14. Pieces of the Past

102 19 7
                                    


Ino terus berlari di sebuah hutan yang gelap dan suram. Pohon-pohon menjulang tinggi, ranting-rantingnya seperti cakar yang mengintai. Angin berhembus kencang, membuat daun-daun bergesekan dengan suara yang mencekam. Ino berlari dengan napas terengah-engah, darah mengalir dari luka di pahanya, chakranya sudah sangat menipis.

"Tak boleh berhenti," pikirnya.

Di belakangnya, suara langkah kaki yang berat dan mengancam semakin mendekat. Dia tahu betul siapa yang mengejarnya—seorang shinobi musuh dari kehidupan sebelumnya. Wajahnya samar namun penuh kebencian, mata merahnya menyala dengan niat jahat.

Ino tersandung dan jatuh, tangannya terluka oleh ranting-ranting tajam di tanah. Dia merintih kesakitan, namun tidak punya waktu untuk berdiam diri. Dengan susah payah, dia bangkit dan mencoba melanjutkan pelariannya, meski tubuhnya lemah dan kakinya hampir tak bisa bergerak.

Musuhnya semakin dekat. Ino bisa merasakan napas dingin di tengkuknya. Dalam kegelapan, dia melihat kilauan kunai di tangan musuhnya, siap menyerang.

"Ini akhirnya," pikir Ino dengan putus asa, merasa tidak ada jalan keluar.

Namun, dia tidak menyerah begitu saja. Ino mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk berlari lebih cepat, berharap menemukan tempat bersembunyi atau seseorang yang bisa membantunya. Namun, hutan itu seolah bersekongkol dengan musuhnya, menutup setiap jalan keluar.

Langkah-langkah berat itu semakin mendekat. Dalam sekejap, Ino terpojok di tepi jurang. Tidak ada jalan keluar, tidak ada tempat bersembunyi. Dia berbalik, menghadapi shinobi musuh yang kini hanya beberapa langkah darinya. Mata musuhnya bersinar dengan niat jahat yang jelas.

"Tolong!" teriak Ino dengan suara penuh keputusasaan, namun tak ada jawaban selain gemuruh angin dan tawa mengerikan dari musuhnya.

Musuhnya maju, mengangkat kunai tinggi-tinggi, siap mengakhiri hidup Ino. Dalam detik-detik terakhir sebelum serangan itu jatuh, Ino merasakan gelombang ketakutan dan kesedihan yang luar biasa. Dia memejamkan mata, menunggu akhir yang tidak terhindarkan.

Kunai itu meluncur ke bawah dengan kecepatan mengerikan, namun tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

.
.
.
.
.

"TIDAAAAK!!!"

Ino terbangun dengan teriakan, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Dia duduk di tempat tidur, mencoba mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Mimpi itu begitu nyata, begitu hidup, seakan-akan dia benar-benar mengalaminya. Dia memegang dadanya yang terasa nyeri, berusaha menenangkan dirinya.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" gumamnya pelan, merasa ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang familiar dalam mimpi itu. Namun, seberapa keras pun dia mencoba mengingat, bayangan dan perasaan itu tetap tak bisa dia pahami sepenuhnya.

Ino menoleh ke jam di samping tempat tidurnya. Jarum jam menunjukkan pukul 5 pagi. Dengan mata yang masih berat, dia menyadari bahwa dia baru tidur selama tiga jam. Kelelahan dan mimpi buruk membuat tubuhnya terasa lemah.

Hari ini adalah hari ujian kelulusan. Ino merasa gugup, tapi bukan hanya karena ujian itu sendiri. Selain mimpi tadi, ada hal lain yang mengganggu pikirannya—Madara. Belakangan ini, Madara seperti hantu yang menghantui pikirannya. Setiap kali dia melihatnya, ada perasaan aneh yang tidak bisa dia jelaskan. Tatapan mata Madara selalu penuh dengan rasa rindu dan penderitaan yang mendalam, membuat Ino merasa cemas dan tidak nyaman.

"Kenapa dia selalu ada di pikiranku?" pikir Ino sambil menghela napas panjang.

Dia beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar mandi. Wajahnya terlihat pucat di cermin, dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Ino memercikkan air dingin ke wajahnya, mencoba menghilangkan sisa-sisa mimpi buruk itu dari pikirannya.

Secret of Destiny [MADARA X INO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang