CARROT

559 95 13
                                    

*******

Memang betul selama mengunjungi banyak negara hal menarikpun akan seulgi dokumentasikan dengan sebuah lukisan. Namun sayangnya, setelah dua hari menginap di rumah oma. Kanvas putih di depannya sama sekali tidak ada coretan kuasnya. Inspirasi kali ini menghilang dalam kepalanya yang membuat seulgi mendadak buntu.

30 menit lamanya seulgi duduk mematung memandangi kanvas kosong itu. padahal kedua tangannya sudah siap dengan kuas dan cat hitam. Nihil! Belum ada tanda –tanda inspirasi itu akan datang. Seulgi akhirnya berdiri meletakkan lagi peralatan melukisnya di atas meja dekat kanvas di sebelahnya. Ia berjalan mendekati tiga lukisan yang di simpan rapi di belakang bed sofa. Sebenarnya bukan hanya itu saja lukisan miliknya masih banyak yang menempel di dinding studio itu. namun cuma tiga yang sengaja ia sembunyikan. Dibukanya kain yang menutupi lukisan itu.

Lukisan-lukisan tersebut menggambarkan sosok perempuan. Perempuan yang dengan sengaja menutupi sepasang matanya dengan kedua telapak tangannya, perempuan dengan mata yang di tutupi kain, dan perempuan yang berdiri di atas tebing memandang nun jauh pada hamparan warna di depan sana. Tapi sekali lagi, perempuan itu tidak bisa melihat, hanya sebuah tatapan kosong.

Tidak perlu seorang ilmuan untuk tahu lukisan itu adalah gambaran dirinya. Tentang dirinya yang buta warna. Dan tidak ada yang tahu bahwa di antara banyaknya lukisan di ruangan itu masih ada tiga lukisan lain yang tidak pernah Ia tunjukkan pada mereka. oma, mami, dan papi, seluruh keluarga besarpun tak pernah ia beri tahu.

Seulgi mengembalikan lagi tiga lukisan itu ke tempat semula. langkahnya berganti haluan menuju mesin kopi yang ada di sudut ruangan. Memulai kegiatan meracik black coffe kesukaannya. Setelah menunggu sekitar 10 menit seulgi memutuskan keluar dari studionya di lantai tiga itu. menutup pintu dan berjalan melewati lorong menunju tangga dengan secangkir kopi mengepul di tangan.

Lalu berhenti. Suara getar ponsel di short pants membuatnya terpaksa mencari tahu si pamanggil telefon. Nama papi muncul di sana.

"Selamat pagi, Tuan putri." Sambutnya dari sebrang.

Seulgi melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Tersenyum senang mendengar suara papi. Sesekali menyeruput kopinya.

"Pagi juga, papi ganteng."

Suara tawa menyambutnya. "Biar papi tebak. Pagi ini anak papi lagi melukis sambil minum kopi?"

"Setengah benar, setengah salah."

"Bagian mana yang salah dan benarnya itu?"

"Salahnya, aku belum menemukan inspirasi buat ngelukis. Terakhir kali seulgi melukis waktu di china."

"Bagaimana dengan New York? Sudah melukis patung liberty?"

Seulgi tertawa kemudian menyusut. "Terima kasih. Papi sudah ngingetin lagi kota New York. Mungkin papi juga lupa alasan seulgi pulang ke Indonesia. Aku belum genap sehari di sana, mami justru mendadak nelfon minta aku pulang. Belum sempat pergi ke museum dan jalan-jalan nikmatin kota newyork."

Kali ini papi yang tertawa.

"Lain kali kamu bisa ke sana lagi."

"Lain kalinya kapan, pi? Aku udah nggak betah. Bosan di rumah terus. Aku butuh healing. Aku butuh sesuatu yang menarik dan penuh tantangan."

Ada jeda lama yang terjadi di sebrang sana. Seperti terdengar suara derap langkah lain yang mendekat dan suara perempuan menyusul.

"Pak, sudah waktunya meeting."

"Sebentar, kamu bilang pada yang lain sepuluh menit lagi saya nyusul."

"Tapi, pak. Mereka sudah lama menunggu—"

HAPPINESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang