Aku terbangun tengah malam dalam keadaaan kaget. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul satu. Seketika aku teringat pada Mas Rendy. Apakah dia sudah makan malam? Apakah dia perlu bantuan ke kamar mandi?
Segera ku bangkit dan kusibak tirai jendela kamarku. Terlihat kamar Mas Rendy gelap. Lampu tak menyala. Mungkin dia sudah tertidur. Tapi bagaimana kalau ia kelaparan atau menahan kencing? Tadinya aku ingin keluar dan mengetuk pintu kamarnya. Namun kemudian kuurungkan. Lagi pula kalau ada apa-apa, dia bisa menghubungi handphoneku.
Pasti gara-gara semaleman aku tak tidur karena menjaga Mas Rendy, makanya sore tadi aku langsung tepar dan terbangun dini hari. Aku pun ingat kejadian di rumah sakit. Begitupun aku juga teringat sikap Mas Rendy yang menjaga jarak padaku. Kuharap itu hanya sementara saja. Semoga kami bisa bersikap seperti biasa saja setelah ini.
Tapi bagaimana kalau ternyata Mas Rendy tak bisa bersikap seperti biasa? Bagaimana kalau ia sekarang jijik padaku? Bagaimana kalau sekarang ia benci padaku? Apakah aku harus minta maaf padanya? Tapi bagaimana caranya? Aku bingung bagaimana harus memulainya. Cepat-cepat kutepis pikiranku, aku yakin semua akan baik-baik saja.
Di satu sisi aku menyesal atas kenekatan yang kulakukan pada Mas Rendy. Namun di sisi lain aku merasa puas. Rasa penasaranku pada kontol Mas Rendy sedikit terobati. Aku bahkan masih ingin mengeksplor lebih jauh aktivitas-aktivitas dewasa lainnya bersamanya. Dalam benakku, aku masih ingin ngewe dengan Mas Rendy. Rasanya hal itu tinggal selangkah lagi menjadi kenyataan. Aku akan mempersiapkan taktik lain untuk mendapatkannya.
Masih jelas diingatanku bagaimana bentuk rupa kontol Mas Rendy. Bagaimana panjangnya, kerasnya, warnanya, tekturnya, sampai gerakan kedut-kedutannya masih terus terbayang di pikiranku. Membayangkan kejadian di rumah sakit, membuatku nafsuku bangkit. Aku tak bisa untuk tidak memainkan penisku sendiri. Aku ngaceng membayangkan body Mas Rendy.
Hari telah siang ketika aku terbangun kembali. Buru-buru ke bergegas ke kamar mandi untuk mandi wajib. Ya, gara-gara membayangkan Mas Rendy aku tak bisa menahan diri untuk coli semalam.
Sebelum ke kamar mandi kusempatkan ke kamar Mas Rendy. Aneh. Pintunya masih tertutup rapat. Tak ada tanda-tanda keberadaan orang di dalam. Aku khawatir terjadi sesuatu padanya.
"Mas Rendy.. Mas Rendy.." Aku memanggil sambil mengetuk-ngetuk pintu kamarnya. Tak ada yang menjawab.
Kucoba menarik gagang pintu kamarnya. Tak bisa dibuka. Pintu terkunci. Rasanya tidak mungkin jika Mas Rendy pergi. Badannya masih lemah. Tangan dan dadanya masih terluka. Motornya pun juga hancur dan masih ada di kantor polisi.
"Mas Rendy.. Mas Rendy, di dalam? Mas?" Aku panik. Kugedor-gedor pintu kamarnya. Tetap tak ada jawaban. Apakah terjadi sesuatu dengan Mas Rendy di dalam?
Pintu tak bisa dibuka. Aku teringat, pasti bapak kos punya kunci cadangan. Baru ketika aku akan berlari ke rumah bapak kos, aku menabrak seseorang.
"Kenapa Andra?" Ternyata aku menabrak Mas Edi yang juga akan ke kamar mandi.
"Ini pintu kamarnya Mas Rendy nggak bisa dibuka. Aku khawatir terjadi apa-apa sama dia, Mas. Aku pinjam kunci ke pak kos dulu." Jawabku cepat.
Mas Edi menarik tanganku dan memaksaku duduk di bangku depan kamar Mas Rendy.
"Tenang, tenang. Rendy nggak apa-apa kok.. " Sahutnya.
"Tapi Mas, nggak ada jawaban dari dalam. Dari tadi Mas Rendy dipanggil nggak nyahut." Sanggahku.
"Tenang. Rendy nggak apa-apa. Dia semalem dijemput sama salah satu ceweknya. Nyantei aja. Rendy sudah ada yang ngurusin. Kamu nggak usah khawatir." Jawab Mas Edi.
"Ooh begitu ya.." Aku masih berusaha mencerna. Mas Rendy dijemput cewek. Siapa? Ah, tentu saja salah satu dari cewek-cewek yang sering diewenya. Aku tiba-tiba cemburu karenanya.
"Kamu itu lucu ya, Andra. Bener-bener kayak pacarnya Rendy saja." Sahut Mas Edi sambil tertawa dan berlalu ke kamar mandi.
Aku pun bergegas mandi dengan pikiran yang kalut. Di satu sisi aku merasa lega karena Mas Rendy ada yang mengurusi. Namun di sisi lain aku merasa takut, jangan-jangan Mas Rendy sedang berusaha menghindar dariku. Makanya ia lebih memilih tinggal bersama salah satu ceweknya. Apakah ia benar-benar tak ingin melihatku lagi? Bagaimana kalau Mas Rendy benci padaku?
Setelah mandi pikiranku masih tertuju pada Mas Rendy. Ingin ku menghubunginya dan menanyakan kabarnya namun aku tak punya nyali untuk melakukannya. Beberapa kali kuketik pesan padanya namun kuhapus lagi sebelum dikirimkan. Aku hanya berharap ia segera pulih. Segera pulang kembali ke Wisma Arjuna.
Beberapa saat kemudian handphoneku berbunyi. Cepat-cepat ku mengeceknya. Sayangnya bukan nama Mas Rendy yang muncul di layar, melainkan nama Dion.
"Halo, kamu ada di mana, Ndra?" Tanya Dion begitu ku angkat telepon.
"Di kos.." Sahutku tak bersemangat.
"Aku ke sana ya?"
"Iya.."
Meski begitu, ketika akhirnya Dion muncul di pintu kamarku, aku merasa tenang. Aku ingin berbagi beban yang sekarang kutanggung. Aku ingin menceritakan tentang kekhawatiran yang sedang kualami. Dion adalah orang yang tepat, tentu tidak mungkin kalau aku cerita pada Sandy, apalagi Mas Edi. Aku butuh seseorang untuk mendengar keluhanku.
"Tadi aku dari rumah sakit. Kupikir Mas Rendy masih opname, ternyata udah pulang. Kok kamu nggak ngabarin sih." Tanyanya.
"Maaf banget Dion, aku nggak sempat ngabarin. Pikiranku sedang kacau." Jawabku. "Tapi makasih ya, kalau bukan karena bantuanmu aku pasti sudah bingung gimana menjalani semuanya kemarin."
"Iya, kamu itu kemaren seperti orang linglung Ndra. Aku nggak tega lihat kamu seperti itu lagi.." Jawab Dion. "Mas Rendy benar-benar berarti ya buat kamu?"
Aku hanya diam. Aku memikirkan lagi kata-kata Dion, apa iya Mas Rendy begitu berarti buat aku? Mungkin iya. Tapi kondisinya sekarang ternyata berbeda. Bahkan Mas Rendy malah menjauh dariku. Kami seperti orang asing.
"Sekarang Mas Rendy di mana? Sudah baikan keadaannya" Dion mengganti pertanyaannya.
"Iya, ia dirawat di rumah salah satu saudaranya." Sengaja aku berbohong. Aku tak mau membahas keburukan Mas Rendy yang punya banyak kenalan cewek itu.
"Oh syukur, alhamdulillah.. " Sahut Dion.
Ia mengela napas panjang. Kemudian melanjutkan, "Aku mau pamit, Ndra."
"Pamit? Mau ke mana Dion?" Terus terang aku bingung tak tahu apa maksud Dion.
"Kamu ingat kan, aku pernah mengutarakan perasaanku sama kamu?" Tanya Dion. Aku hanya mengangguk.
"Aku sudah beri kamu waktu untuk memikirkan atau memantapkan hati.. Tapi sepertinya bukan itu yang kamu butuhkan Andra.. Sampai kapanpun kamu nggak akan pernah bisa memantapkan hatimu buat aku."
Aku teringat kembali hari-hariku bersama Dion. Aku juga teringat saat ia mengutarakan perasaannya kala itu.
"Aku baru menyadarinya kemarin, saat Mas Rendy di rumah sakit, aku baru menyadari kalau yang ada di hatimu itu bukan aku.. tapi Mas Rendy kan?" Ujar Dion.
Aku tercekat. Apakah Dion bisa membaca pikiranku? Aku tidak bisa mengelak.
"Mungkin ini terakhir kita ketemu, Andra. Semester depan aku akan ikut pertukaran mahasiswa ke Eropa. Aku akan sibuk mempersiapkannya. Tadinya kamu jadi alasanku buat tetep tinggal di Indonesia, tapi sepertinya sekarang aku udah nggak punya alasan lagi.."
"Dion.. " Aku tidak siap dengan perpisahan ini. Ada sesal yang muncul di dadaku.
"Kamu jaga diri baik-baik ya. Jangan lupa bentar lagi ujian. Kamu harus dapet nilai yang bagus.." Pesan Dion. Aku hanya bisa mengangguk. Kemudian Dion memelukku. Mungkin untuk yang terakhir kali.
Dion menyunggingkan senyum tulusnya kemudian berbalik pergi. Air mataku menetes.
(Bersambung)
_____________________________
Terima kasih telah mengikuti series ini. Vote dan komentar dari pembaca sangat berarti untuk penulis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boti-Boti Problematik
RomanceAndra yang mulai menjalani kehidupan sebagai mahasiswa baru mulai menemukan jati dirinya. Untuk pertama kalinya ia hidup merantau jauh dari orang tua. Di kota yang baru itulah, Andra mulai menyadari bahwa ia bukan seperti laki-laki pada umumnya yang...