Bab 29 - Pindah

330 25 0
                                    

Aku tak pernah membayangkan sebelumnya akan mengalami kejadian-kejadian seperti ini. Hanya dalam hitungan bulan, kehidupanku bisa berbalik seratus delapan puluh derajat. Rasanya seperti naik rollercoaster. Berubah dari puncak ke dasar dengan sangat cepat.

Padahal aku sempat merasakan bahagia ketika awal-awal tinggal di Wisma Arjuna dan bertemu orang-orang baru yang menyenangkan. Masih terbayang di ingatanku bagaimana kebersamaan aku, Sandy, Mas Rendy dan Mas Edi mencari makan malam di sekitar kos. Ataupun ketika kami berenang bersama. Kini semuanya sudah berbeda.

Aku jarang melihat Sandy di kos setelah ia pacaran. Ia lebih sering menghabiskan harinya bersama Ivanka. Aku yang memperkenalkan mereka berdua. Ivanka teman satu jurusan denganku. Bisa dibilang dia adalah teman akrabku di kampus. Aku tak menyesal. Aku senang untuk kebahagiaan keduanya. Namun kadang rindu juga makan di warung indomie ataupun di Nyamleng Cafe bersama Sandy.

Mas Rendy. Di awal ku berkenalan dengannya, aku langsung terpesona. Orang yang tadinya kupikir tak bisa digapai karena terlalu tinggi. Aku bahkan sempat takut, tak selevel dengannya.

Mas Rendy adalah sosok laki-laki yang selama ini cuma bisa ku lihat di instagram, laki-laki dengan perut sixpack, wajah ganteng, body muscle, dengan bulu-bulu halus di dada dan ketiak yang lebat, sangat memancarkan aura kejantanan. Aku takut tak bisa nyambung kalau ngobrol dengannya namun ternyata aku bisa akrab dengannya.

Keakraban kami semacam mimpi yang menjadi kenyataan. Aku benar-benar merasa bahagia ketika menemaninya di rumah sakit. Aku merasa dibutuhkan.

Sayangnya, itu semua hanya perasaanku saja. Mas Rendy bisa dengan mudahnya menemukan orang yang bisa merawatnya. Ia tak memerlukan bantuanku. Ternyata aku tak dibutuhkan olehnya.

Bahkan kini, sudah sekian minggu, aku tak pernah melihatnya. Ia belum juga pulang ke kos. Aku tak pernah berkomunikasi dengannya. Pesanku tak dibalasnya. Setidak penting itu kah keberadaanku? Sementara aku di sini hampir tiap saat memikirkan dia.

Yang paling tidak bisa kupercaya. Mas Edi. Ternyata dia adalah seorang bajingan. Selama ini kupikir security hotel itu adalah orang yang baik. Walaupun aku memang tak terlalu akrab dengannya. Tapi aku tak pernah menduga ternyata kelakuannya sangat bangsat. Aku bersumpah tak akan pernah memaafkannya.

Ternyata kebaikannya selama ini hanya kedok. Dari awal dia memang ingin ngewe denganku. Harusnya aku sudah curiga. Selama ini kalinat-kalimat yang diucapkannya sering ambigu. Najis. Kalau ingat kejadian itu aku merinding. Aku jijik pada diriku sendiri. Aku jijik membayangkan wajahnya. Aku sering menyalahkan diriku sendiri karena tak melawan saat ia mengancamku.

Gara-gara Mas Edi aku sekarang sering mengalami kecemasan. Ada ketakutan tiap kali kubuka media sosial entah twitter atau instagram, aku takut foto-foto atau video tak senonohku saat diewe olehnya akan tersebar.

Sempat terpikir olehku untuk membalas dendam, tapi bagaimana caranya? Apa aku laporkan hal ini pada istrinya? Ah, tapi aku malah lebih kasian pada istrinya. Atau bagaimana kalau kulaporkan pada polisi? Tentu tidak. Itu malah akan membuka aibku sendiri. Atau bagaimana kalau kuceritakan pada Mas Rendy? Ah, pasti dia malah akan makin membenciku atau menyalahkanku.

Aku tak tahu ini akan berguna atau tidak. Kemarin setelah Mas Edi memperkosaku, dan dia tertidur, aku mengambil beberapa foto bugilnya. Aku akan gunakan itu buat balas dendam kalau sampai fotoku tersebar.

Tadinya aku sempat terpikirkan untuk mengambil handphonenya dan menghapus foto-fotoku dari galeri ya namun aku tak punya kesempatan. Ponsel itu ada dibawah badannya. Aku sempat berusaha mengambilnya tapi dia hampir terbangun kala itu. Aku terlalu takut dan aku hanya ingin cepat-cepat pergi dari kamar kos nya waktu itu.

Dan sekarang, aku di sini. Sendiri. Tanpa teman-temanku tersebut. Aku hanya berpamitan pada bapak kos. Bahkan Sandy pun tak tahu kalau aku pindah.

Aku hanya ingin menjalani kehidupan baru. Aku tak mau melihat muka Mas Edi setiap hari. Mungkin ada baiknya aku menata kehidupanku kembali. Aku ingat pesan Dion, agar lebih serius kuliah. Terlebih sebentar lagi aku akan menjalani ujian semester pertamaku.

Mulai hari ini cerita tentang kos Wisma Arjuna, termasuk obsesiku pada Mas Rendy kuanggap sudah berakhir. Aku harus bisa move on darinya. Aku siap menjalani kehidupanku yang baru. Dan semua dimulai dari sini, dari koskosan baru. Meski berat meninggalkan kos lama, tapi aku harus melakukannya.

Selamat tinggal, Wisma Arjuna. Selamat tinggal, Mas Rendy. Aku harus bisa mengikhlaskan, bahwa Mas Rendy hanya akan menjadi obsesi, aku tak akan pernah bisa memiliki.

Untungnya aku tak terlalu punya banyak barang. Hanya sebuah ransel berisi buku-buku dan laptop. Serta sebuah tas jinjing besar berisi pakaian. Barang-barang yang tak terlalu penting lainnya kutitipkan pada bapak kos, untuk kuambil lain hari.

Sebuah iklan di marketplace facebook membawaku ke rumah ini. Dari harga dan foto-foto kamarnya aku sudah cocok. Hari ini aku mau melihat langsung dan jika memang hatiku mantap aku akan langsung mengambilnya.

"Mas yang kirim pesan di Facebook ya?" Tanya seorang wanita yang menyambutku. Ternyata dia adalah penjaga kos ini. Namanya Mbak Sumi.

Mbak Sumi kemungkinan berusia di bawah tiga puluh tahun. Sebenarnya wajahnya terlalu cantik untuk menjadi seorang penjaga kos. Bahkan menurutku pas aja kalau dia kerja sebagai teller bank atau customer service.

Pikiranku terbang ke mana-mana. Pasti anak-anak kos laki-laki bakal betah punya penjaga kos secantik Mbak Sumi. Namun pikiranku langsung ditepis ketika kumengetahui ternyata Mbak Sumi sudah punya suami dan ia juga tinggal di rumah ini. Suaminya yang bernama Mas Nanang sedang menyirami taman.

Mbak Sumi mempersilakanku masuk. Kos ini berupa rumah dengan dua lantai. Lantai pertama hanya berisi ruang tamu, garasi, dan kamar Mbak Sumi. Kamar anak-anak kos berada di lantai dua. Kos ini adalah kos campur. Terdapat 10 buah kamar dengan kamar mandi dalam. Meski begitu ada juga kamar mandi umum di sebelah dapur yang juga terdapat di lantai dua. Tempat menjemur pakaian dekat toren air.

Tak ada balkon buat nongkrong di kos Gladiol ini. Namun ada communal area di belakang rumah. Sebuah taman semi outdoor dengan beberapa bangku panjang. Secara keseluruhan aku suka dengan rumah kos ini. Aku mendapat kamar yang paling dekat dengan tangga.

"Sebentar lagi bapak datang, nanti bisa langsung pembayaran ke yang punya rumah saja." Kata Mbak Sumi ketika ku menyodorkan uang.

Din din. Suara klakson mobil terdengar. "Itu, sepertinya bapak. Nanti langsung ke ruang tamu saja, Mas." Lanjut Mbak Sumi kemudian turun untuk membuka gerbang.

Aku mengangguk. "Baik, Mbak, saya beresin barang-barang saya dulu ya. Habis itu saya langsung ke ruang tamu." Jawabku.

Bagitu aku turun, tampak seorang anak kecil laki-laki sedang berlarian di ruang tamu. Umurnya sepertinya sekitar tiga tahun. Dari wajah orientalnya aku bisa tahu kalau anak kecil ini keturunan Tionghoa. Mungkin ia anak dari pemilik kos Gladiol.

"Nyo, sini, jangan lari-lari." Seorang wanita cindo muncul menyusul si anak kecil. Ia lantas menggendong anak tersebut kemudian duduk di sofa. Cantik, kaya, dan berkelas, kesan yang muncul dari style baju dan dandanannya.

"Mas yang mau kos di sini ya? Sebentar ya, suami saya lagi nelpon di luar. Duduk dulu." Wanita itu mempersilakanku dengan sopan. Aku pun duduk di sofa.

Tak lama kemudian seorang laki-laki berkacamata dengan kemeja dan celana pendek muncul.

"Ini lho Pa, yang mau kos di sini." Sahut si wanita cindo ketika suaminya masuk ke rumah.

Laki-laki itu sempat terdiam ketika melihatku. Lalu tersenyum. Aku pun sempat terdiam beberapa saat. Aku tak tahu bagaimana harus meresponnya. Aku bimbang. Apakah keputusanku tepat untuk pindah kos kemari atau aku harus cari kos-kosan lain.

Aku ingat laki-laki ini. Pria matang berumur kisaran empat puluh tahunan. Laki-laki yang pernah bertemu denganku di klub malam waktu itu. Laki-laki oriental yang sempat berusaha menciumku saat ia mabuk berat kala itu.

Ia menyodorkan tangannya mengajakku bersalaman. Aku pun menjabatnya.

"Albert.." Ia mengucapkan namanya.

"Nama saya, Andra.." Sahutku. Aku bisa merasakan kalau tanganku gemetar dan jantungku berdetak lebih kencang. Kenapa babak baru hidupku harus langsung dimulai dari adegan seperti ini?

Boti-Boti ProblematikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang