Setelah makan malam Ravi mengajakku nongkrong di sebuah cafe dengan pemandangan Tugu Jogja. Sedangkan Bimo memilih kembali ke hotel untuk tidur. Katanya badannya terlalu capek buat begadang. Tentu saja. Bayangkan, paginya baru ikut event lari kemudian malamnya masih ngentot. Aku saja yang cuma ngangkang doang, masih berasa pegel di sekitar paha. Baru kali ini aku mengalami kegiatan perngentotan yang sangat brutal, digilir dua orang sekaligus.
Dibanding Bimo, Ravi memang lebih supel dan terbuka. Padahal ini adalah pertemuan pertama kami, tapi rasanya seperti sudah kenal lama. Ia menanyakan akun instagramku lalu mengikutinya.
“Kamu keren banget ya, Vi. Sering jalan-jalan sampai luar negeri. Nginep di hotel-hotel mewah..” Aku berdecak kagum ketika melihat foto-foto di akun instagramnya.
“Iya, alhamdulillah. Kamu juga bisa, Andra.” Sahutnya. Ia tidak berusaha menyombong.
“Gimana caranya? Sekarang aja aku masih mahasiswa miskin. Masih lama lulusnya. Belum ada duit.” Jawabku menyangkal ucapannya.
“Nggak harus nunggu lulus, gampang kok usaha buat cari duitnya.” Jawabnya.
“Usaha apaan? Aku nggak punya modal. Nggak punya pengalaman bisnis juga.” Jawabku. Aku masih berusaha mencerna kalimat yang diucapkan olehnya.
“Ada kok modalnya. Kamu kan punya bool, punya kintil itu bisa jadi modal.” Jawabnya meyakinkanku. Aku bengong karena hampir tak percaya kalimat itu terlontar dari mulutnya.
“Hah, serius. Jadi uang jalan-jalan kamu dari.." Kalimatku menggantung. Aku masih belum menemukan kata-kata yang lebih sopan. Ingin kubilang melonte tapi takut Ravi tersinggung.
“Dari gadun.” Jawabnya singkat.
“Gadun?" Jujur aku baru dengar istilah ini.
“Iya, gadun. Semacam sugar daddy gitu.” Ravi memperjelas.
“Jadi si Bimo itu sugar daddy kamu?" Aku menerka. Namun Ravi malah tertawa.
“Nggak lah, Bimo itu partner nyari gadun.” Jawabnya sambil ketawa lagi.
Sungguh aku tidak menyangka. Aku baru tahu, sebenarnya Ravi maupun Bimo memiliki perkerjaan yang bagus. Ravi bekerja di sebuah start up di kawasan SCBD, sementara Bimo adalah karyawan BUMN. Secara gaji ya bisa-bisa saja mereka pakai buat traveling, tapi ternyata mereka juga mencari duit dari para gadun.
“Gaji dari kerja halal buat ditabung, dikirim buat orang tua di kampung. Nah buat hedonnya pake uang haram dari gadun.” Ravi menyeletuk sambil mengunyah makanan pesanannya seolah semuanya hal yang wajar. Aku hanya melongo mendengarkan ceritanya.
“Biaya hidup sekarang mahal tau, mesti bayar member gym, beli-beli outfit olahraga, daftar-daftar lomba lari, skincare, parfum, sepatu dan lain-lain. Ngandelin gaji doang mana cukup.” Ravi melanjutkan. Aku hanya manggut-manggut.
“Dulu aku kayak Bimo, nyari gadun-gadun boti, tapi sekarang aku main vers. Modal bool modal kontol juga. Pasarannya lebih luas.” Ravi menyerocos membagikan informasi yang menurutku sudah berlebihan untuk kucerna.
“Nyari gadun di mana? Grindr?” Tanyaku penasaran.
“No, grindr isinya orang-orang miskin kebanyakan, maunya gratisan.” Jawab Ravi. Aku mengangguk mengiyakan pernyataannya. “Lagian gadun-gadun gitu udah males main aplikasi.” Lanjutnya.
“Terus di mana?” Aku makin penasaran.
“Nanti malam ikut aku.” Jawab Ravi sambil tersenyum lebar.
Dan sampailah aku di sini, di sebuah klub yang ada di jl. Magelang. Memang benar di sini bukan tempatnya kaum mendang-mending. Untuk masuk saja harus bayar 100 ribu. Tentu saja Ravi yang membayariku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boti-Boti Problematik
RomanceAndra yang mulai menjalani kehidupan sebagai mahasiswa baru mulai menemukan jati dirinya. Untuk pertama kalinya ia hidup merantau jauh dari orang tua. Di kota yang baru itulah, Andra mulai menyadari bahwa ia bukan seperti laki-laki pada umumnya yang...