Bab 10 - Dalam Dekapan

772 27 0
                                    

"Sekitar jam 6 aku ke tempatmu ya." Pesan whatsapp kukirimkan pada Dion.

"Okay. Hati-hati di jalan, Ndra." Jawab Dion.

Simple tapi cukup membuat hatiku berbunga. Selama ini aku jarang menerima perhatian semacam ini. Biasanya hanya ibuku yang sering mengingatkanku untuk hati-hati di jalan.

Setelah pertemuan kami di Nyamleng Cafe waktu itu, beberapa kali kami pergi makan di luar. Dion ibarat gelas yang terisi penuh. Banyak sekali bahan cerita yang dimilikinya.

Dion adalah anak tunggal. Kedua orang tuanya tinggal di Jakarta. Ia tinggal di rumah Pakdhe-nya yang memiliki bisnis penginapan di Jogja. Di umurnya yang ke-20 tahun ini, Dion sudah sering traveling ke berbagai negara. Ia bisa bermain gitar dan melukis. Setidaknya itu informasi yang ku dapat dari seorang Dion.

Satu hal yang aku kagumi dari Dion. Ia tak pernah melewatkan salat. Saat pergi makan bersamaku, tiap kali sudah masuk waktu salat ia akan izin ke musola.

Kali ini kami berjanjian aku yang menjemput Dion. Tadinya Dion menawarkan untuk menjemputku di kos, tapi aku menolak. Aku tak ingin anak kos curiga kalau terlalu sering ketemu dengan Dion.

Setelah mengikuti map yang diberikan, aku sampai di sebuah rumah dengan arsitektur Jawa. Di depan rumah tersebut terdapat halaman dengan beberapa kursi dan meja. Ada beberapa orang bule di halaman tersebut. Ternyata rumah itu menyatu dengan penginapan yang dikelola oleh Pakdhe-nya Dion. Omah Kepel, nama penginapan tersebut. Kepel adalah nama buah menyerupai sawo. Pohonnya ada di depan rumah tersebut. Meski agak kikuk, aku pun duduk di salah satu kursi yang ada di sana.

"Andra, sini.." Dion muncul di pintu sambil melambaikan tangan. Aku pun menghampirinya. Aku menunggu di kamarnya sambil ia bersiap.

Kamar Dion terletak di lantai dua. Ada banyak koleksi poster film dan buku. Sebuah gitar menggantung di dinding. Sajadah disampirkan di kursi. Kamar Pakdhe dan Budhenya ada di lantai bawah sementara kamar-kamar tamu penginapan ada di bangunan sebelah. Kedua bangunan terpisahkan oleh kolam renang. Mengetahui kalau aku juga suka berenang, Dion menawariku untuk berenang di Omah Kepel lain kali.

Hari ini kami akan makan di luar. Tentunya bukan ke Nyamleng Cafe. Aku tak mau kejadian tempo hari, bertemu anak-anak kos di sana terulang lagi. Tadinya Dion menawarkan untuk naik mobilnya, tapi aku menolak. Aku lebih nyaman berboncengan dengan motorku saja sambil menikmati udara malam Jogja.

Dion mengajakku makan di warung sate langganannya. Bukan di cafe yang mewah. Hanya sebuah warung tenda pinggir jalan. Cara makannya lucu. Saking semangatnya, pipinya sedikit belepotan oleh sambal kacang.

Kalau di film, ini sudah jadi adegan romantis, saat salah satu tokohnya mengelap pipi tokoh lainnya. Namun tak kulakukan. Aku hanya memberi kode, kalau pipinya kotor. Tanpa malu-malu ia mengusap dengan jarinya, kemudian disesapnya ke mulut, lalu ia tertawa ketika menyadari aku melihatnya.

Setelah makan malam kami berkeliling melintasi jalanan Jogja. Pulangnya, gantian Dion yang mengendarai motor dan aku yang membonceng di belakang. Malam ini entah kenapa Jogja lebih dingin dari biasanya. Kuberanikan diri untuk duduk lebih dekat dengannya. Awalnya aku ragu kemudian aku nekat. Sekarang atau tidak sama sekali. Kedua tanganku masuk dalam saku jaketnya. Ternyata Dion tak menolak. Dari kaca spion kulihat bibirnya tersenyum. Kurebahkan kepalaku di punggungnya. Kuhirup wangi parfumnya. Hangat. Ini adalah pengalaman pertamaku bisa seintim ini dengan laki-laki.

Tiba-tiba saja ku ingat pada Mas Rendy. Hal-hal yang tadinya ingin kulakukan bersama Mas Rendy, kini kulakukan bersama Dion. Aku menyadari, Dion ini nyata, sedangkan Mas Rendy hanyalah ilusi. Bagaimanapun juga Mas Rendy itu straight. Kecil kemungkinannya untuk memiliki perasaan yang sama padaku. Aku harus realistis dan mulai melepaskan obsesiku pada Mas Rendy.

"Mau, mampir dulu?" Tanya Dion.

"Udah malem nih, langsungan aja ya."

"Bentar aja ya, please." Dion merengek. Aku pun manut mengikutinya ke kamar.

Sesampainya di kamar. Di balik pintu, Dion langsung menciumku. Bibir kami saling berpagutan. Mataku terpejam. Kuhayati ciuman pertama dalam hidupku. Ternyata seperti ini ya rasanya ciuman. Waktu seolah berhenti. Aku sungguh menikmati.

Dari yang awalnya pelan dan hangat. Kemudian menjadi lebih menggebu. Lidah kami bertemu. Ludah kami bercampur. Dion melumat-lumat bibirku. Dari bibir, ia beralih ke leher. Ia membimbingku ke kasur. Mataku terpejam menikmati setiap kecupannya. Dion menindihku. Kedua tangannya memegang tanganku seolah sedang menahanku. Namun entah kenapa lagi-lagi yang terbayang adalah sosok Mas Rendy? Aku merasakan gairahku bergejolak. Celanaku sesak karena penisku sangat tegang.

"Jangan sekarang ya. Udah malam.." Kataku saat Dion mencoba membuka resleting celanaku.

Aku menghentikan cumbuan kami. Kuberitahu kalau hari sudah malam. Aku tak mau keluarganya cuuriga. Terlihat wajahnya sedikit kecewa, namun ia bisa memaklumi. Sebelum aku pulang, kami sempat berciuman kembali. Lama sekali. Kali ini hangat dan tenang. Jujur aku pun masih ingin di sana, rasanya tak ingin pergi.

Selama perjalanan pulang, tak henti-hentinya aku tersenyum. Barangkali memang Dion lah sosok yang tepat yang dikirimkan Tuhan untukku. Selama ini aku tak pernah mencari. Kemudian tiba-tiba ia muncul sendiri.

"Hey, kemana aja sih. Nggak pernah kelihatan sekarang?" Mas Rendy menghampiriku saat ku mau masuk kamar.

"Oh, ngerjain tugas di kos temen, Mas" Aku berbohong.

Tanpa dipersilakan, Mas Rendy sudah nyelonong masuk kamarku. Sekian minggu di Jogja, seingatku ini adalah kali pertama ia masuk ke kamarku. Entah kenapa aku merasa degdegan.

"Kosan sepi mulu, aku nggak ada temen nongkrong di balkon." Keluhnya. Sambil memencet-mencet remot TV. Mencari tontonan di Netflix.

"Ya udah, yuk kutemeni ke balkon." Jawabku.

Tak ada suara. Ternyata Mas Rendy sudah tertidur di kasur. Dasar pelor. Aku tak tega untuk membangunkannya. Wajahnya terlihat damai. Irama napasnya teratur. Sampai tengah malam ia masih tertidur. Akhirnya aku yang terjaga duduk di kasur sambil nonton film yang tadi dipilihnya.

Lama-kelamaan aku ngantuk juga, sementara Mas Rendy masih belum bangun. Aku pun merebahkan diri membelakanginya. Dengan sedikit terkantuk-kantuk aku masih berusaha nonton film sampai selesai. Sesekali aku tertidur.

Aku terjaga ketika kurasakan ada tangan yang memelukku dari belakang. Tangan Mas Rendy melingkar di perutku. Pelan ku sentuh tangannya yang berbulu. Hangat. Semula aku ingin memindahkannya. Namun ternyata susah.

Kurasakan Mas Rendy makin merapatkan tubuhnya. Bisa kurasakan embusan napasnya di leherku. Bekas cukuran di dagunya terasa kasar di kulitku. Pikiranku berkecamuk. Dadaku berdebar. Malam ini aku tak bisa tidur. Tangan Mas Rendy berpindah ke dadaku. Ia makin erat mendekapku. Lengannya yang berotot menempel di kulitku.

Apakah ia masih tertidur atau terjaga sepertiku?

(Bersambung)

_____________________________________________

Vote dan komentar dari pembaca akan sangat berarti agar penulis lebih semangat menuliskan cerita ini. Terima kasih

Boti-Boti ProblematikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang