Jam belajar

225 18 2
                                    

Ditemani bulan purnama yang malam ini terlihat bersinar terang bersama beberapa bintang, aku menyusuri jalanan komplek perumahan yang cukup sepi. Tanpa terlalu memerhatikan jalanan dan sekitar karena sibuk menghela napas sambil sesekali menatap langit.

Sebenarnya aku biasa mengendarai sepeda motor matic sejak awal SMA, tapi saat perjalanan pulang tadi motor itu mogok tiba-tiba sehingga mengharuskanku untuk mendorongnya ke bengkel terdekat. Karena malas menunggu aku memilih meninggalkan motorku. Lagipula sepertinya jalan kaki tidak begitu buruk. Aku bisa menikmati waktu sendirian lebih lama. Kalau boleh, aku tidak ingin pulang. Tapi, itu tidak mungkin. Setidaknya aku masih cukup waras untuk menyadari bahwa tidak ada tempat tujuan lain bagiku selain rumah itu.

Aku merogoh saku celana seragamku setelah beberapa kali getaran kurasakan yang berasal dari ponselku. Membaca pesan masuk melalui baris notifikasi. Tanpa berniat membuka aplikasi chatting itu apalagi membalas pesannya, aku memasukkan kembali ponselku setelah sebelumnya menyetel mode silent.

Besok nggak usah jemput
Aku berangkat sama Liam

Dua kalimat yang dikirim oleh gadis itu semakin menambah pening kepalaku. Sejak tadi pagi, cewek yang menyandang status sebagai pacarku itu ngambek karena aku sedikit mendiamkannya. Ahh, mungkin aku juga sedikit kelepasan membentaknya. Aku menyesal untuk itu, tapi belum sempat meminta maaf.

Masalahnya hari ini moodku benar-benar buruk. Hariku dimulai dengan ceramah panjang mama yang membuat telinga panas, hingga akhirnya aku melewatkan sarapan. Kemudian sekolah dimulai dengan jam olahraga, yang mana itu merupakan satu-satunya mata pelajaran yang tidak kukuasai.

Tidak seperti anak laki-laki pada umumnya, aku ini cukup malas berolahraga dan kurasa aku memang tidak cukup berbakat dalam hal itu. Rasanya semua nilai-nilaiku yang hampir sempurna di mata pelajaran lain tidak ada artinya karena aku hanya bisa melompat setinggi satu meter. Kemudian tidak bisa menggiring bola, justru malah mendapat tendangan maut dari salah satu lawan. Tulang kering ku rasanya seperti mau patah.

Disaat moodku semakin memburuk, sang pacar yang kuharap bisa mengembalikan moodku malah semakin merusaknya dengan sifat kekanakannya itu. Ditambah jam pelajaran terakhir guru pengampu bahasa inggris mengadakan ulangan dadakan, sehingga nilaiku hanya Mentok di angka sembilan puluh. Aku benci diriku saat tidak bisa melakukan yang terbaik.

Ngomong-ngomong jangan menghujatku karena tidak bersyukur mendapat nilai sembilan puluh. Karena mamaku benar-benar seseorang yang perfeksionis. Dan aku harus menjadi seseorang yang sempurna untuknya.

Setelah menarik napas panjang dan menata hati, aku memegang handle pintu di hadapanku cukup lama kemudian membukanya perlahan. Kebiasaan mamaku, mengunci pintu tepat di jam sembilan malam dan akan membuka kuncinya lagi besok pagi. Tidak perlu khawatir, karena kami memiliki dua orang satpam yang bergiliran untuk bersiaga menjaga rumah kami tetap aman.

"Darimana kamu?!"

Bulu kudukku meremang mendengar pertanyaan yang langsung terlontar sesaat setelah aku menutup pintu. Ketika berbalik ku dapati mama di anak tangga terakhir, sepertinya baru saja turun dari lantai atas. Meski tidak menatapnya secara langsung, aku tahu mama sedang marah sekarang. Aku hanya bisa menunduk dalam. Pengecut? Tidak, aku menganggap ini adalah sopan santun. Tapi, boleh saja kalau mau menganggapku hanya mencari alasan.

"Les ...," sahutku.

"Les kamu cuma sampe jam enam. Kamu tahu sekarang jam berapa?"

Jam setengah sembilan. Aku menjawab dalam hati. Karena aku tahu mama tidak benar-benar menanyakannya. Dan sepersekian detik kemudian kalimat-kalimat pedas dilontarkannya sembari berjalan ke meja tamu untuk mengambil laptop kemudian pergi ke dapur entah melakukan apa, tapi kalimatnya tidak juga berhenti diucapkan. Sesekali mengulang kalimatnya, entah apa maksudnya. Apa mama kira aku tidak akan dengar kalau mengucapkannya sekali saja?

"Mama selalu bilang, hargai waktu. Kamu harus bisa me-manage waktu dengan baik. Kamu itu pelajar, tugasnya belajar. Malah keluyuran nggak jelas. Padahal mama udah kasih kelonggaran, loh. Maksimal jam delapan kamu harus sudah sampai rumah. Itu sudah dua jam sejak berakhir waktu les kamu. Kamu memang cowok, tapi bukan berarti bisa bebas keluyuran malem-malem." Omelan mama benar-benar tanpa jeda. Tidak ada celah bagiku untuk menjawab.

Aku tidak peduli dengan kalimat selanjutnya. Kurasa itu sudah cukup membuat telingaku panas dan emosiku semakin memuncak. Aku tidak mau dicap anak durhaka hanya karena kelepasan membentak ibuku sendiri. Aku tidak mau bersikap bodoh saat dikuasai amarah. Karena itu kakiku melangkah dengan cepat menuju kamar yang ada di lantai atas. Mungkin mama akan semakin marah setelah ini, karena aku pergi saat beliau sedang berbicara. Tapi, biarkan saja. Toh, marah-marah sudah menjadi kebiasaannya.

Setelah mengunci pintu, aku merebahkan tubuhku di kasur kesayangan. Melepas penat dengan mood yang masih sangat buruk. Aku ingin melupakan semua kesialan hari ini dan semua yang mama ucapkan, tapi otakku yang menyebalkan malah memutarnya berulang-ulang. Tangan kananku terangkat, menempeleng kepalaku cukup kuat. Sialan, kenapa rasanya melegakan sekali. Susah payah aku menahan diri agar tidak mengulangi perbuatan bodoh itu.

"Lo emang goblok, Jisung!"

"Nggak guna banget hidup lo anjing!" Wahh, ternyata mengumpat juga efektif untuk melampiaskan emosi.

"Jisung! Makan, setelah itu belajar. Kamu tidak akan fokus belajar kalau lapar."

Refleks menegakkan tubuh, aku cukup terkejut mendengar mama mengetuk pintu. Apa mama mendengar ucapanku barusan? Mama biasanya marah kalau mendengar seseorang berkata kasar. Nada suara mama memang tinggi, tapi kurasa itu hanya karena masalah aku pulang terlambat tadi.

"Aku sudah makan di luar," sahutku dengan sedikit berteriak. Takut mama tidak mendengar ucapanku. Bisa repot lagi nanti urusannya. Dikira mengabaikan ucapan mama saat menyuruhku makan.

"Ya sudah," sahutnya. "jangan kunci pintu kamarmu!"

"Iya." Setelahnya aku mendengar langkah yang menjauh.

Mama selalu melarangku mengunci pintu kamar sejak dulu. Katanya supaya mudah dibuka kalau terjadi sesuatu. Entahlah sesuatu apa yang mama maksud. Mungkin semacam bencana atau kejadian tak terduga. Aku pun setuju dengan hal itu. Jadi, seperti biasa aku menurut saja. Mama menyuruh bukan tanpa alasan.

Setelah menyempatkan diri untuk membuka kunci, dengan langkah lunglai aku beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah itu tentu saja hal yang wajib dilakukan sebagai seorang pelajar, aku harus belajar hingga jam sebelas malam-- batas waktu yang ditentukan oleh mama. Ya, walaupun sudah les aku masih tetap harus belajar mandiri di rumah. Hanya setelah itu aku boleh pergi tidur. Walaupun kadang-kadang aku mencuri waktu untuk membuka ponselku sekedar untuk membuka media sosial atau bermain game barang sejenak. Asal tidak ketahuan mama.

Tidakkah hidupku terlalu teratur?

Jujur saja aku juga mulai lelah menjalaninya. Tapi, mau bagaimana lagi. Inilah takdirku. Selama ini aku hanya mencoba percaya bahwa tidak ada orang tua yang menjerumuskan anaknya ke jalan yang salah. Aku harap, jalan yang mama anggap benar itu memang baik untukku.



























Gatau deh, ini aku nekat publish
Sayang banget kalo dibuang gitu aja
Mau bongkar lagi juga bingung mau dibikin kek mana
Untuk sekarang, yang penting yakin aja dulu
Gatau nanti kalo tiba-tiba berubah pikiran hehehe

Makasih yang mau mampir


7/7/24

Anak MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang