tidak ada sangkut pautnya denganku. Cuaca berubah sesuai aturannya, tidak peduli apa yang tengah kurasakan. Lagipula aku hanya salah satu manusia biasa diantara milyaran manusia lainnya yang hidup di bumi ini.
Setelah mencoba menantang matahari dengan manatapnya di tengah hari begini, aku menyerah kalah. Kupejamkan mata untuk meredakan pening yang semakin terasa akibat perbuatan bodohku sendiri. Yah, bola api raksasa itu tidak bersalah. Aku tidak bisa memaksanya untuk bersembunyi barang sejenak hanya karena ingin duduk di luar ruangan dengan nyaman.
"Masuk aja, yuk! Panas banget, nanti kamu tambah pusing," gadis di sebelahku terus membujukku sedari tadi.
"Nggak panas banget, kok. Lagi enak nih hirup oksigen dari bawah pabriknya langsung."
"Ngomong apa, sih? Ayok masuk aja."
Aku tertawa kecil mendengar keluhannya. "Itu pohonnya kan lagi fotosintesis. Ngeluarin oksigen. Seger, kan oksigen yang baru diproduksi."
"Kita tukeran tempat aja, deh. Kamu duduk sini, ya? Di sini lebih teduh." Gadis itu sudah hampir berdiri, namun aku mencegahnya. Heboh sekali, hanya tentang tempat duduk.
"Enak, ya jadi anak-anak. Cuma mikirin besok mau main apalagi."
Syukurlah dia berhasil teralihkan perhatiannya. Gadis itu celingukan, mungkin mencari anak-anak yang sedang bermain-main. Tidak ada tentunya. Siang bolong begini mana mungkin pasien anak-anak dibiarkan bermain di luar. Kuacungkan telunjukku ke arah dua ekor kucing kecil yang sedang bermain-main. Saling mengejar, berguling, lalu saling memukul dengan kaki kecilnya. Satu ekor kucing yang lebih besar memperhatikan dari jarak yang tak begitu jauh. Menanggapi seadanya saat kedua kucing kecil menghampiri dan mengajaknya bergurau. Menurutku itu ibu kucingnya. Aku iri padanya. Andai aku bisa sedekat itu dengan ibuku.
"Bukannya kamu takut sama kucing?" tanya Anna heran melihatku begitu tertarik dengan hewan itu.
"Bukan takut, ya? Cuma hati-hati aja. Kucing, kan suka nyakar. Kalo liat dari jauh gini, mah seru liatnya," ujarku membela diri. Aku tidak takut, kok. Apalagi kalau di lihat dari jauh seperti ini. Mereka menggemaskan sekali.
"Itu takut namanya," ejeknya.
"No. Beda pokoknya!" tegasku.
"Buktiin." Gadis itu menyerahkan sebungkus sosis padaku. Aku tidak heran dia membawa sosis kemana-mana, karena gadis itu memang sering membawa makanan ringan kemanapun. Tapi, apa maksudnya membuktikan aku tidak takut kucing dengan sosis.
"Kasihin sama kucingnya." Dia menunjuk para kucing itu dengan dagunya.
"Nanti nyakar." Aku tidak mau, ya. Disaat masih sakit begini masih harus menambah luka baru lagi.
"Nggak, dong. Dikasih makanan ya dimakan lah, ngapain nyakar orang."
"Masa satu sosis buat bertiga--"
"Takut, kan?"
"Nggak, ya!" Gengsi, dong. Masa, aku dibilang takut sama kucing. Tidak mungkin aku takut dengan makhluk menggemaskan itu. Aku akan membuktikannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/372492699-288-k282121.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Mama
Hayran KurguKata orang, aku terlalu penurut. Menjadi penurut juga melelahkan sebenarnya, aku hampir menyerah. Tapi, apa salahnya menuruti ucapan orang tua? Hanya karena mama selalu mengaturku dan aku menurutinya lalu mereka akan memanggilku anak mama? Pedul...