Andra yang mulai menjalani kehidupan sebagai mahasiswa baru mulai menemukan jati dirinya. Untuk pertama kalinya ia hidup merantau jauh dari orang tua. Di kota yang baru itulah, Andra mulai menyadari bahwa ia bukan seperti laki-laki pada umumnya yang...
Sejak SMA aku sudah tahu tentang aplikasi grindr. Begitupun dengan aplikasi kencan sesama gay yang lainnya. Hanya saja aku tak pernah memainkannya. Aku takut. Kehidupan di kota kecilku memiliki lingkaran pertemanan yang sempit. Informasi bisa cepat menyebar. Aku tak ingin aib ini sampai ke telinga orang tuaku.
Terlebih perundungan di masa sekolah sangatlah kejam. Aku pernah punya pengalaman buruk saat SMP, walau tak banyak, ada teman sekolah yang mengatai cara bicaraku sedikit kemayu. Itulah sebabnya saat SMA aku berusaha terlihat sebagai murid yang biasa saja. Aku tak ingin menjadi murid yang banyak dikenal. Aku tak ingin memancing perhatian dan kembali menerima bullyan.
Aku ingat, ada satu teman sekelas, namanya Yogi. Dia memang lebih sering bergaul dengan murid perempuan. Gerak-gerik dan cara bicaranya yang seperti perempuan sering mengundang cibiran. Ada kalanya ia mengajakku berbicara namun aku selalu berusaha menghindar. Aku tak ingin terlihat akrab dengannya. Aku tak ingin menerima perundungan yang sama seperti yang dialaminya. Kadang aku menyesal dan ingin minta maaf padanya namun kini pun aku sudah tidak tahu bagaimana kabarnya.
Sekarang, saat aku sudah tinggal jauh dari orang tua, aku ingin mencoba hal-hal baru yang belum sempat kulakukan dulu. Akhirnya aku menginstal grindr di handphoneku. Kadang aku merasa kesepian dan tak punya teman cerita. Sepertinya akan menyenangkan jika aku bisa mengenal seseorang yang juga orientasinya seksualnya gay.
Aku tak menyangka ternyata ada banyak sekali pengguna grindr di Jogja. Ada yang mencari pacar, partner ngewe, maupun jual jasa pijat. Ada yang terang-terangan memakai foto. Ada juga yang menyembunyikan identitasnya. Aku adalah tipe yang kedua. Aku memakai foto tampak belakang sebagai profile picturenya. Tak ada yang aneh, fotoku masih memakai baju. Lagipula aku tak mungkin shirtless, badan krempeng kayak gini mana ada yang tertarik.
Belum ada lima menit aku menginstal aplikasi ini, sudah ada beberapa pesan yang masuk. Salah satunya bernama TBigDick. Foto profilnya menampilkan badan atletis dengan perut sixpack. Tak ada foto mukanya. Warna kulitnya coklat. Umurnya 22 tahun. Menarik, pikirku.
TBigDick: Hi?
TBigDick: T/B?
T/B? Walau ini baru pertama kali ku bermain grindr, tapi aku sudah tahu istilah-istilah seperti t/b? Masalahnya, sampai hari ini aku belum tahu apa roleku. Aku belum pernah berhubungan seksual. Dan aku pun sebenarnya tak terlalu yakin, apakah aku ingin berhubungan seksual, apalagi dengan TBigDick ini. Namun selama ini aku selalu membayangkan menjadi seorang yang pasif di ranjang. Bahkan aku pernah membayangkan diewe oleh Mas Rendy. Akhirnya aku pun menjawab.
Dito: b
Dito adalah nama akunku di grindr. Sebenarnya itu adalah potongan dari nama belakangku, Andra Pramudito.
TBigDick: fun?
TBigDick: ada tempat?
Belum sempat kujawab, TBigDick mengirimkan foto penisnya. Jujur kontolnya memang termasuk ukuran di atas rata-rata. Kemudian ia mengirimkan pesan lagi.
TBigDick: Mau dikencingi nggak?
Hah. Sudah gila kali ya? Langsung aku block akun TBigDick. Kenapa fetish orang aneh-aneh sih? Sepertinya aku lebih memilih orang yang waras dan ganteng, ketimbang yang kontolnya gede tapi gila.
Beberapa pesan lain tak kubalas. Entahlah aku belum menemukan kecocokan bahkan hanya melihat profilnya. Apakah aku terlalu pemilih? Yang jelas aku kurang tertarik dengan yang seumuran apalagi yang lebih muda. Role b otomatis langsung kucoret. Aku juga cenderung lebih suka yang badannya berisi atau atletis, ketimbang yang kurus. Satu hal lagi, entah kenapa aku langsung ilfeel kalau ada yang mengaku good looking di bio-nya.
Sebuah pesan kuterima dari akun tanpa profile picture. LTR nama akunnya. Aku perkirakan LTR adalah singkatan dari Long Term Relationship. Kemungkinan orang ini mencari pacar. Terus terang aku belum berpikir untuk menjalin komitmen dengan seorang laki-laki. Aku masih ingin mengexplore dan mencari tahu dengan dunia pelangi ini.
Akun bernama LTR mengirimkan foto. Aku kaget. Aku ingat cowok ini. Seseorang dengan senyum manis yang kulihat di Nyamleng Cafe waktu itu. Dion namanya, kalau ku tak salah ingat. Entah kenapa aku girang sekali. Wajahku terasa hangat. Tanpa ragu kukirimkan fotoku juga.
LTR: Andra?
Ternyata dia masih ingat namaku. Dadaku bergetar. Aku tak bisa berhenti untuk tersenyum.
Dito: Iya, kamu Dion kan?
LTR: iya
LTR: mau ketemuan?
Dito: yuk
Setelah bertukar nomer whatsapp, kami pun berencana bertemu di Nyamleng Cafe nanti malam. Asalnya dari Jakarta. Di Jogja ia tinggal di rumah pakdhenya. Saat ini Dion kuliah jurusan Manajemen. Ia dua tahun lebih tua daripada aku. Rasanya tak sabar agar hari lekas berganti malam.
Ia muncul dengan gaya santainya. Layaknya anak kos yang mencari makan di luar. Kaos polos hitam dan celana pendek. Meski begitu Dion tetap terlihat menawan. Ada kumis tipis di atas bibirnya. Senyum lebarnya membuatku mau tak mau untuk membalasnya.
Sungguh di pertemuan pertama kami, aku bisa merasakan kalau kami nyambung. Obrolan ketika bertemu langsung sama lancarnya ketika lewat whatsapp. Ia punya banyak hal untuk diceritakan. Dan aku tak pernah bosan mendengar. Aku takjub sendiri dengan kejadian-kejadian yang kualami. Beberapa waktu lalu pandanganku tercuri oleh keberadaannya di cafe ini, dan sekarang kami bertemu lagi.
Dia tertawa mengingat kejadian tempo hari saat aku takut diajak kenalan dengannya. Aku cepat-cepat kabur saat dimintai nomor whatsapp olehnya. Namun Dion maklum, dia pun menjalani kehidupan gaynya secara discreet. Hanya saja waktu itu gaydarnya menyala ketika pandangan kami saling bertemu. Hingga ia memberanikan diri untuk mengikutiku ke kamar mandi cafe ini.
"Heh, dicariin dari tadi. Di whatsapp juga nggak dibales." Seseorang menoyor kepalaku. Ternyata si Sandy.
Sial. Aku lupa kalau Sandy sering makan di Nyamleng Cafe ini. Lebih parah lagi, kali ini dia tidak sendiri. Ada Mas Rendy dan Mas Edi bersamanya.
"Eh, ini kenalin temenku, Dion." Meski kaget. Aku berusaha bersikap biasa saja. Dalam hati ku berdoa agar teman-teman kosku tidak curiga.
"Anak pariwisata juga?" Tanya Mas Rendy. Sambil menjabat tangan Dion. Sempat kulihat Dion terkesima ketika menatap Mas Rendy. Aku pun memaklumi, kurasa tak ada gay yang tak terpesona pada sosok Mas Rendy.
Dion sempat bingung untuk menjawab pertanyaan Mas Rendy. Kami berpandangan. Tapi kemudian ia menjawab, "Oh nggak Mas, saya jurusan manajemen."
"Oh temen SMA ya, dari Salatiga juga kah?" Sahut Sandy. Dion hanya mengangguk sambil tersenyum.
"Tapi kok ga ada logat Jawanya?" Mas Edi menimpali.
"Udah buruan duduk yuk. Keburu laper." Sandy sudah tak sabar untuk makan malam.
Syukurlah interogasi ini berakhir. Mereka bertiga pun bergabung bersama di meja kami. Aku hanya berdoa dalam hati semoga jangan sampai ada pertanyaan-pertanyaan menjebak lainnya. Aku takut identitas kami sebagai gay akan ketahuan.
Kira-kira apa yang ada di pikiran teman kosku tentang Dion ini?
(Bersambung)
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.