4. Amanat Lisan

17 6 0
                                    

Tentangmu, si penyambung darah ibu.

Si puan yang terus terjaga.


Si gadis dengan bahu kekar itu menampilkan segurat senyum.

Meniti cerita yg tak ingin dipadamkan

Mengemban kata secara lisan.

Rambutnya berteriak galak, matanya berteriak parau.

Kakinya lemah menopang.

Bahunya luruh, tangannya perlahan lelah mengais mimpi yg tak lekang dipetik

Berkelana mencari sebait cerita yg hilang,

mengumpulkan sajak untuk menyatukan amanat.

Bertanya, ia bisu.

Bercerita mulutnya enggan.

Ia mendengar keluhan akan ketiadaan.

Matanya menatap tubuh yang ringkih.

Kepada si kecil ia menegakkan tubuhnya yang bungkuk.

Memaksa kaki untuk melangkah, berlari dan tangan untuk menari.

Berlengak-lengok untuk berdusta kepada dunia.

Tak ada telinga yg mampu untuk mendengar cicitannya.

Tak ada mata yg mengawasinya.

Ia ingin tubuhnya terlihat.

ia ingin suaranya terdengar.

Namun, enggan untuk menyekaratkan orang.

Akhirnya ia sendiri terperangkap & sekarat dengan pesan & amanat lisan.

Terjerembab pada tubuh yg berharap dijaga.

Ia terabaikan dari penglihatan.

Tersingkir dari keramaian.

Teriakannya disangka penghianatan.

Tangisan dikira ketidakmampuan.

Ia gila, dalam kebisuan dengan tawa pedihnya.



Banyak perkiraan, puan penyambung darah pertama adalah galak, penuh amarah, egois.

Jawa Tengah, 22 Mei 2024
By Caelumnarrat_
Tentang puan
Kesah si puan

Lukisan Dalam KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang