Butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai ke tempat ini. Tadinya hanya Aku, Dion, dan Pedro yang akan camping di pinggir pantai yang ada di daerah Gunungkidul. Tapi aku merasa lebih enak kalau rame-rame. Akhirnya kuajak sekalian Sandy, Putri, dan Ivanka.
Aku duduk di depan, di samping Dion yang menyetir mobil. Di belakangku ada Putri dan Ivanka. Sedangkan Sandy dan Pedro di kursi belakang.
Tadinya Sandy sempat menolak duduk sebelah Pedro karena ia tak pandai Bahasa Inggris. Ia takut selama perjalanan ke Gunungkidul akan diam saja seperti patung. Namun setelah kuberitahu kalau Pedro itu casingnya aja yang bule tapi jiwanya sangat Jawa sekali, akhirnya Sandy bersedia.
Pedro adalah bule Spanyol yang sedang kuliah Seni dan Budaya Jawa di salah satu universitas di Jogja. Bahasa Indonesianya sudah sangat lancar meskipun baru setahun tinggal di Indonesia.
Pedro memiliki wajah Latin dengan rambut hitam, alis tebal, bulu mata lentik, dan tentu saja hidung mancung. Bulu dada lebatnya menyembul dari kemeja yang dua kancing atasnya dibiarkan terbuka. Banyak orang sering mengagung-agungkan sosok bule karena dianggap ganteng. Namun bagiku cowok-cowok lokal seperti Mas Rendy ataupun Dion terlihat lebih menarik. Meski begitu aku penasaran juga dengan isi celananya, apa benar kontol bule semua berukuran extra?
"Aku tu heran deh, kenapa circlenya Andra itu ganteng-ganteng semua." Putri membuka percakapan sewaktu di perjalanan.
"Bener banget. Di kos ada Mas Rendy yang gantengnya subhanallah sekali. Terus Dion yang selain ganteng juga jago main gitar. Tambah lagi Pedro, bule Spanyol yang jago budaya Jawa." Ivanka menimpali.
"Aku itu nggak ganteng. Biasa aja." seperti biasa Dion selalu merendah.
"Orang ganteng tapi ga sadar kalau ganteng itu makin gemesin lho." Putri mulai menggoda.
Dion hanya tertawa. "Tapi kalau Mas Rendy itu memang ganteng sih." Lanjutnya.
Aku kaget mendengar komentar Dion yang keceplosan. Sempat terjadi momen hening sekian detik. Mungkin karena teman-temanku jarang mendengar laki-laki memuji ganteng pada laki-laki lain. Aku dan Dion saling berpandangan. Dion menyadari kesalahannya. Semoga saja anak-anak tidak curiga. Begini tidak enaknya jadi gay discreet harus pinter-pinter jaga baut biar tidak lepas.
"Kok aku nggak disebutin sih.." Sandy protes.
"Iya, iyaa, kamu paling ganteng" Goda Ivanka. Kabar baiknya Sandy dan Ivanka sudah jadian. Acara camping di pantai ini bisa dibilang perayaan jadian mereka.
Setelah mobil sampai di parkiran. Kami harus jalan kaki melewati jalan berbatu dengan kanan kiri berupa ladang. Masing-masing dari kami membawa perlengkapan camping. Selain ransel berisi peralatan pribadi, ada juga tenda, kompor dan alat masak. Begitu sampai di bibir pantai rasa lelah terbayar. Pasir putih yang sepi dan lautan biru membentang. Di sekeliling banyak pepohonan. Seperti pantai pribadi.
"Baguuus bangeeet.." Ivanka berseru sambil berlarian di pinggir pantai bersama Putri. Mereka bermain air. Aku pun tak sabar ingin lekas bergabung.
"Andra, mau satu tenda dengan saya?" Tanya Pedro ketika selesai membangun tenda. Kami memang sudah kenal sebelumnya. Beberapa kali kami ngobrol di cafe tempat Dion biasanya manggung.
"Andra nanti satu tenda denganku." Dion langsung memotong.
Sebenarnya aku tidak masalah mau satu tenda dengan siapa. Akhirnya Pedro satu tenda dengan Sandy, Putri dengan Ivanka, dan tentunya aku dengan Dion. Kami sudah berjanji tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan yang mengenakkan, karena tak ingin membuat teman-temanku curiga.
Malam harinya bermandikan cahaya bulan, diiringi suara angin dan debur ombak, kami membuat api unggun sambil membakar jagung, sosis dan daging. Dion dengan gitar akustiknya mulai memainkan sebuah lagu. Ternyata Ivanka familiar dengan lagu tersebut, ia pun menyanyi diiringi petikan gitar Dion.
You know I can't smile without you, I can't smile without you,
I can't laugh and I can't walk, I'm findin' it hard even to talk,
and I feel sad when you're sad, I feel glad when you're glad
and you must know what I'm going through, I just can't smile without you..Meski tak hafal liriknya, tapi aku tahu itu lagu dari Barry Manilow. Dion sering menyanyikan lagu lawas itu saat aku main ke rumahnya.
"Andra kamu mau jagung bakar?" Pedro tiba-tiba menawariku. Belum sempat aku menjawab, Dion sudah muncul di sampingmu.
"Andra maunya daging barbekyu." Dion menyahut. Ia bahkan meninggalkan Ivanka yang tadi bernyanyi bersamanya. Sandy pun mengambil alih gitar dan menunjukkan kemampuannya. Dengan iringan gitar Sandy dan Ivanka menyanyikan lagu-lagu koplo.
"Aku ambil sendiri saja." Jawabku.
Aku heran. Dua orang laki-laki ini kenapa sih. Akhirnya aku memilih untuk menghampiri Putri yang sibuk mengipas-ngipas makanan yang sedang dibakar.
"Nah gitu dong. Dari tadi kek bantuin. Ini cowok ada banyak nggak ada yang peka. Kalau nggak ada yang bantuin kubakarin semua tendanya." Putri merepet. Segera kuambil alih kipas sementara Putri memgolesi daging dengan mentega dan bumbu.
"Kalau disuruh milih, kamu milih Dion atau Pedro?" Tiba-tiba Putri memberikan pertanyaan yang tak terduga.
"Apaan sih, aneh banget." Jawabku.
"Buruan jawab kalau disuruh milih, kamu milih siapa? Misal lebih ganteng Dion atau Pedro? Atau kalau jadi pacar lebih cocok yang mana?" Putri memaksa.
"Tau ah. Masak suruh milih pacaran sama Dion atau Pedro." Sahutku. Mukaku terasa hangat entah karena malu atau bara api di depanku.
"Kegeeran deh. Ini buat aku kali. Aku juga pengen pacaran kayak Ivanka. Sekarang pilihannya Dion atau Pedro." Balas Putri dengan muka menggodaku. Menyebalkan.
Tiba giliran Pedro menunjukan kemampuan seninya. Sambil memetik gitar, ia menyanyikan sebuah lagu. Aku tak menyangka ia akan menyanyikan lagu berbahasa Indonesia, lagunya Chrisye yang berjudul Andai Aku Bisa.
Malam semakin larut. Setelah puas memandangi lautan dan langit malam kami beranjak ke dalam tenda. Aku dan Dion sudah masuk dalam sleeping bag masing-masing. Entah kenapa malam ini mata susah untuk terpejam.
"Dion, udah tidur?" Tanyaku.
"Belum." Aku hanya mendengar suaranya. Aku membelakangi.
"Kamu kenapa sih hari ini?" Tanyaku. Aku penasaran dengan tingkahnya yang tak seperti biasa.
"Aku cuma takut, kehilangan kamu, Ndra. Sepertinya Pedro tertarik sama kamu." Ucap Dion. Aku berbalik ke arahnya. Dan wajah Dion kini tepat berada di depanku.
"Emang dia gay?" Tanyaku. Dion cuma mengangguk.
"Aku sudah memikirkan selama beberapa bulan ini, dan rasanya udah cukup untukku mengenal kamu, Ndra. Aku pengen hubungan kita lebih serius. Aku nyaman sama kamu. Aku mantap dengan pilihanku. Aku pengen jadi pacar kamu.." Ucap Dion tulus.
Jujur aku pun merasa nyaman bersama Dion, tapi ada sebagian diriku yang merasa belum siap untuk berkomitmen. Aku masih baru di dunia gay ini. Rasa-rasanya aku masih ingin mencoba banyak hal.
"Aku masih bingung.." Ku tak tahu kenapa kata-kata ini yang keluar.
"Aku nggak akan maksa kamu untuk jawab sekarang. Aku beri kamu kesempatan untuk memikirkannya lebih dulu." Kata Dion.
Entah kenapa pengakuan perasaan dari Dion justru membuat keadaan menjadi berbeda. Dion mengecup bibirku. Aku membalasnya dengan perasaan canggung.
Di hari-hari yang lalu, kami sudah sering berciuman hingga berhubungan badan. Namun kini ada perasaan asing yang tak bisa kujelaskan. Aku merasa takut, hubungan kami akan berubah, dan tak sedekat dulu lagi. Mungkin Dion benar. Aku butuh waktu untuk memikirkannya lebih dulu.
Apakah aku harus menerima ajakan berpacaran Dion?
(Bersambung)
________________________________________________
Terima kasih telah mengikuti series ini.
Vote dan komentar dari pembaca sangat berarti bagi penulis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boti-Boti Problematik
RomanceAndra yang mulai menjalani kehidupan sebagai mahasiswa baru mulai menemukan jati dirinya. Untuk pertama kalinya ia hidup merantau jauh dari orang tua. Di kota yang baru itulah, Andra mulai menyadari bahwa ia bukan seperti laki-laki pada umumnya yang...