the only one

484 102 20
                                    

Lucunya, kalimat itu cuman tertahan di ujung lidah irene. rasanya, manusia seperti dirinya tidak biasa mengungkapkan perasaannya terhadap seseorang. Ia terlalu kaku pada dunia sekitarnya hingga perasaan kecil saja hanya terpendam dalam hati.

Ketika pelukan mereka teruai dan mereka saling berhadapan, tatapan asing seulgi cukup membuat irene kesakitan. Dan dengan polosnya ia membiarkan seulgi menuntunnya untuk duduk. Barangkali gadis itu mengira dirinya seperti barang pecah yang siap hancur kapan saja.

Pada akhirnya mereka duduk dalam diam. Angin malam menyelinap masuk dari celah jendela yang terbuka membuat suasana kamar rawat seulgi makin dingin. Lampu di kamar seulgi tidak menyala. Meskipun begitu, masih ada cahaya bulan yang tembus dari kaca jendela hingga menyinari wajah keduanya.

Irene perlahan memalingkan kepala memandangi siluet wajah seulgi yang diterpa sinar bulan.

"Kamu sudah baikan sekarang? Nggak takut lagi kan?" tanya seulgi tiba-tiba, menghilangkan canggung diantara mereka.

Irene tidak mengangguk maupun menggeleng. Ia cuman diam sambil melamun.

"Aku sebenarnya nggak mau kepo soal masalah kamu. Kalau boleh tau, kamu pasien juga di rumah sakit ini? Sakit apa? Terus udah berapa lama di rawatnya."

Seandainya situasi mereka tidak serumit ini, mungkin irene akan tertawa dengan pertanyaan seulgi. dan bilang kalau ia adalah wanita bodoh yang pura-pura kesasar hanya untuk bertemu dengannya. Lalu dengan gilanya, ia akan mengatakan juga bahwa ia tidak bisa jauh darinya, ia merindukan barang-barang aneh pemberiannya, ia juga merindukan kedatangan gadis itu di depan teras rumahnya seperti dulu.

"Demam, sebulan lebih." Ucap irene asal. Ia masih memperhatikan seulgi dari samping.

"Pantes kamu ketakutan dari tadi. Biasanya orang demam sukanya mimpi buruk, mungkin gara-gara itu kali ya kamu bangun-bangun sampe kesasar ke kamar aku."

Seulgi reflek mengangkat punggung tangannya ke kening irene. irene sama sekali tidak menghindar, kalau perlu ia akan membiarkan tangan itu berlama-lama di keningnya.

"Tapi kayaknya demam kamu udah mendingan. Siapa yang jaga kamu?"

Walau tangan itu pada akhirnya menjauh juga.

"Nggak ada," bohong.

"Ibu kamu?"

"Nggak ada." Dan berbohong lagi.

"Ayah, saudara atau keluarga yang lain juga nggak ada?"

Meski sebenarnya ia bersama yerin tapi Irene memilih menggelengkan kepala sebagai jawaban.

Sudut mata irene kembali berair. Lucu, bukan? Disaat ia berhari-hari menunggu seulgi bangun dari komanya, Tuhan justru memberinya kejutan.

Seulgi menggeser bokongnya lebih mendekat. Di tariknya lagi tubuh irene dalam pelukan, ia memberi tepukan lembut di punggung irene seperti seorang teman.

"Jangan nangis lagi. Aku tau kamu pasti kesepian. Kamu boleh tinggal di kamar aku sementara kalau kamu mau?"

Irene kehilangan kata-kata. Kalimat yang sejatinya sudah ia kumpulkan jauh-jauh hari kini seolah tertelan dalam ternggorokannya. Andai seulgi tahu bahwa bukan tatapan iba yang ingin irene lihat, bukan juga pelukan asing yang irene inginkan.

"Ssst.. tenang ya. Aku disini bakal nemenin kamu." Seulgi mengurai pelukan. Ia membantu mengusap airmata irene.

Sungguh, dalam hidupnya tidak pernah irene merasa seputus asa ini pada seseorang. Baru sekarang irene menyesali keputusan yang kemarin-kemarin menolak seulgi. ia takut akan menyakiti seulgi nantinya, tapi sayangnya keputusan itu malah jadi bumerang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HAPPINESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang