Madara duduk di ruang rapat perusahaan yang mewah, mencoba memusatkan perhatiannya pada presentasi yang sedang berlangsung. Para bawahannya berbicara tentang strategi bisnis dan laporan keuangan, namun pikirannya terus menerus terbang kembali ke Ino. Sudah dua minggu sejak ia terakhir kali bertemu atau menghubungi gadis itu, dan rasa rindu semakin menggerogoti hatinya.
Dalam bayangannya, Madara bisa melihat dengan jelas wajah Ino yang cantik, dengan mata yang memancarkan kecemasan ketika ia datang ke toko bunga dua minggu yang lalu. Dia ingat bagaimana gadis itu tampak gelisah dengan kehadirannya, meskipun sudah menjadi kekasih Madara, namun sekali lagi hubungan itu terjalin karena keterpaksaan.
Madara tahu bahwa mendesak Ino untuk menerimanya sepenuhnya bukanlah solusi yang bijak. Jika ia memaksa, ia takut Ino akan semakin menjauh darinya seperti sekarang ini. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk memberi gadis itu ruang dan waktu, meskipun keputusan itu membuatnya semakin merindukan Ino.
Rapat berakhir dan Madara kembali ke ruang kerjanya yang luas dan modern. Dia menghempaskan tubuhnya ke kursi, merasakan kelelahan dan pusing yang mulai menyerang. Rasa rindu yang begitu kuat terhadap Ino membuatnya merasa tidak fokus dan tertekan. Madara membuka laci mejanya dan mengambil sebuah foto kecil. Itu adalah foto Ino, tersenyum manis dengan bunga-bunga di sekitar. Matanya yang indah dan senyumnya yang tulus membuat Madara merasa seakan-akan hatinya dihancurkan berulang kali. Dia menatap foto itu dengan intensitas yang mendalam, berusaha mencari ketenangan di dalam bayangan kekasihnya.
Dia tahu bahwa perasaannya terhadap Ino lebih dari sekedar obsesi. Dia benar-benar mencintai gadis itu, dan dia bersedia melakukan apa saja untuk membuatnya bahagia. Namun, kenyataan bahwa Ino masih belum bisa sepenuhnya menerima dirinya membuat Madara merasa terjebak dalam dilema yang sulit. Madara memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir pusing yang semakin menjadi. Namun, bayangan Ino tetap saja muncul di benaknya, membuatnya semakin sulit untuk berkonsentrasi. Madara menarik napas dalam-dalam dan membuka matanya kembali, menatap foto Ino dengan penuh kerinduan.
“Bagaimana aku bisa membuatmu mengerti, Ino?” gumamnya pada diri sendiri. Madara tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi demi cinta yang tulus, dia siap menghadapi segala tantangan yang ada.
Obito membuka pintu ruangan Madara dengan membawa beberapa dokumen penting, ia memperhatikan Madara dengan cermat. Dia memperhatikan bahwa pamannya tampak terganggu sepanjang rapat tadi, dan ini membuatnya merasa cemas. Obito mendekati Madara yang terlihat pusing dan lelah.
"Paman baik-baik saja?" tanya Obito dengan nada khawatir.
Madara mengangguk singkat, berusaha terlihat kuat untuk meyakinkan Obito. "Aku baik-baik saja, Obito. Hanya sedikit pusing. Aku akan pulang dan beristirahat."
Obito merasa tidak yakin. "Biar aku antar kau pulang. Kau tampak tidak sehat."
Namun, Madara menolak tawaran itu dengan tegas. "Tidak perlu, aku bisa mengemudi sendiri. Kau kembali saja ke pekerjaanmu."
Dengan itu, Madara berjalan keluar dari gedung perusahaan, meninggalkan Obito yang masih merasa khawatir. Obito memperhatikan saat Madara masuk ke mobilnya dan mulai mengemudi.
Ketika Madara menghilang dari pandangannya, Obito memutuskan untuk tidak mengabaikan perasaannya. Dia segera masuk ke mobilnya sendiri dan mulai mengikuti Madara dari kejauhan. Meskipun Madara tampak mengemudi dengan normal, Obito tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa sesuatu yang lebih dalam sedang terjadi dengan pamannya.
Selama perjalanan, Obito terus mengikuti dengan hati-hati, memastikan agar Madara tidak menyadari keberadaannya. Dia berharap Madara akan baik-baik saja, tetapi instingnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi, sesuatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret of Destiny [MADARA X INO]
RandomMadara menerjang kehidupan demi kehidupan hanya untuk mencarinya. Dia sudah kehilangan cinta di dua kehidupan sebelumnya dengan cara yang begitu menyakitkan. Dan kali ini dia berjanji bahwa itu tidak akan terjadi lagi. "Tuhan, jika memang kehidupan...