Bab 15 - Sial

622 20 1
                                    

Hari hampir jam 10 malam ketika laki-laki ini datang. Dari tadi aku harap-harap cemas menunggunya. Aku cuma tidak ingin anak-anak kos memergokiku kedatangan tamu malam-malam begini. Mungkin aku yang terlalu khawatir. Sedangkan anak-anak lain biasa saja membawa teman, bahkan beberapa membawa pacarnya ke kamar.

Aku buru-buru keluar rumah ketika laki-laki ini meneleponku. Cepat-cepat kusuruh laki-laki yang mengenakan hoodie bertuliskan Supreme masuk ke kamar. Ia mengaku bernama Tomy dan kuliah jurusan Teknik Elektro. Aku manggut-manggut saja walau sebenarnya aku sangsi. Dari cara bicaranya tidak seperti anak kuliahan.

Kesan pertama ketika kulihat wajahnya lebih jelas di kamarku. Anjrit. Aku ditipu. Wajahnya ternyata berbeda dengan foto yang dikirim. Ini sih sebelas dua belas dengan si Amri. Kadang dunia memang tidak adil buat yang tidak good looking. Apalagi di dunia pelangi. Tidak mau munafik, aku pun lebih suka pada cowok ganteng daripada yang jelek.

"Kok agak beda ya dengan di foto?" Tanyaku hati-hati. Aku takut dia tersinggung.

"Iya, itu fotoku beberapa tahun yang lalu." Jawabnya.

Tentunya aku tak bisa memastikan lagi karena foto yang dikirimnya lewat aplikasi Grindr sudah hilang karena pakai timer beberapa detik. Ya sudahlah. Mau bagaimana lagi. Rasa kesalku gara-gara Dion butuh pelampiasan.

Kumatikan lampu. Semata-mata kulakukan agar aku tak melihat mukanya. Jujur aku kehilangan nafsu. Laki-laki ini mulai melucuti bajunya. Tadinya aku masih berharap gairahku bangkit, namun ternyata kontolku pun tetap lemas tak mau ereksi.

"Kamu juga buka bajunya dong." Pintanya.

"Aku tiba-tiba sakit perut. Kubantu isep aja nggak papa-papa ya." Jawabku.

Syukurlah ternyata Tomy bersedia dan tak banyak protes. Ia duduk di pinggir kasur. Aku cuma ingin acara persetubuhan ini selesai dengan cepat. Tanpa pemanasan foreplay aku langsung memasukkan penisnya ke mulutku.

Ini adalah penis kedua setelah milik Dion yang masuk ke mulutku. Tidak ada yang spesial. Bahkan sebenarnya aku menyesal.

"Kok aneh sih? Ini rasa apa ya? Kok pait?" Tanyaku. Aku coba pindah ke putingnya. "Sama, kok pait juga? Bau apa ya ini? Kayak belerang."

"Iya, aku mandi pake sabun JF sulfur. Buat obatin jerawat di punggung" Jawabnya.

Ya ampun. Aku bertanya-tanya dalam hati, kenapa sih hari ini aku sial banget. Sekalinya dapat kontol yang rasa sabun belerang. Membatalkan kesepakatan fun dan mengusir Tomy dari kos juga rasanya tidak mungkin. Aku orangnya tidak enakan.

Akhirnya walau hampir muntah, kucoba lagi masukkan penisnya ke dalam mulutku. Aku bantu kocok dengan tangan agar lebih cepat keluar. Tomy merintih keenakan. Sialnya si Tomy tidak memberi aba-aba ketika hampir mencapai ejakulasi. Pejuhnya tumpah di mulutku.

Biasanya aku horny membayangkan menelan pejuh milik Mas Rendy, tapi entah kenapa kali ini aku jijik sekali? Buru-buru aku meludah ke tisu dan membuangnya ke keranjang sampah.

"Aku ke kamar mandi dulu ya. Nanti gantian. Kamu setelah aku." Aku memberikan instruksi pada Tomy. Ia hanya mengangguk sambil memakai kembali pakaiannya.

Aku melongok keluar. Kupastikan koridor kos sepi. Aman. Segera ku bergegas ke kamar mandi. Aku menyikat gigi dan memakai obat pencuci mulut. Dalam hati aku merutuki perbuatanku sendiri. Aku tidak akan melakukan ini lagi. Aku kapok.

"Andra, tumben ada temen main malem-malem?" Aku berpapasan dengan Mas Edi begitu keluar dari kamar mandi. Ia masih mengenakan seragam security hotelnya. Sepertinya ia baru pulang jaga shift kedua. Semoga ia tak curiga.

"Iya, Mas. Ada kerja kelompok." Jawabku. Dih. Kerja kelompok apaan. Yang ada aku yang kerja, dia yang keenakan.

Aku melongok ke kamar. Kosong. Sialan dia pulang tanpa pamitan. Awas aja. Akan aku block whatsappnya.

"Barusan udah pulang dia. Tadi ketemu pas mau keluarin motor di garasi." Sahut Mas Edi sambil masuk ke kamarnya.

Firasatku buruk. Buru-buru aku masuk kamar. Benar saja. Handphoneku dimaling. Kakiku lemas. Ku periksa barang yang lain. Syukurlah. Untungnya dompet dan laptopku aman.

Aku cuma bisa pasrah. Ingin rasanya mengetuk pintu kamar Mas Edi dan meminjam ponselnya untuk menghubungi nomerku. Namun tak kulakukan. Aku tak mau rahasiaku terbongkar. Aku cuma bisa mengecek lewat laptop dan wifi kosan titik terakhir keberadaan handphoneku. Walau ku tak tahu berhasil atau tidak, aku mengunci layarnya dari jauh.

Sebenarnya masih ada kemungkinan bisa dilacak identitas maling itu dengan rekaman CCTV milik Wisma Arjuna yang ada di dekat garasi tapi aku takut urusan makin melebar dan bisa-bisa malah aku yang dihujat orang-orang.

Dan siangnya aku berakhir di tempat ini. Dion mengantarku untuk mengurus penggantian SIM card di gerai Indosat.

Tadinya aku sudah pasrah tidak akan memakai handphone selama 1 bulan sambil menunggu kiriman orang tua. Dan bulan-bulan berikutnya mungkin akan kujalani dengan puasa Daud untuk mengirit pengeluaran. Gila ya. Salat saja sering bolong-bolong, ini mau puasa Daud. Tapi ternyata semua itu tidak jadi kulakukan.

Dion adalah penyelamatku. Tiba-tiba mobil Dion sudah parkir di halaman kos ketika aku pulang kuliah. Dia cemas karena sejak semalam tak bisa menghubungiku. Aku merasa bersalah karena telah kesal padanya.

Tadinya aku menyangka Dion akan marah ketika kuceritakan semua yang terjadi semalam, mengingat kedekatan kami beberapa bulan ini. Tapi ternyata tidak. Dia malah tertawa terkekeh-kekeh. Sial.

"Kok kamu nggak marah sih?" Tanyaku.

"Soal apa?" Dion membalas dengan pertanyaan.

"Ya, aku main grindr terus ketemu sama orang." Jawabku.

"Terus kamu nyepong kontolnya yang bau belerang dan endingnya handphone kamu ilang?" Ia melanjutkan sambil tertawa lagi.

"Udah deh nggak usah dibahas lagi." Jujur aku masih kesal kalau ingat kejadian semalam. Awas aja kalau sampai ketemu Tomy di jalan.

"Aku maklum, Ndra. Kamu kan baru nyebur di dunia pelangi ini. Jadinya masih pengen eksplor macem-macem. Aku nggak punya hak untuk melarang juga. Cuma pesenku harus hati-hati." Kata Dion sambil tersenyum seperti biasa.

Dion menasihatiku. Hati-hati bertemu orang asing. Hati-hati dalam berhubungan seks. Ia cuma tidak ingin kenikmatan sesaat berujung penyesalan.

"Nanti akan ada saatnya kamu ngerasa udah cukup, dan cuma butuh satu hati saja." Lanjut Dion.

Akhirnya Dion meminjamiku handphone lawasnya yang tidak terpakai. Meskipun lawas ternyata masih lebih keren dibanding ponselku yang hilang. Aku berjanji akan mengembalikannya setelah uangku cukup untuk membeli handphone baru. Mesti begitu, dia bilang tak usah dikembalikan juga tidak apa-apa.

Terima kasih, Dion.

(Bersambung)

Boti-Boti ProblematikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang