Bab 8 - Tukang Pijat Dadakan

869 27 0
                                    

Sialan. Gara-gara Mas Rendy aku bangun kesiangan. Padahal aku sudah beberapa kali menyetting alarm di handphone, tapi ternyata percuma. Sepertinya aku bangun cuma untuk mematikan alarm tersebut kemudian tidur lagi.

Jam menunjukkan pukul 07:30 sementara kuliah pagiku jam 08:00. Buru-buru aku lari ke kamar mandi. Untung tak ada yang mengantre untuk mandi. Tadinya aku mau cuci muka saja, tapi kemudian aku ingat kalau harus mandi wajib. Semalam aku coli sampai crot saat nonton Mas Rendy dan Ica bercocok tanam.

Begitu hendak berangkat, kulihat pintu kamar Mas Rendy tertutup. Kulongok ke garasi. Tak ada motornya. Kemungkinan dia sudah pergi. Mungkin mengantar Ica pulang. Pandanganku tertuju pada tumpukan cucian kotor di keranjang depan kamarnya. Ada seprai di sana. Pasti sudah basah dan kotor, campuran keringat dan lendir milik Ica.

Di sebelah keranjang baju kotor ada tempat sampah. Iseng ku membukanya. Banyak tisu dan bungkusan plastik kresek. Kutoleh ke sekeliling. Tak ada orang. Kubuka plastiknya. Sudah kuduga. Dua buah kondom bekas yang terikat bagian pangkalnya. Rasa penasaran mengalahkan rasa jijikku. Kuambil salah satunya. Penuh berisi pejuh Mas Rendy. Subur sekali lelaki pujaanku ini. Kalau tak pakai kondom mungkin Ica bisa langsung hamil dibuatnya.

Kudekatkan pangkal kondom ke hidung. Aku mencari tahu seperti apa aroma pejuhnya. Tiba-tiba aku ngaceng. Terbayang lagi bagaimana Mas Rendy membantai memek milik Ica. Ah sial, kulirik jam hampir jam 8. Buru-buru ku kembalikan kondom bekas tadi ke tempat sampah. Aku segera menuju kampus.

Setiap perbuatan selalu ada konsekuensinya. Aku terlambat sampai ke kampus dan dosen tak mengizinkanku masuk ke kelasnya. Akhirnya aku hanya numpang sarapan di kantin kampus.

"Loh kok udah pulang, Ndra?" Mas Rendy bertanya dan menghampiriku, ketika ku memutar kunci pintu kamarku.

"Kesiangan, Mas" Jawabku singkat.

"Kamu sih, habis begadang kan semalem?" Aku kaget. Jangan-jangan dia tahu kalau semalem aku mengintipnya. "Nonton Netflix kan?" Lanjutnya, menduga. Aku lega.

"Nggak, kok. Aku tidur awal kok semalem. Lha Mas Rendy kok di kos. Libur?" Tanyaku. Biasanya jadwal kuliahnya di pagi hari.

"Pusing banget kepalaku. Pinggangku juga pegel. Bolos kuliah jadinya."

Ingin rasanya kubilang, ya iyalah kamu kan habis ngewe sampai subuh. Sampai seprainya kotor. Sampai dua ronde dan ngabisin dua kondom.

"Mau kupijitin, siapa tahu pusingnya ntar ilang?"

Entah ide dari mana, tiba-tiba saja terucap tawaran untuk memijatnya. Untung-utungan saja. Kalau mau ya hayuk, kalau tidak pun tak apa. Kupasang muka biasa saja. Padahal dalam hati ku berharap Mas Rendy tak menolaknya. Mas Rendy masih diam. Entah apa yang jadi pertimbangannya. Aku menunggu.

"Boleh deh, di kamarku aja ya." Ia mengangguk. Dalam hati aku ingin berteriak. Misiku berhasil.

"Oke, aku ganti baju dulu. Ntar ku ke tempatmu, Mas." Sahutku.

Ini adalah kali pertama aku masuk ke kamar Mas Rendy. Minimalis. Tidak terlalu banyak barang. Hanya ada barang-barang bawaan dari kos Wisma Arjuna yaitu dipan, kasur, lemari, meja, dan kursi. Selebihnya hanya rak dan televisi tambahannya. Kulihat koleksi parfum berjajar rapi di atas meja. Pantas kalau Mas Rendy selalu wangi. Ada juga deodoran, pomade, dan sunscreen. Sepertinya Mas Rendy cukup simple. Tak melakukan perawatan kulit yang ribet.

Ada pigura berisi foto keluarga di rak. Terlihat foto Mas Rendy beserta ayah, ibu, dan kemungkinan adik laki-lakinya. Sepertinya diambil saat Mas Rendy wisuda S1. Pandanganku tertuju ke bungkus kondom dan botol gel pelicin di rak. Dari dulu aku penasaran bagaimana rasanya memakai kondom. Aku belum pernah. Terpikirkan untuk beli di minimarket tapi aku malu. Kata orang kalau masih malu untuk beli kondom, berarti belum siap untuk berhubungan seks.

"Biasa, Ndra. Kebutuhan laki-laki dewasa." Kata Mas Rendy. Diikuti senyum kecilnya.

Sepertinya ia sadar kalau aku melihat kondom dan pelicinnya. Ia mengucapkan dengan santai tak berusaha menutupinya. Seolah seks bukan hal yang tabu untuk dibicarakan.

"Sini, Ndra. Minta tolong pijitin leher dan tengkukku ya. Pusing banget kepalaku." Pinta Mas Rendy.

Aku pun duduk ke kasur. Ia berada di depanku dalam posisi duduk bersila membelakangiku. Kali ini ia mengenakan kaos kutung dan celana boxer. Bulu-bulu halus terekspos di pahanya. Dari jarak sedekat ini, bisa kucium aroma segar parfumnya.

Pelan kusentuh leher belakangnya. Kemudian memijatnya. Aku tekan tengkuknya dengan gerakan yang teratur. Jujur aku tak punya ilmu memijat. Hanya menggunakan insting saja. Tiap di rumah, bapak dan ibuku kadang minta dipijat. Kata mereka pijatanku enak. Itulah sebabnya aku cukup percaya diri untuk menawarkan diri memijat Mas Rendy.

"Enak banget, Ndra. Nggak perlu ke tukang pijat lagi. Minta dipijitin kamu terus aja boleh nggak? Ntar bayarnya pake nasi padang." Kata Mas Rendy sambil diikuti tawanya.

"Bisaaa.. " Jawabku.

Walau sebenarnya aku mau dibayar pakai yang lain. Bukan nasi padang, melainkan cinta. Tapi aku tahu, kecil kemungkinannya. Mas Rendy itu straight. Cowok straight yang doyan memek. Mana mungkin dia akan punya perasaan kepadaku. Aku terus memijatnya. Tanpa sepengetahuannya kudekatkan hidungku ke tengkuknya. Kuhirup napas dalam-dalan. Aku ingin menyimpan wangi parfumnya dalam ingatanku.

"Itu foto keluarga, Mas Rendy ya?" Tanyaku.

"Iya, yang cowok itu adikku. Namanya Hans. Paling beda satu tahun sama kamu. Sekarang masih SMA. Tahun depan pengen kuliah di Jogja juga." Jawab Mas Rendy.

"Mas, katanya pinggangnya sakit ya? Mau diurut?" Aku menawarkan diri.

"Boleh deh." Jawabnya.

"Kuambil minyak urut dulu ya. Kaosnya dibuka aja sekalian biar nggak kena minyak." Kataku sebelum bergegas ke kamar.

Mas Rendy sudah setengah telanjang ketika ku kembali. Ia tengkurap di kasur hanya mengenakan boxernya saja. Tato salib yang kontras dengan kulit punggungnya yang putih pun terekspos. Aku meratakan minyak urut di telapak tangsnku kemudian mulai mengurutnya. Tak pernah ada dalam bayanganku bisa sedekat ini dengannya. Bisa menyentuh kulit punggung lebarnya yang bersih tanpa bekas jerawat. Dari mulai mengaguminya, tiba-tiba kini ku jadi tukang pijat dadakannya.

Ku urut mulai dari pangkal pinggulnya sampai ke tengkuk. Sejajar dengan garis tulang belakangnya. Kemudian kueksplorasi bagian samping kanan kirinya. Otot-otot bahu belakangnya padat. Begitupun otot sayap bawah ketiaknya yang berbulu lebat. Kekar namun tidak berlebihan. Masih wajar tidak seperti atlet bodybuilder. Mas Rendy hanya mengeluarkan suara erangan yang lirih karena keenakan.

Kuplorotkan sedikit celana boxernya. Ternyata ia tak memakai celana dalam. Ia diam saja. Tak keberatan. Bahkan diangkatnya sedikit pantatnya untuk memudahkanku menurunkan celananya. Kutekan, urut dengan gerakan memutar di atas pantatnya. Lagi-lagi ia hanya melenguh keenakan.

Tak lama kemudian. Suasana kamar menjadi hening. Hanya bunyi napas dan dengkur halusnya yang terdengar. Ternyata Mas Rendy tertidur. Kuamati wajah tidurnya. Damai. Seperti wajah tidur anak kecil yang kelelahan bermain. Irama napasnya teratur. Bibirnya setengah terbuka. Ya Tuhan, aku ingin mengecupnya.

(Bersambung)

Boti-Boti ProblematikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang