"Hari ini oma sehat kan?" tanyanya dengan sopan. Sehun menggantikan suster mendorong kursi roda oma.
"Oma, selalu sehat. Sehun sudah sarapan?"
Pria itu sedikit menampilkan tawa kecil. Pertanyaan sederhana dari oma sangat berarti dibanding kedua orangtuanya yang tidak pernah menanyakan hal sama di rumah.
"Belum, oma." Tawa tengil itu muncul namun cukup sopan di depan oma. Berbanding terbalik saat bersama seulgi. "Aku juga ke sini mau nemuin seulgi. seulgi, ada kan oma?"
"Dia sedang melukis di atas. Nanti sarapan sama seulgi Sekalian kaisar-abangmu juga di ajak. Jangan sungkan-sungkan sarapan di rumah oma. Anggap saja ini rumah sendiri."
"Memangnya kapan aku nggak pernah anggap rumah ini seperti rumah sendiri?"
"Bisa saja kamu sehun."
Sejak mereka pindah ke komplek perumahan elit ini. Sehun dan kaisar akan selalu menganggap perempuan ini layaknya oma sendiri. Hanya beliaulah yang merentangkan tangan lebar-lebar merangkul mereka disaat kedua orangtuanya di sibukkan dengan dunia politik. Tidak ada yang membuatnya lebih terharu ketika kasih sayang itu di terimanya dengan cuma-cuma. Tanpa seulgi mintapun untuk menjaga perempuan ini, mereka akan dengan senang hati berkunjung setiap hari ke rumah oma secara bergantian. jangankan oma, sehun akan suka rela menjaga gadis itu kapan di butuhkan.
Sehun berpamitan pada oma untuk menemui seulgi di studionya di lantai tiga. Senyum sehun mengiringi setiap Langkah kakinya melewati anak tangga. Setiap kali ia akan menemui gadis itu, sesering itu pula senyumnya mengembang secara tak sabaran.
Sehun mengatur napas beberapa kali begitu pria itu berdiri di depan pintu studio seulgi. senyumnya kian lebar. Sosok yang ingin ditemuinya terlihat dari pintu setengah membuka ini. Entah kenapa membuat sehun gugup bukan main. Gadis itu berada di tengah ruangan, duduk memunggunginya sambil memegang palet dan kuas sedang melukis di kanvas. Barangkali lukisan-lukisan yang menggantung di setiap sudut dinding itu sangat menarik, namun yang lebih menarik bagi sehun adalah sosok itu.
Wajah serius yang diam-diam penuh kekaguman itu kini tergantikan wajah tengil dan usil. Kedua tanganya bersembunyi dalam kantung celana.
"Hai, babe."
Seulgi memutar kursi. Dengan noda cat di baju serta di wajah, ia menatap malas ke arah sehun.
"Hai juga, tenyom. Ngapain lo ke sini? Ganggu aja."
"Jangan gitu dong babe. Aku kangen."
"Hun. seriusan deh. Mending lo berobat. Makin gila lo kayaknya."
Sehun terbahak mendekati tempat seulgi. pria itu berdiri di samping seulgi yang sudah memutar lagi kursinya menghadap kanvas. Tangannya kembali sibuk melukis.
Lukisan pada kanvas itu Ada sosok perempuan tengah duduk di tengah padang savanna. Dengan wajah mendongak pada langit biru cerah di atasnya. Rambut panjangnya berkibar tersapu angin dengan senyum tenang di wajah. Lukisan itu seolah menggambarkan sosok yang baru saja meraih kebebasan. Sehun dibuat takjub.
"Mahakarya seindah ini, kenapa nggak lo pajang di pameran lukisan? Gue yakin di luar sana pasti banyak peminat lukisan lo ini. Om henry sama tante aiko pastinya seneng lo ngembangin bakat lo. Dari pada lo sembunyiin di rumah oma kan, Gi?"
"Makasih atas usulan lo yang nggak gue minat itu. mending lo nggak usah ngebacot deh. Lo pasti ke sini mau numpang makan kan? Gih, ke bawah makan sana."
"Makan bareng yuk. Kata oma lo belum sarapan? selesain aja nanti lukisannya."
"Lo aja sana, Hun."
Selagi seulgi sibuk melukis. Sehun mengambil sepuasnya kesempatan untuk menunduk memperhatikan gadis itu. gadis cantik bak ningrat ini sudah lama muncuri perhatiannya, aroma tubuhnya sangat harum sekalipun belum mandi, kulit putihnya mulus bak porselin dengan rambut yang tidak tertata rapi. Entah bagian mana lagi yang tak habis-habisnya ia kagumi dari gadis ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAPPINESS
ChickLitKita punya banyak mimpi di masa depan, banyak harapan-harapan yang ingin kita lakukan. Tapi Tuhan tahu Bahwa mimpi-mimpi kita hanya sebuah rencana, dan kisah perjalanan kita akan menjadi sebuah cerita manis untuk di kenang. Kamu adalah langit yang...