Sampai di rumah sakit, kami langsung bertemu dengan Mas Saiful. Ia yang membawa Mas Rendy dengan mobilnya. Saat ini Mas Rendy sudah dipindahkan dari ruang IGD ke bangsal. Hanya saja ia masih belum sadar.
Beruntung Dion mengantarku. Kalau tidak aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Seluruh badanku terasa lemas. Pikiranku kalut. Dion yang lebih banyak berbicara dengan Mas Saiful maupun dokter. Aku masih menduga-duga apa yang terjadi dengan Mas Rendy.
“Kata polisi ini kecelakaan tunggal, Mas” ucap Mas Saiful. Dion mengangguk-angguk mendengarkan penjelasannya.
Tidak ada saksi mata. Tidak ada pula CCTV. Mas Saiful menemukan Mas Rendy sudah tak sadarkan diri di jalan Bantul yang sepi. Meskipun sepeda motor hancur, namun karena tak ada saksi dan barang bukti, polisi mengasumsikan kalau ini kecelakaan tunggal. Kini sepeda motor Mas Rendy ada di kantor polisi.
“Terima kasih ya, Mas. Terima kasih. ” Cuma itu yang bisa kuucapkan. Aku benar-benar berterima kasih padanya.
Aku tak bisa membayangkan jika Mas Saiful tidak lewat di jalan itu, apa yang akan terjadi dengan Mas Rendy. Lukanya cukup parah. Mas Saiful pula yang tadi harus pontang-panting mencari donor darah ke teman-temannya. Beberapa nomor di handphone Mas Rendy coba dihubunginya, termasuk orang tua Mas Rendy, namun tak ada yang nyambung. Hingga akhirnya ia meneleponku.
Tadinya Mas Rendy dirawat bersama dua pasien lain dalan satu ruangan. Dion yang mengurus administrasi agar Mas Rendy bisa mendapatkan kamar sendiri. Salah satu teman Pakdhe Sastro adalah pimpinan di rumah sakit ini. Ia yang membantu untuk mendapatkan kamar yang cukup luas, dengan sebuah sofa untuk penunggu pasien dan terdapat kamar mandi di dalam kamar.
Dion duduk di sofa. Sementara aku di bangku kecil di sebelah ranjang Mas Rendy. Matanya masih terpejam. Ia belum sadar. Perban membungkus sebelah sisi dadanya. Tangan kirinya digips sementara tangan kanannya dicolok selang-selang infus. Sepertinya ia mengalami patah tulang. Di balik baju pasien yang menutupi, ada luka juga di lutut dan pahanya. Tak ada luka luar di kepalanya, namun justru itu yang menakutkan. Cidera di dalam kepalanya yang membuatnya belum juga siuman.
“Mas Rendy.. Ini aku Andra.. ” Bisikku di telinganya. Tanganku mengusap jari-jarinya. “Mas Rendy, bangun yaa..” Aku memohon.
Aku terjaga hingga tengah malam. Kupandangi terus mata Mas Rendy. Aku berharap mata itu akan terbuka. Badannya bergerak naik turun mengikuti napasnya. Kusentuh jari-jari tangannya dan berharap merasakan pergerakan. Namun ia masih terdiam.
Dari mata yang terpejam itu, kulihat ada sebutir air mata yang menggantung kemudian menetes.
“Mas Rendy.. ” Aku berbisik lagi di telinganya. Kemudian kulihat matanya mulai terbuka.
“Andra..” Ucap Mas Rendy, lirih.
Dion yang menyadari Mas Rendy siuman langsung memanggil perawat jaga. Ia memencet bel yang ada di dekat ranjang. Kami diminta dulu untuk keluar kamar ketika dokter memeriksa Mas Rendy. Akhirnya aku bisa bernapas lega. Ketakutanku ikut terlepas bersama embusan napas. Entah kenapa aku malah menangis tersedu. Dion berusaha menenangkanku. Ia memeluk dan menepuk-nepuk punggungku.
Setelah beberapa saat, aku dan Dion dibolehkan masuk ke kamar. Mas Rendy sudah siuman. Namun kami masih harus menunggu besok untuk melihat apakah ada kerusakan di dalam kepalanya. Ia tersenyum menyambutku. Dion pun menyampaikan apa yang diceritakan oleh Mas Saiful. Mas Rendy mendengarkan dengan sorot mata yang mengawang. Sesekali dahinya mengernyit entah karena menahan sakit atau kelelahan.
“Mas Rendy, mau minum, atau makan? Biar aku suapi.” Aku menawarkan diri.
“Minum, boleh.” Ia mengangguk. Suaranya terdengar sangat pelan. Dengan hati-hati kusodorkan air mineral dengan sedotannya. Ia kesakitan saat bergerak.
“Mas Rendy tidur saja dulu, istirahat ya.” Kataku.
“Andra, ada yang mau kuceritakan. Tapi ini sangat pribadi. Maaf aku nggak bisa cerita ke orang asing.” Mas Rendy berbicara lirih. Ia menoleh ke arah Dion.
Dion tersadar. Dia adalah orang asing dimaksud oleh Mas Rendy. Ia pun meminta izin untuk keluar kamar. Aku menyusulnya.
“Dion, kamu pulang saja ya. Kasian Pakdhe dan Budhe nanti khawatir. Biar aku saja yang jaga Mas Rendy di sini.” kataku. Aku tahu pasti Dion akan menolaknya.
“Tapi kamu di sini sendirian. Entar kalau kamu butuh bantuan gimana?" Dion bersikeras.
“Nggak apa-apa. Kamu itu udah bantuin aku banyak banget. Sekarang aku cuma pengen kamu pulang. Kamu istirahat ya.” Aku memohon pada Dion. “Tenang, besok pagi Sandy dan Mas Edi ke sini kok. Nanti aku bisa gantian jaga dengan mereka.”
Meski berat hati, akhirnya Dion pun mengikuti permintaanku setelah ku meyakinkan beberapa kali. Sebelum pulang ia sempat memelukku. “Kamu juga istirahat ya. Jaga kesehatan.” Pesannya.
Dan di sinilah aku sekarang. Di kamar rumah sakit yang hening ini. Hanya ada aku dan Mas Rendy.
“Ini bukan kecelakaan tunggal.” Mas Rendy memulai ceritanya begitu aku duduk di kursi. Aku terkejut namun ku hanya mengangguk. Menunggu ceritanya mengalir lebih jauh.
“Ada mobil yang mengikuti aku, dan akhirnya menabrakku. Sampai aku ada di sini sekarang.” Lanjutnya.
“Aku tidak punya bukti, tapi aku yakin aku tahu siapa yang menyuruhnya.”
“Siapa Mas?" Aku tak bisa menahan rasa penasaran ku.
“Aku nggak bisa bilang. Tapi beberapa hari ini aku diteror. Ada perempuan yang kukenal. Dia mengaku hamil. Dan aku diminta bertanggung jawab.” Ucap Mas Rendy diikuti sebuah senyum sinis.
“Dia pikir aku bodoh? Selama ini tiap kali aku having sex dengan siapa saja, aku selalu main aman. Jadinya aku menolak diminta bertanggung jawab.” Ada rasa marah dalam kalimatnya yang membuatnya meringis menahan sakit.
Aku hanya bisa mengira-ngira siapakah wanita tersebut. Paling tidak ada tiga orang cewek yang aku tahu pernah bersama Mas Rendy; Ica yang diewe di kamar kos, satu lagi yang papasan di lobby hotel saat aku bersama Dion, dan satu lagi yang kulihat di klub malam. Mungkin salah satu dari mereka atau wanita yang lain lagi. Kutak tahu sudah berapa banyak perempuan yang jadi pemuas nafsunya.
Di satu sisi aku iba kepada Mas Rendy, namun di sisi yang lain aku memaklumi kenapa hal ini bisa terjadi padanya. Kupikir inilah risiko yang harus ditanggungnya sebagai seorang penjahat kelamin.
“Mas Rendy, nggak mau lapor polisi?” Tanyaku. Ia hanya menggeleng. “Buat apa?”
“Tapi ini itu upaya pembunuhan Mas. Kalau telat aja dibawa ke rumah sakit, mungkin nyawa Mas Rendy nggak tertolong.” Aku menyesal mengucapkannya.
“Ya, mungkin memang sudah waktunya. Lagi pula aku sekarang nggak punya siapa-siapa. Mati pun nggak ada yang peduli.” Ucapnya dengan ekspresi yang datar.
Aku terdiam. Aku hanya ingin menangis. Ia menolak ketika aku menawarkan untuk menghubungi keluarganya. Aku tahu pasti Ia merasa kesepian. Seandainya saja Mas Rendy tahu bagaimana takutnya aku kalau sampa ia kenapa-kenapa. Aku adalah orang yang paling kehilangan kalau sampai ia meninggal.
“Andra..” Ia memanggilku.
“Iya, Mas.." Jawabku pelan sambil berusaha menahan air mataku yang akan menetes.
“Makasih ya..” katanya, tulus.
Aku mengangguk. Aku takut memikirkan teror apa lagi yang akan diterima oleh Mas Rendy.
(Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
Boti-Boti Problematik
RomanceAndra yang mulai menjalani kehidupan sebagai mahasiswa baru mulai menemukan jati dirinya. Untuk pertama kalinya ia hidup merantau jauh dari orang tua. Di kota yang baru itulah, Andra mulai menyadari bahwa ia bukan seperti laki-laki pada umumnya yang...