i

502 102 4
                                    

Irene berdiri menunggu ketika salah satu anak buah papa berbisik mengabari kedatangannya pada pria itu. Pria yang kini duduk di tengah tribun menyaksikan arena tinju itu berlangsung. Ruangan itu ramai oleh sorakan orang-orang yang menonton. Terikan 'bunuh' menggema di sekeliling tribun kecil di sana.

Tempat yang sebetulnya tak ingin Irene kunjungi ini memaksanya datang untuk menemui papa yang kini berjalan ke arahnya. Tatapan tajam, langkah tegas penuh intimidasi itu spontan membuat orang-orang yang di lewatinya membungkuk memberi hormat.

Luar biasa hebat bagaimana sosok itu membuat sekitarnya takluk.

"Senang rasanya kamu mengikuti perintah papa, rene."

Irene tidak tahu reaksi apa yang perlu ia tunjukkan ketika mendengar kalimat itu. Karena sebetulnya tidak ada alasan lain bagi papa mengundangnya ke sini kalau bukan karena sesuatu yang penting. Atau kemungkinan papa mengetahui perubahan-perubahan aneh yang di alaminya beberapa hari terakhir.

"Aku nggak bisa lama-lama berada di sini."

Suara riuh yang di dengarnya mulai meredam seiring langkah mereka menaiki tangga. Di ikuti dua anak buah papa di belakang mereka.

Irene menoleh sekilas pada derai tawa kecil di wajah kaku papa.

"Bagaimana kabar mama kamu?"

"Mantan istri papa?" Irene tersenyum culas memandangi anak buah papa yang dengan gesit membukakan pintu untuk mereka. "Dia sangat bahagia, aku, yerin, kami bertiga bahagia."

"Suho?"

Irene terdiam lama.

"Baik, kami harmonis seperti biasanya. Jadi, ada apa papa panggil aku ke sini?"

Lagi-lagi ada gelak tawa kaku di sudut bibir papa. Pria itu duduk menyilangkan kaki sambil bersedekap tangan. Kepalanya mengangguk pada salah satu anak buahnya sebagai isyarat. Yang kemudian disusul oleh sodoran iPad oleh bawahannya itu. iPad yang di terima papa di letakkan di atas meja dengan memutar video, lalu terdorong ke hadapannya.

"Papa, butuh penjelasan."

Irene menunduk sebelum terkesiap hebat di tempatnya.

"Video itu di ambil anak buah papa seminggu yang lalu. Yang kebetulan tidak sengaja lewat depan rumah kacamu. Biar papa perjelas, apa papa selama ini lupa mengingatkanmu supaya kamu tidak dekat-dekat dengan orang yang punya pengaruh buruk pada Usaha milik papa.?"

Adegan dalam video menunjukkan dirinya yang sedang berciuman dengan seorang gadis. Gadis yang di maksud adalah seugli--cucu Oma Elisabeth. Di lantai dua Studio sewaan milik seulgi. Dimana waktu itu mereka sedang bersih-bersih. Irene masih ingat bagaimana gadis itu menciumnya dan mendorongnya ke dinding. Ia tidak tahu menahu adegan itu justru terekam oleh anak buah papa.

"Kamu tahu, irene," lanjut papa sambil menggulung kemeja bagian lengannya sampai siku. "Kamu adalah anak kesayangan papa, lebih dari yerin, adikmu. Papa lebih tahu segalanya tentang kamu di banding mamamu."

"Jangan ganggu dia, pa." Dari sekian banyak kalimat yang mengumpul, hanya itu yang terlontar dari mulut Irene.

Papa menempakkan kedua lengan penuh tattoo itu di bahu sofa. dagunya mengenddik pada dua bawahannya untuk meninggalkan mereka di ruangan itu.

"Papa nggak akan ganggu dia," ucapnya setelah dua pria penjaga tadi menghilang di balik pintu. "Asal kamu jangan dekat dengan dia. Karena dia adalah pewaris tunggal dari keluarga Albert wijaya. Satu-satunya cucu yang Sudah mereka siapkan sebagai pewaris utama dibanding cucu-cucunya yang lain. Jadi, secara tidak langsung kedekatan kalian ini nantinya akan menimbulkan pengaruh buruk pada usaha papa selama ini. Kamu paham, rene?"

HAPPINESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang