Bab 25 - Asing

354 23 4
                                    

"Mas Rendy mau dikeluarin?" Aku mengulang pertanyaanku.

Mas Rendy hanya diam. Ia tak menjawab. Ia malah merebahkan kepalanya sambil memejamkan matanya. Kuanggap itu sebagai jawaban. Mungkin ia malu untuk mengiyakan. Sekarang atau tidak sama sekali, pikirkku.

Kontol Mas Rendy sudah ada di tanganku. Kuarahkan ke atas. Mengacung seperti monas. Keras seperti tongkat satpam. Terasa panas di telapak tanganku. Terasa bergeronjal karena urat-urat pembuluh darah yang menyembul di sepanjang batangnya. Ujung kepalanya basah. Precum telah membanjiri lobang kencingnya. Aku bisa merasakan kedutannya. Kulepaskan genggamanku. Kontol Mas Rendy mengacung dan bergerak-gerak sendiri. Seperti ular yang tengah mencari lubang sarangnya.

Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika kontol sekeras dan setebal itu merojok lubang analku. Apalagi jika Mas Rendy menghujamkannya sampai mentok. Pasti akan menyentuh prostatku. Tentu aku akan merasakan kenikmatan yang luar biasa. Selama ini kontol yang masuk ke anusku masih ukuran standar Indonesia. Aku jadi penasaran bagaimana rasanya diewe oleh kontol jumbo ini. Pasti akan terasa penuh sekali. Aku berjanji suatu hari nanti aku harus merasakan kontol Mas Rendy di lubang anusku.

Kuraih kembali kontol Mas Rendy. Kuturunkan genggaman tanganku sampai ke pangkal. Kulupnya pun tertarik. Kepala penisnya benar-benar terekspos. Ku genggam erat hingga kepala kontolnya membesar. Kepala kontol yang biasanya berwarna merah muda itu telah menjadi merah keunguan. Kepalanya yang mengembang seperti jamur itu berkilatan memantulkan cahaya lampu. Aliran darah telah terkumpul di kontol ngacengnya. Mas Rendy mendesis. Matanya tetap terpejam. Sepertinya ia mulai merasakan kenikmatan ketika ku naik turunkan tanganku.

Saat gerakan tanganku sampai di atas, kepala kontolnya tertutup kulup. Saat kuturunkan, kulupnya terbuka. Gerakan kocokan pelanku nembuat cairan precumnya membasahi batangnya. Seketika aku ingin menjilatnya. Batang kontol yang basah membuatku lebih mudah untuk mengocoknya.

Aku penasaran berapa panjang kontol Mas Rendy ini saat ngaceng sempurna. Kutaksir hampir mendekati 18cm atau bahkan lebih karena ketika dua tanganku menggenggam batang penisnya yang keras itu, masih ada kepala penis yang tersisa. Tak heran banyak cewek-cewek dibuat klepek-klepek olehnya.

Sudah hampir sepuluh menit aku mengocoknya namun belum ada tanda-tanda ia akan mencapai puncaknya. Kutelusuri bagian tubuh lainnya dengan tangan kiriku, sementara tangan kananku terus bergerak di kontolnya. Aku meraba kantung zakar, paha, hingga perutnya. Mas Rendy mendesis. Mulutnya sedikit terbuka. Aku makin mempercepat gerakanku.

Nafsu telah mengendalikan Mas Rendy. Kubiarkan tanganku diam. Mas Rendy membuka matanya. Ia tidak mengatakan apa-apa. Tapi terlihat seperti ada kemarahan di matanya. Kemudian pinggul Mas Rendy pun naik turun. Rupanya ia ingin terus merasakan rangsangan kenikmatan di batang kontolnya. Aku paham. Aku teruskan lagi mengocok rudal kejantanannya. Ia tetap menggoyang pinggulnya mengikuti irama kocokanku. Kalau ia sedang tak sakit sudah kududuki kontolnya yang haus lubang kenikmatan itu.

Mas Rendy melenguh. Sesekali meringis. Sesekali mulutnya terbuka. Aku ingin mengecup bibirnya. Namun entah kenapa kurasa ketegangan di kontol Mas Rendy berkurang. Penis itu kemudian layu di tanganku. Ini bukan yang kuharapkan. Aku ingin memberikan kepuasan untuk Mas Rendy. Permainan tidak boleh berhenti secepat ini.

Kuraba-raba tubuh Mas Rendy untuk membangkitkan kembali gairahnya. Tanganku menyusuri jembut lebatnya kemudian ke tonjolan perut six packnya hingga berakhir di salah satu putingnya pada dadanya yang bidang dan berbulu halus. Aku memilin-milin putingnya. Mas Rendy tersentak. Pentilnya menegang. Kurasakan kontol Mas Rendy pun mulai bereaksi. Rudal itu mulai bangkit dan tegak kembali. Aku senang karena usahaku berhasil. Kuteruskan dengan cara yang lebih gila lagi. Kudekatkan bibirku dan kugigit pelan puting Mas Rendy. Ia melenguh keenakan. Ia mendesis. Kontolnya semakin keras dan berkedut.

Kupikir inilah saatnya untuk memberikan servis terbaikku. Akan kuberikan semuanya untuk Mas Rendy, laki-laki yang selama ini menjadi pujaanku. Kudekatkan kepalaku ke arah selangkangannya. Aku bisa mencium aroma kejantanannya. Kutempelkan hidungku di sekitar selangkangannya. Aku sudah tak sabar merasakan kenyalnya penis Mas Rendy di mulutku. Ku julurkan lidahku. Ku jilat precum yang membasahi sekitar lubang kencingnya. Mas Rendy terbelalak. Ia menatapku tajam. Aku tak tahu apa maksud tatapannya itu. Apakah tatapan nafsu atau amarah. Atau malah keduanya. Kubuka mulutku dan siap untuk melahap kontol berkulup yang tegang menantang di hadapanku.

"Cukup Ndra.." Lirih kata-kata itu keluar dari mulut Mas Rendy.

Belum. Aku tidak akan berhenti sebelum Mas Rendy merasakan puncak kenikmatan. Kudekatkan wajahku dan kontol Mas Rendy bersemayam dalam rongga mulutku. Terasa penuh karena ukuran diameternya yang besar. Keras tapi kenyal. Lidahku menyentuh kepalanya. Bisa kurasakan pinggiran kepala jamur itu di lidahku. Aku tak pernah menyangka, bisa merasakan kontol straight di dalam mulutku. Apakah aku baru saja menaklukkan straight ini? Rasanya ku sudah tak sabar melakukan adegan-adegan dewasa lain bersama Mas Rendy.

"Cukup Ndra. Hentikan!" Mas Rendy kali ini berteriak. Aku kaget. Suaranya menggema terpantul tembok kamar. "Hentikan, Ndra!"

Kulepaskan kontol Mas Rendy dari mulutku. Kontol itu lama-kelamaan menyusut dan terkulai di pahanya. Lagi-lagi Mas Rendy menatapku tajam. Aku tak berani melihat wajahnya. Aku takut untuk menanyakan apa maunya. Aku hanya duduk diam di kursi samping ranjangnya. Aku tak tahu harus berbuat apa.

"Tolong pakaikan celanaku.." Ucap Mas Rendy.
Segera kuambil celana dalam yang masih bersih dan memakaikan padanya. Ku curi pandang ke arahnya. Ia memalingkan wajahnya. Mas Rendy tak mau menatapku.

Untuk beberapa saat kami saling diam di kamar. Aku tak berani memulai pembicaraan. Untungnya perawat dan dokter kemudian datang. Perawat mengambil baskom dan peralatan mandi. Sementara dokter kemudian memeriksa Mas Rendy.

"Hasil ronsen sudah keluar. Alhamdulillah tak ada kerusakan di dalam kepala. Sore nanti Pak Rendy sudah bisa pulang. Untuk luka luar nanti bisa recovery di rumah." Pak dokter menjelaskan padaku.

Setelah ku mengabari Sandy, sorenya ia datang bersama Mas Edi untuk menjemput kami. Aku duduk di depan bersama Sandy. Mas Rendy dan Mas Edi di kursi belakang.

"Beruntung banget Ren, kamu punya temen kos kayak Andra. Udah kayak pacar saja lho ngurusin kamu." Mas Edy memecah keheningan di perjalanan pulang. Ia pun terkekeh karena kalimatnya sendiri. Namun tak ada reaksi dari Mas Rendy.

"Iya, sampai bolos kuliah segala lho Andra demi Mas Rendy, " Sandy menimpali sambil menyetir mobilnya.

Namun Mas Rendy tetap hanya diam bergeming. Ia tak memberikan respon apa-apa. Sandy melihat ke spion di atasnya kemudian melirik ke arahku. Aku hanya menggeleng pelan. Sandy sepertinya paham, ia lantas mengeraskan volume radio agar suasana tidak berubah menjadi aneh.

Sampai di kos, Mas Rendy menghindar saat akan kubantu turun dari mobil. Ia menepis tanganku. Ia minta tolong pada Mas Edi untuk membantu memapahnya menuju kamar.

Terus terang aku merasa sakit. Kami berdua seolah menjadi orang asing. Aku sedih. Apa yang kulakukan semata-mata karena ingin membantunya saja, tapi kenapa jadi berakhir seperti ini? Apakah aku salah? Kenapa perhatianku selama ini seolah tak berarti untuknya? Ia jijik melihatku.

(Bersambung)

_________________

Terima kasih telah mengikuti series ini. Vote dan komentar sangat berarti agar penulis lebih semangat meneruskan cerita ini.

Boti-Boti ProblematikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang