Sudah beberapa hari ini aku tak bertemu Dion. Ia memang sengaja memberiku kesempatan untuk berpikir apakah akan menerima ajakan menjadi pacarnya atau tidak. Aku berada di titik dilema. Di satu sisi aku merasa beruntung menjadi seseorang yang diinginkan oleh Dion, namun di sisi lain aku belum siap berkomitmen.
Jika berpacaran dengan Dion, aku takut tak bisa merasakan kebebasan lagi. Sementara diriku saat ini sedang menikmati menjadi seseorang yang bebas. Jauh dari rumah. Bisa melakukan apapun tanpa takut ketahuan oleh orang tuaku.
Kenapa harus berpacaran jika menjadi teman lebih menyenangkan. Toh pertemanan kami juga bukan pertemanan biasa. Teman tapi ngewe. Barangkali itu adalah istilah yang tepat. Sama-sama enak. Tak ada yang dirugikan. Apakah tidak bisa kalau status kami seperti ini saja?
Sepi. Dion juga mengurangi intensitas komunikasinya agar kubisa berpikir dengan tenang. Jujur aku merasa kehilangan. Sebelumnya hampir tiap hari kami bertemu. Entah untuk makan malam ataupun latihan di gym. Kini, tiba-tiba aku harus melewati malam Mingguku sendiri. Beberapa kali ingin ku mengirimkan whatsapp mengajaknya bertemu, namun kemudian ku urungkan. Aku dibuat uring-uringan sendiri.
Sudah lama juga aku tak menikmati malam Minggu di kos. Dari tirai kamar ku intip keluar. Sunyi. Pintu-pintu kamar tertutup. Kamar gelap. Sandy dan Mas Rendy sepertinya tidak ada di kamarnya. Aku pun bergegas ke balkon. Siapa tahu mereka ada di sana.
Kosong. Ternyata teman-teman kosku pun tidak ada di balkon. Sandy mungkin pergi kencan dengan Ivanka. Sementara Mas Rendy, seperti biasa, mungkin sedang berburu memek-memek perempuan.
Aku kembali ke kos. Mau menonton Netflix tidak ada yang seru. Buka media sosial juga tidak ada yang menarik. Jari-jariku berhenti di sebuah logo aplikasi warna kuning. Aku membuka Grindr.
Beberapa pesan langsung ku terima. Dari foto profil maupun nama akun tidak ada yang menarik. Aku mengabaikan pesan-pesan di inboxku.
Visitor: Hi
Sebuah pesan dari akun bernama Visitor. Dari namanya tentulah dia sedang berkunjung ke Jogja.
Dito: Hi
Akun bernama Visitor mengirimkan fotonya. Menarik. Rasanya tidak rugi jika malam ini aku bertemu dengannya. Aku membalas mengirimkan fotoku.
Visitor: fun
Dito: ya
Kami pun bertukar nomor whatsapp. Namanya Ravi. Ia mengirimkan lokasinya. Ia menginap di sebuah hotel mewah tak jauh dari Malioboro. Aku pun segera bersiap. Aku mandi lalu memakai baju yang bagus dan menyemprot parfum. Aku geli sendiri. Toh nanti bajunya juga akan dilepas kan. Bahkan biasanya saat bertemu Dion aku tidak pernah berusaha membuatnya terkesan padaku. Namun kini untuk bertemu orang yang tak ku kenal aku sebegitu repotnya.
Ravi sudah menungguku di lobby. Hotel ini memiliki pengamanan yang ketat. Tidak sembarang orang bisa naik ke area kamar. Hanya tamu hotel yang bisa mengakses lift dengan membawa kartu.
Aku terkagum-kagum melihat kemewahan hotel bintang lima ini. Salah satu yang menjadi impianku setelah lulus kuliah nanti bisa bekerja di hotel berbintang. Namun ada kekaguman lain dalam hatiku, bagaimana Ravi yang usianya masih muda bisa menginap di hotel ini.
Ravi berasal dari Jakarta. Umurnya 24 tahun. Wujud aslinya bahkan lebih menarik daripada foto yang dikirimkan. Aku bersyukur kali ini orang yang kutemui dari Grindr tidak zonk. Ia datang ke Jogja untuk mengikuti lomba lari marathon. Salah satu olahraga yang kubenci. Sampai sekarang aku tidak tahu apa menariknya olahraga lari. Bukan karena capai, sepertinya aku tak akan kuat karena bosan.
Lift kami berhenti di lantai lima. Di hadapanku pintu bertuluskan angka 505. Ravi membuka pintu kamar. Sebuah kamar mewah dengan nuansa warna krem muda di depan mataku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boti-Boti Problematik
RomanceAndra yang mulai menjalani kehidupan sebagai mahasiswa baru mulai menemukan jati dirinya. Untuk pertama kalinya ia hidup merantau jauh dari orang tua. Di kota yang baru itulah, Andra mulai menyadari bahwa ia bukan seperti laki-laki pada umumnya yang...