Hidup kadang sebercanda itu, ya.
Aku pernah bertanya-tanya, sebenarnya cinta itu apa? Tapi, daripada cinta aku lebih penasaran hidup itu apa. Apa makna hidup yang sebenarnya. Untuk apa aku bertahan hingga sejauh ini. Untuk siapa aku hadir di dunia ini.Kalau dipikir-pikir lagi, untuk apa dipikirkan. Hanya membuat pusing saja. Apapun itu, aku ingin mengenyahkan semua isi pikiranku. Kalau memang perlu, reset saja agar kembali ke setelan pabrik. Rasanya ingin mengumpat saja, sepanjang hari pikiranku penuh sekali.
Hanya karena selembar kertas kepalaku serasa ingin meledak. Kemarin bang Marvin memberiku hasil tes DNA yang kuminta beberapa hari lalu. Sebenarnya sudah keluar hasilnya dua hari yang lalu katanya, tapi dia ragu memberikannya padaku meski akhirnya dia serahkan padaku juga. Tepat seperti yang dia takutkan, aku merasa seperti akan menggila.
Selama ini hidupku rasanya datar-datar saja. Hanya sibuk melapangkan dada menerima setiap omelan mama yang seringkali menggores hati. Sibuk belajar sampai rasanya muak sekali, tapi masih minim prestasi. Kucoba untuk selalu menerima keadaan, bersyukur atas apa yang kumiliki meski kadang rasanya ingin mengumpat. Tapi, siapa sangka masalah yang mampu membuatku merasa seperti tercekik ini akhirnya datang menghampiriku.
Aku bukan anak kandung papa. Pikiran negatifku selama ini ternyata bukan tanpa alasan. Tidak ada hubungan darah diantara kami. Semuanya menjadi masuk akal. Alasan mengapa papa tidak pernah mempedulikanku, karena aku memang bukan anaknya. Pada akhirnya aku benar-benar orang asing bagi papa.
Lalu, skenario buruk macam apa yang telah membawaku ke dalam keluarga ini? Apa mama juga bukan ibu kandungku? Sialan, aku terlalu takut untuk menerima fakta lainnya. Tapi, aku tidak bisa menutup mata begitu saja. Aku tetap ingin tahu, siapa aku sebenarnya? Darimana aku berasal? Darimana semuanya bermula?
Memikirkan itu semua membuat otakku mendidih. Guyuran air yang berasal dari shower di kamar mandi sama sekali tidak memberikan pengaruh sedikit pun. Padahal sudah cukup lama aku duduk di lantai dingin kamar mandi ini, tapi semuanya terasa sia-sia. Darah yang masih terus menetes dari lengan kiriku tercampur dengan air yang mengalir. Pengecut, mengiris lengan saja aku tidak mampu. Hanya beberapa goresan tipis yang tercipta di sana. Harusnya kuakhiri saja semuanya dengan menekan pisau lebih dalam lagi.
Gedoran pintu mengejutkanku. Suara Lea terdengar memanggil berkali-kali. Dengan gugup aku berdiri, mematikan shower, lalu pusing sendiri bingung bagaimana caranya keluar tanpa mendapat tatapan curiga dari gadis itu. Sebenarnya aku memakai pakaian lengkap, tentu saja karena aku tidak ada niatan untuk mandi sebelumnya. Tapi, semuanya basah. Aku bahkan tidak membawa handuk.
"Kak Ji buruan! Mama manggil suruh ke bawah sekarang!"
Berdeham pelan mengatur suara, kemudian mencoba berteriak, "Iya, bentar. Lagi mandi."
"Cepetan, sebelum mama tambah marah," sahutnya.
"Tolong ambilin handuk, Le!" Bagus, aktingku sangat menjiwai sekali bukan. Selain aku bisa sekalian mandi, Lea juga jadi semakin percaya aku memang sedang mandi.
"Aku taruh pintu. Kak Ji cepetan!"
"Makasih."
Kukira gadis itu sudah pergi keluar. Hampir saja aku membuka pintu untuk mengambil handuk, tiba-tiba suaranya terdengar lagi.
"Siapin diri, Kak. Mama marah soal nilai lagi, kayaknya." Setelah mengucapkan kalimat itu, terdengar suara langkah cepat lalu pintu kamarku ditutup.
Aku baru ingat. Hari ini aku memilih tidak pergi ke sekolah karena biasanya di hari penerimaan rapot tidak ada absensi. Perasaanku memang buruk tentang nilai semester ini. Setidaknya mama tidak marah marah di sekolah di depan teman-temanku. Akan kuhadapi kemarahan mama kalau sudah di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Mama
FanfictionKata orang, aku terlalu penurut. Menjadi penurut juga melelahkan sebenarnya, aku hampir menyerah. Tapi, apa salahnya menuruti ucapan orang tua? Hanya karena mama selalu mengaturku dan aku menurutinya lalu mereka akan memanggilku anak mama? Pedul...