Selain kuliah, aku punya rutinitas baru. Seminggu tiga kali aku latihan di gym. Di beberapa hari awal, aku masih diajarin oleh Dion. Tapi sekarang aku sudah bisa latihan sendiri. Aku pun heran setelah dijalani, aku ternyata menyukai, bahkan ketagihan. Kalau tidak latihan berasa ada yang kurang. Kadang aku bertemu Om Amri di gym, tapi sekarang aku sudah tidak kesal lagi padanya. Biasa saja.
Tiap Rabu malam aku masih sering nonton Dion manggung di cafe. Sepertinya bergaul dengan Dion membuatku lebih percaya diri. Jiwa introvertku lama-lama bisa kukendalikan. Kadang Dion mengajakku kumpul dengan teman-teman bulenya untuk sekadar ngobrol di sela-selanya tampil di cafe. Lumayan untuk melatih percakapan Bahasa Inggrisku bersama para seniman dari Eropa itu. Apalagi jurusan kuliahku adalah pariwisata. Kami merencanakan camping di pantai pekan depan bersama Pedro bule dari Spanyol.
Sebelum atau kadang sesudah Dion manggung, aku mampir ke rumahnya. Tentunya sambil curi-curi waktu untuk bisa bercumbu dengan Dion di kamarnya.
"Eh Nak Andra, sini-sini masuk." Sambut Budhenya Dion.
Sudah beberapa kali aku bertemu dengan budhe dan pakdhe-nya Dion. Seperti biasa mereka selalu ramah padaku. Budhe Ani selalu mengenakan kebaya dan rambut yang digelung rapi. Meskipun sedang berada di rumah. Sedangkan Pakdhe Sastro berpenampilan layaknya bapak-bapak biasa. Ia sering memakai kaos putih polos dan sarung.
Pakdhe Sastro adalah kakak dari ibunya Dion. Sepertinya sekarang aku tahu warisan kegantengan Dion diturunkan dari keluarga ibunya. Meski sudah sepuh, Pakdhe Sastro masih terlihat tampan. Wajahnya dan perawakannya mirip pemain sinetron favorit ibuku zaman dulu, Surya Saputra.
"Baik, makasih Budhe." Jawabku.
Tadinya aku memanggilnya dengan sebutan Tante, tapi Budhe Ani memintaku memanggil dengan panggilan Budhe saja. Biar sama seperti Dion. Selain itu karena, Budhe Ani merasa lebih cocok dipanggil Budhe karena dari garis keturunan yang Jawa banget.
"Budhe seneng lho kalau Nak Andra sering main ke rumah. Biar Dion ada temennya. Kasian kalau di rumah kesepian. Anak-anak Budhe kan sudah pada gede. Sudah berkeluarga semua di luar kota." kata Budhe Ani dengan tutur kata yang sangat halus dan tertata.
"Nak Andra, langsung naik ke atas ya. Budhe mau masak dulu buat Pakdhe." Lanjut Budhe Ani.
"Baik, Budhe. Saya ke kamar Dion dulu." Aku pun pamit dan bergegas naik ke lantai dua.
Di antara Aku dan Dion sudah tidak ada kata malu-malu lagi. Begitu masuk ke kamar, aku langsung naik ke ranjangnya. Ia yang sedang membaca buku tak sempat untuk menghindar. Aku mendekap tubuhnya.
"Aku kangen ini." Kataku manja. Sambil mencoba memelorotkan celananya.
"Heh, nakal ya. Ntar kalau ketahuan orang rumah gimana?" Protes Dion. "Aku sudah mandi. Ntar harus mandi lagi dong." Lanjutnya.
Aku tak peduli. Dan sepertinya Dion pun tak bisa untuk menolak. Ia mengangkat pantatnya untuk memudahkan ku menurunkan celananya. Sudah lebih dari seminggu aku tak menikmati kontolnya karena waktu dan kondisi yang tak memungkinkan.
Hanya dalam sekali jilatan, penis milik Dion langsung menegang. Kontol itu mengacung ke atas dan berdenyut-denyut. Aku jilati dan isap sisa-sisa kulup di bawah kepala penisnya. Dion mendesah merasakan kenikmatan. Lidahku menyusuri setiap senti dari pangkal batang hingga ke kepala penis. Setelahnya kuisap kantung zakarnya yang bersih dari bulu. Nafas Dion mulai memburu.
Satu hal yang kukagumi, Dion itu orangnya sangat rapi dan tertata. Begitupun bulu-bulu jembutnya selalu rapi tercukur. Tidak sampai plontos. Tapi disisakan pendek yang ada di pangkal penisnya. Sementara aku tak pernah sempat untuk merapikan jembut.
"Mau dimasukin." Aku meminta pada Dion.
"Serius, di sini?" Tanya Dion.
Aku mengangguk. Rupanya nafsu Dion pun sudah tak terbendung. Kami sudah tak peduli dengan risiko ketahuan. Kami berpindah posisi di balik pintu. Dion menurunkan celanaku. Dari cermin besar di mejanya, aku melihat Dion mulai menjilati lubang analku. Lidahnya mencoba masuk lebih dalam dan membasahi lubangku.
"Kita main cepat aja ya." Ucap Dion.
Aku mengangguk. Dion membungkus kontolnya dengan kondom dan melumuri lubang analku dengan pelicin. Jarinya keluar masuk untuk membuatnya lebih elastis. Aku sudah tak sabar. Rasanya gatal dan ingin segera dimasuki.
Tanpa berlama-lama kontol Dion langsung amblas. Ia langsung memacu kontolnya dengan cepat. Dari cermin kulihat ia menggenjotku dengan posisi doggie style. Ia menarik kepalaku dan melumat bibirku. Satu tangannya memegang pinggangku sementara tangan satunya mengocok kontolku. Gerakan pinggul Dion makin cepat dan makin kuat menumbukku.
Ketika kenikmatan sudah sampai di ujung, tiba-tiba kami mendengar langkah kaki menaiki tangga. Buru-buru Dion melepas kontolnya dari lubangku. Aku tak sempat memakai celana dan masuk kamar mandi. Pejuhku tumpah di kamar mandi. Entah dengan Dion. Dari dalam kamar mandi sayup-sayup kudengar percakapan.
"Lho Mas Andranya di mana Mas?" Ternyata suara Mas Tanto, salah satu pembantu di rumah Pakdhe Sastro
"Lagi di kamar mandi, Mas" Jawab Dion.
"Oh ya, Mas Dion dan Mas Andra diminta turun sama Ibu. Disuruh makan dulu. Tadi Ibu masak sayur lodeh. Sudah mateng." Mas Tanto menyampaikan pesan Budhe Ani.
"Oh iya, Mas. Sebentar lagi kami turun ya.." Jawab Dion.
Aku keluar kamar mandi ketika keadaan sudah aman. Jujur jantungku masih berpacu karena kejadian tadi. Kulihat celanaku masih tersampir di kursi. Dion cuma bisa nyengir ketika aku memandangnya. Tadi Dion sempat memakai sarung ketika Mas Tanto masuk kamar tapi botol pelicin dan bungkus kondom masih ada di meja dan tak sempat disingkirkan.
Kami turun ke ruang makan sambil bertanya-tanya apakah Mas Tanto curiga atau tidak dengan apa yang kami perbuat. Namun saat kami bertemu di dapur, sikapnya biasa saja. Jadi kami anggap ia tak tahu dengan perbuatan kami sebelumnya.
Sore itu kami makan sayur lodeh lauk tempe garit dan sambal teri bersama Budhe Ani dan Pakdhe Sastro. Menu sederhana tapi cukup mengobati kangenku akan masakan rumah. Apalagi menikmati makanan tersebut bersama Pakdhe dan Budhe yang sangat ramah. Mendadak aku kangen kedua orang tuaku di rumah.
"Andra tinggal di sini aja. Masih ada kamar kosong kan Bu." Ujar Pakdhe Sastro di sela-sela kami makan.
"Iya, itu bekas kamarnya Nunik. Daripada kosong nggak kepake." Budhe Ani menimpali. Nunik adalah kakak sepupu Dion, sekarang sudah berkeluarga dan tinggal di Jakarta.
Aku sempat berpandangan dengan Dion. Kami tersenyum penuh arti. Tentu akan lebih mudah untukku bercinta dengannya jika kutinggal di rumah ini.
"Makasih Pakdhe, saya kos aja lebih dekat dengan kampus. Kalau tinggal di sini nanti malah ngrepotin Budhe dan Pakdhe." Jawabku.
Setelah selesai makan aku bantu Mas Tanto mencuci piring. Tadinya ia menolak tapi aku memaksa. Aku tak mau merepotkan di rumah keluarga Dion. Setelah salat Magrib, aku baru pergi untuk menonton Dion nyanyi di cafe.
(Bersambung)
![](https://img.wattpad.com/cover/373159054-288-k215012.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Boti-Boti Problematik
Storie d'amoreAndra yang mulai menjalani kehidupan sebagai mahasiswa baru mulai menemukan jati dirinya. Untuk pertama kalinya ia hidup merantau jauh dari orang tua. Di kota yang baru itulah, Andra mulai menyadari bahwa ia bukan seperti laki-laki pada umumnya yang...