HOME TO YOU

662 108 21
                                    

HOME TO YOU

Hal pertama ketika seulgi mulai membuka mata adalah langit-langit berwarna kelabu, lalu kantung infuse yang menggantung membentuk bayangan buram, sebelum kemudian bayangan beberapa wajah-wajah di sekitarnya terlihat jelas. Lalu suara-suara yang di tangkap indra pendengarannya yang terdengar seperti gumaman kini terdengar jelas.

Wajah mami semakin jelas ketika ia membungkuk mendekati seulgi, raut wajahnya penuh kekhawatiran. Mata mami merah dan sembab, ada bekas air mata yang masih meninggalkan jejak di pipi putihnya.

"Hei, anak mami sudah bangun?" suara mami melantun begitu lembut, hampir berbisik. Tatapan matanya menyorot kesedihan mendalam. Namun layaknya ibu pada umumnya yang tidak ingin kelihatan sedih di depan anaknya, beliau berusaha tegar dengan membentuk segaris senyum tipis di sana.

"Mana yang sakit? Kalau seulgi sakit, bilang sama mami ya." Lanjut mami sembari memberi usapan di kepala seulgi.

Tenggorokan seulgi makin tercekat ketika menatap papi yang tadinya berdiam diri di samping ranjang bersama mami perlahan juga ikut mendekat. Wajah papi mengeras, mencoba menahan emosi, tetapi garis-garis di sekitar matanya memperlihatkan kesedihan mendalam yang tidak bisa di sembunyikan.

"Seulgi mau ke luar negeri lagi? Sebutkan mau negara mana, biar papi yang urus visa sama tiketnya. Asalkan seulgi jangan pergi lama-lama." sama seperti mami, papi juga ikut tersenyum.

Bukan hanya mami dan papi yang ada di ruangan ini, tapi ada juga sehun yang kini melambaikan tangan di ujung ranjang beserta senyum tengilnya.

"Lo tuh kelamaan tidurnya, sampai dua jam lagi. Katanya lo mau ngegym sore sama gue, eh lonya malah suka banget tidur di rumah sakit ini." Semua orang tahu bahwa kalimat yang terlontar dari sehun adalah bentuk hiburan tapi tidak ada yang tahu, kalau pria itu sebenarnya ketakutan melihat keadaan seulgi seperti ini.

Alih-alih terhibur dengan kalimat sehun barusan, seulgi justru membisu mendapati irene—sang tetangga yang hanya berdiri di belakang kursi roda oma yang sedang menangis. Semua orang berkumpul di sini, melihat keadaannya yang barangkali sudah di ketahui mereka.

Tidak bisakah Tuhan memberinya peruntungan sekali lagi? Dari segala sesuatu yang ia miliki dalam hidup kenapa harus nyawanya yang Tuhan minta?

Seulgi kemudian terkekeh.

"Aku heran, kenapa kalian semua pada nangis? Jelas-jelas aku masih hidup dan nggak akan mati hari ini juga." Ucapnya di sela suaranya yang serak. Diliriknya oma yang makin gencar mengusap air matanya dengan tangan rentanya.

"Oma nggak nangis cuma kelilipan." oma berpegangan pada tangan irene di belakangnya, mencoba mencari kekuatan di sana.

Tapi seulgi tahu oma sedang berbohong.

"Aku masih ingin tinggal sama oma, aku akan selalu menjadi cucu yang membuat oma kewalahan menghadapi kenalakanku, kalau perlu aku akan membuat oma marah setiap hari karena aku pulang dalam keadaan mabuk."

Bukannya menghentikan tangisan oma, kalimat itu justru meloloskan lagi airmata mami yang di tahan sejak tadi. Barangkali hanya wajah irene yang akan selalu kelihatan dingin dan kaku, tapi siapa yang tahu kalau sebetulnya hatinya ikut hancur.

"Kalian masih percaya diagnosis dokter?" seulgi tertawa, ia mencoba bangun agar bisa duduk dan papi segera membantunya menekan tombol di sisi ranjang untuk meninggikan sandaran ranjangnya.

"Padahal sudah jelas dokter itu bukan Tuhan, dan nggak bisa seenaknya bilang hidup aku nggak akan lama lagi. Ck, mereka cuma akal-akalan supaya kalian lebih memperhatikan aku. Oma, mami, tolong, tolong hentikan tangisan kalian itu, jangan percaya kata dokter. Mami lupa sama janji aku di telpon tadi? Bahwa aku akan hidup seribu tahun lagi, memberi mami dan papi cucu, cicit, semua keturunanku nanti akan melihat kalau aku masih hidup sampai saat itu."

HAPPINESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang