Ino membuka pintu rumahnya perlahan, mencoba tidak membuat suara agar tidak membangunkan orang tuanya. Namun, langkah kakinya yang hati-hati tak mampu menutupi kenyataan bahwa ia baru pulang saat matahari sudah terang. Begitu ia melangkah masuk, ia disambut oleh suara cemas dari ruang tamu.
"Ino, dari mana saja kamu, sayang?" suara ibunya terdengar penuh kekhawatiran. Ibunya, Yoshino Yamanaka, langsung berdiri dari sofa dan mendekat.
Ayahnya, Inoichi Yamanaka, mengikuti di belakang, dengan raut wajah yang sama khawatirnya. "Kami mencoba menghubungimu, tapi ponselmu tidak aktif. Apa yang terjadi?"
Ino menelan ludah, berusaha mencari alasan yang masuk akal. "Maaf, Ayah, Ibu. Ponselku mati baterai, dan aku menginap di rumah teman setelah ujian kelulusan. Kami merayakannya dan membicarakan rencana kuliah."
Yoshino memegang tangan putrinya dengan lembut. "Yang penting kamu baik-baik saja. Kami sangat khawatir."
Ino merasa lega sedikit, tapi beban di hatinya masih terasa berat. "Maaf membuat kalian khawatir. Aku seharusnya memberitahu kalian lebih dulu."
Ayahnya menarik napas panjang. "Kami hanya ingin kamu berhati-hati, Ino. Apalagi dengan situasi perusahaan kita yang sedang sulit."
Ino mengangguk, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. "Aku mengerti, Ayah. Aku akan lebih berhati-hati ke depannya."
Yoshino tersenyum, meskipun kekhawatiran masih terpancar di matanya. "Ngomong-ngomong tentang perusahaan," katanya, "ada kabar baik pagi ini. Keluarga Uchiha setuju untuk melanjutkan kerja sama dengan perusahaan kita. Ini bisa menyelamatkan bisnis kita."
Ino merasakan campuran emosi mendengar kabar itu. Ia tahu alasan di balik keputusan Uchiha itu, tapi ia harus menyembunyikan kenyataan itu. "Benarkah? Itu kabar yang sangat baik."
Tiba-tiba, terdengar suara pintu kamar terbuka dari lantai atas. "Kejutan!" Deidara, saudaranya yang baru saja pulang dari luar kota, muncul dengan senyum lebar di wajahnya.
"Ino, kamu di sini juga!" Deidara berlari menuruni tangga dengan penuh semangat. Ino hanya bisa berdiri terpaku, matanya melebar dengan kaget. "Kakak?!"
Deidara mendekat dan memeluknya erat. "Ya, aku! Aku pulang untuk memberi kejutan. Kamu tidak tahu betapa rindunya aku pada rumah dan kalian semua."
Ino membalas pelukan itu, meskipun hatinya masih berdebar kencang. "Kapan kakak pulang? Kenapa tidak memberi tahu?"
Deidara tertawa kecil. "Aku ingin membuat kejutan. Bagaimana kabarmu? Aku dengar kamu baru saja menyelesaikan ujian kelulusan."
Ino mengangguk, masih mencoba menenangkan diri dari keterkejutan. "Ya, ujian selesai. Sekarang tinggal mempersiapkan kuliah."
Deidara menatapnya dengan cermat. "Kamu terlihat lelah, Ino. Apa kamu baik-baik saja?"
Ino mengangguk lagi. "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah setelah ujian dan perayaan."
Ayahnya menepuk pundak Ino. "Kita bisa bicara lagi nanti, sayang. Yang penting sekarang, kamu istirahat dulu."
Deidara menimpali, "Benar, Ino. Kamu harus istirahat."
Ino mengangguk dan tersenyum kepada keluarganya sebelum naik ke kamar. Begitu pintu kamar tertutup, senyumannya pudar. Ia merebahkan diri di tempat tidur dan menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi hari-hari yang akan datang.
Di dalam hatinya, Ino tidak menyangka bahwa Madara bisa berubah secepat itu karena obsesinya. Ia tahu bahwa Madara mencintainya, tapi cara Madara yang seperti ini membuatnya tidak nyaman. Madara yang dulu ia kenal sebagai pria yang tenang dan penuh perhatian walaupun tertutupi oleh wajah datarnya kini berubah menjadi seseorang yang mendesak dan memaksa. Ino merasa terjebak dalam situasi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret of Destiny [MADARA X INO]
RandomMadara menerjang kehidupan demi kehidupan hanya untuk mencarinya. Dia sudah kehilangan cinta di dua kehidupan sebelumnya dengan cara yang begitu menyakitkan. Dan kali ini dia berjanji bahwa itu tidak akan terjadi lagi. "Tuhan, jika memang kehidupan...