Belum ada jam enam tapi moodku langsung berantakan. Perhatian yang diberikan oleh Dion justru membuatku merasa kesal. Aku rasa Ia berlebihan. Dion menyayangkan keputusanku untuk bolos kuliah demi menunggu Mas Rendy.
"Kan ada perawat yang jaga? Nanti kamu bisa datang lagi abis balik dari kampus." Begitu saran yang disampaikannya ketika mengantarkan sarapan untukku.
"Bentar lagi ujian. Nanti kalau kamu nggak bisa ngerjain gimana? Kalau dapet nilai E gimana? Kamu kuliah yang serius dong, Ndra." Sebagian nasihat lainnya dari Dion.
Bukannya memberi semangat, malah menakut-nalutiku. Lagipula ini kan bukan kemauan ku untuk bolos. Aku melakukannya karena hal terdesak, Mas Rendy masuk rumah sakit. Toh nanti aku bisa menanyakan materi kuliah pada Putri atau Ivanka. Kerewelan Dion terasa sangat menyebalkan. Ia terus memaksaku untuk berangkat kuliah.
Aku hanya diam. Aku sedang malas berdebat karena keputusanku sudah bulat. Aku tetap pada pendirianku untuk menunggu Mas Rendy. Aku tak tega membiarkan Mas Rendy di sini sendiri. Kalau dia butuh apa-apa siapa yang akan membantu? Lagi pula mata kuliah hari ini cukup aman. Absensiku belum pernah bolong. Kupikir tak ada salahnya bolos satu kali.
Dion pun meninggalkan rumah sakit dengan kekecewaan atas pilihanku. Pagi ini tak sesuai rencana sebelumnya. Sandy ada kuliah tambahan dari dosen killer sehingga tak bisa menggantikanku menunggu Mas Rendy di rumah sakit. Tadi sebelum Dion mengantarkan sarapan untukku, Sandy telah datang ke rumah sakit untuk mengantar pakaianku dan Mas Rendy. Ia buru-buru pulang ke kos karena harus siap-siap kuliah.
Begitu kembali ke kamar, aku berpapasan dengan seorang perawat.
"Mas, air hangat dan handuk untuk mandi pasien sudah saya taruh dalam. Tadi Bapak Rendy menolak untuk saya mandikan. Mungkin Bapak Rendy mau kalau keluarga yang memandikan. Permisi." Ucap seorang perawat kemudian berlalu menuju kamar yang lain.
Memandikan Mas Rendy? Yang benar saja? Aku tidak tahu bagaimana caranya. Sama sekali tidak ada dalam benakku adegan memandikan orang sakit. Kupikir menunggu orang sakit hanya akan sebatas menolong mengambilkan makan atau minum.
"Mas Rendy nggak mau mandi?" Tanyaku.
"Nggak lah. Masak aku dimandiin sama suster. Malu lah. Di mana harga diriku. Masak mandi saja tidak bisa. " Jawab Mas Rendy.
"Ya kan, Mas Rendy memang lagi sakit. Memangnya Mas Rendy bisa mandi sendiri?" Aku balas lagi dengan pertanyaan.
Mas Rendy terdiam. Ia mengamati tubuhnya yang diperban di beberapa tempat. Termasuk tangan kirinya yang digips dan digendong. Ia mengela napas kemudian menggeleng pelan. Aku anggap itu sebagai jawaban.
"Mau aku mandiin?" Aku kembali bertanya. Jujur tawaranku ini murni tanpa ada modus di dalamnya. Aku hanya ingin membantu.
"Ya, bolehlah. Mau gimana lagi.." Sahutnya tak bersemangat.
"Misi ya, Mas" Kataku sambil membuka baju pasien yang mirip piyama itu.
Karena ada luka di dada dan tangan yang digips, baju piyama itu hanya disampirkan di tubuhnya. Aku pelan menurunkannya sampai ke bawah pusar.
Sebenarnya ini bukan pertama kali aku melihat tubuh telanjang Mas Rendy, tapi entah kenapa jantungku tetap berdebar kencang. Dada dan perut Mas Rendy yang dipenuhi bulu halus terekspos.
Aku mencelupkan handuk ke baskom berisi air hangat lalu kuperas. Dengan hati-hati kuusap wajah Mas Rendy. Matanya terpejam. Tangan kiriku memegang dagunya. Satu hari tak bercukur dan rambut-rambut kasar telah memenuhi wajah Mas Rendy. Tangan satu lagi untukku mengusap wajah Mas Rendy. Kubersihkan noda-noda minyak maupun debu dan polusi. Dari wajah hingga sekitar telinga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boti-Boti Problematik
Любовные романыAndra yang mulai menjalani kehidupan sebagai mahasiswa baru mulai menemukan jati dirinya. Untuk pertama kalinya ia hidup merantau jauh dari orang tua. Di kota yang baru itulah, Andra mulai menyadari bahwa ia bukan seperti laki-laki pada umumnya yang...