"Mau ke mana, Ndra?" Tanya Mas Rendy, begitu aku hendak mengeluarkan motor. Ia sedang duduk di kursi depan garasi.
"Main ke tempat temen, Mas" Jawabku.
"Main mulu sekarang. Kuliah jangan sampe keteteran lho." Mas Rendy menimpali.
"Amaan, Bos. Ini Mas Rendy mau ke mana?" Lanjutku.
"Nih, mau basket lah, masa mau nyangkul." Jawabnya sambil memutar bola basket di atas jari telunjuknya.
Memang pertanyaanku hanyalah pertanyaan basa-basi yang tak memerlukan jawaban. Dari outfit yang dikenakan harusnya aku sudah bisa menebak. Jersey basket berwarna putih, lengkap dengan sepatunya, dan memegang bola basket tentulah mau main basket.
Seperti biasa Mas Rendy terlihat menawan. Ia mulai mendrable bola di paving depan garasi. Kaos jersey basket putih membuat bulu ketiaknya terlihat mencolok. Dan celana berbahan tipis itu tak mampu menyembunyikan jendolan di selangkangannya yang ikut bergoyang tiap ia melompat.
Sebenarnya ada pertanyaan lain yang mengganggu pikiranku. Pertanyaan yang sejak semalam terngiang-ngiang terus di kepalaku. Apakah semalam kamu terjaga saat memelukku, Mas? Apakah kamu memelukku dengan sengaja? Hanya saja pertanyaan-pertanyaan itu tak mampu kuucapkan.
Semalam akhirnya aku tak bisa menahan kantuk, dan terbangun karena azan subuh berkumandang dalam keadaan sendirian. Mas Rendy sudah tidak ada di sampingku. Hanya wangi parfumnya yang tertinggal di spreiku. Seketika aku merasa kosong.
Yang aku tahu, aku terbangun dengan bekas precum yang banyak sekali di celana dalamku. Meski aku tak yakin secara pasti, precum itu karena ciuman Dion atau pelukan Mas Rendy. Dua-duanya adalah pengalaman pertama bagiku. Pengalaman pertama dengan dua orang yang berbeda.
Dan sore ini, Mas Rendy bersikap biasa saja, seperti tak terjadi apa-apa semalam. Harusnya aku pun begitu. Tapi tidak bisa. Aku masih ingat bagaimana hangat kulit tangannya yang menempel di lenganku. Bagaimana embus napasnya yang terasa di tengkukku. Dan degup kencang jantungku ketika tangannya mendekap dadaku. Harusnya kamu merasakan itu, Mas Rendy.
"Mas Rendy.." Ada dorongan dalam diriku untuk bertanya. Aku tidak mau terus-terusan tersiksa oleh rasa penasaran.
"Kenapa, Ndra?" Tanya Mas Rendy. Ia berhenti dan membiarkan bola basket menggelinding.
"Eh nggak kok. Nggak apa-apa." Ternyata aku tak bisa untuk menanyakannya. Pertanyaanku menguap ketika ku membuka mulut. Barangkali karena aku takut jawabannya akan mengecewakanku.
"Mau ikut main basket di lapangan kampus? Ntar Sandy juga ikut kok." Tanya Mas Rendy.
"Oh nggak. Aku duluan yaa.." Jawabku sambil berlalu meninggalkannya dengan motor maticku.
Lagi pula aku tidak bisa bermain basket. Coba aku bisa olahraga basket seperti Sandy, sekarang aku bisa ikut bermain bersama Mas Rendy. Tapi ya sudahlah, toh sore ini aku ada janji pergi dengan Dion.
Setelah makan malam, kami sampai di sebuah hotel. Aku duduk di sofa yang ada di lobby sementara Dion yang berbicara kepada front office. Sebelumnya kami sudah membooking kamar lewat aplikasi OYO. Malam ini kami akan bercumbu sepuasnya di kamar hotel. Hal yang tak mungkin kami lakukan di kamar kosku ataupun rumah Dion.
Aku tidak berani menatap ke petugas front office. Aku takut kalau ia menghakimi apa yang akan kulakukan bersama Dion. Sebelumnya tatapan itu kuterima dari kasir indomaret. Sebelum ke hotel ini, Dion sempat membeli kondom dan pelicin. Kulihat mas-mas indomaret tersenyum dan melirik pada kami berdua.
Sebenarnya kamar hotel ini tidak terlalu istimewa. Kami sengaja mencari yang murah saja disesuaikan dengan kantong mahasiswa. Sepintas mirip kamar kosku, bedanya kamar ini memiliki AC dan kamar mandi dalam dengan shower air panas. Selain itu disediakan air mineral, pasta gigi, sabun, dan handuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boti-Boti Problematik
RomanceAndra yang mulai menjalani kehidupan sebagai mahasiswa baru mulai menemukan jati dirinya. Untuk pertama kalinya ia hidup merantau jauh dari orang tua. Di kota yang baru itulah, Andra mulai menyadari bahwa ia bukan seperti laki-laki pada umumnya yang...