Bab 27 - Galau

295 22 1
                                    

Sudah beberapa hari ini pintu kamar Mas Rendy tertutup. Jendela kamarnya selalu gelap. Ia belum juga pulang ke kos. Dadaku terasa sesak tiap mengingatnya. Aku kangen.

Rasanya baru kemarin Mas Rendy menyapa dan memperkenalkan diri padaku di balkon kos-kosan ini. Kemudian kami pun jadi sering menghabiskan malam bersama sambil memandangi langit malam dan ramai jalanan. Rasanya baru kemarin aku menungguinya di rumah sakit dan membantu menyuapinya makanan. Sungguh di hari-hari itu aku merasa bahagia. Aku menjadi orang yang dibutuhkannya.

Dan kini tiba-tiba semua berubah. Mas Rendy menghindariku. Semua kedekatan itu tak ada artinya untuk Mas Rendy. Hanya tersisa aku, duduk sendiri di balkon kos Wisma Arjuna.

Setelah menimbang-nimbang antara iya atau tidak. Setelah berusaha mengumpulkan nyali selama beberapa hari. Akhirnya aku memmeberanikan diri mengirimkan pesan untuknya.

"Mas Rendy, gimana keadaannya?"

Sebaris kalimat pertanyaan yang butuh keberanian ekstra untukku bisa mengirimkannya lewat pesan whatsapp. Sempat kuganti beberapa kali. "Kapan pulang?", " Mas Rendy tinggal di mana?", "Boleh ku jenguk Mas Rendy?", namun kalimat-kalimat itu gagal kukirim. Aku tak mau terlihat terlalu berharap. Walaupun sejujurnya aku memang ingin sekali bertemu dengannya.

Namun sayang. Sebuah pertanyaan yang terdengar wajar itu pun ternyata sia-sia. Ada tanda centang biru dua tapi tak ada balasannya. Dibiarkan saja pertanyaanku menggantung berhari-hari tanpa jawaban.

Aku benar-benar tidak berarti di mata Mas Rendy. Segala perhatian dan pengorbananku sepertinya tak dianggapnya sama sekali.

Dalam situasi seperti ini, aku baru menyadari bahwa aku telah membuat kesalahan. Aku menyia-nyiakan perhatian dan ketulusan Dion. Tapi semuanya sudah terlambat. Dion bahkan sudah berpamitan padaku. Terbersit penyesalan dalam hatiku.

Kalau diingat lagi, apa ya kurangnya seorang Dion. Ganteng, kaya, punya keluarga yang harmonis, perhatian, tulus, tapi entah kenapa kemarin-kemarin aku tak bisa melihat itu semua. Aku justru terobsesi pada seorang straight tukang ngewe cewek. Entahlah.

Aku cuma bisa berandai-andai. Seandainya saja aku tak ragu untuk menerima cinta Dion, pasti sekarang aku tak perlu merasakan kegalauan seperti ini. Sepi. Sendiri. Duduk di atas balkon kos-kosan seperti orang bingung.

"Andra, tumben nongkrong di balkon sendirian?" Seseorang berambut cepak datang menghampiriku.

Aku menoleh, ternyata orang tersebut adalah Mas Edi yang muncul masih dengan seragam securitynya. Ia baru pulang kerja.

"Iya, Mas. Lagi nggak bisa tidur." Jawabku. Kemudian ku menyesap rokokku perlahan.

"Wah, sekarang kamu ngrokok, Andra? Rokoknya sama pula dengan rokoknya Rendy." Mas Edi bertanya dengan wajah terheran-heran.

Jujur. Aku bukanlah penikmat rokok. Bahkan aku tidak tahu di mana letak kenikmatannya. Semata-mata kulakukan karena aku rindu Mas Rendy. Aku ingin tahu seperti apa rasa rokok yang sering diisapnya. Karena itulah aku tiba-tiba impulsif, menghabiskan malam di balkon sambil mengisap rokok. Aku ingin mengulang momen-momen kebersamaan bersamanya di tempat ini.

Aku sering memperhatikan bagaimana cara Mas Rendy merokok. Ia mengisapnya pelan kemudian mengembuskan asapnya perlahan. Seperti ada beban yang ia lepaskan. Seperti ada kelegaan yang ia rasakan. Namun entah kenapa ketika aku menyesap rokok kemudian memgembuskan asapnya. Aku justru tidak merasa lega. Aku malah makin merasa nelangsa. Dadaku makin sesak. Aku ingin menangis.

Aku hanya mengangguk. Tak menjawab pertanyaan Mas Edi. Kusodorkan bungkus rokok padanya. Ia pun mengambil sebatang lalu menyalakan dan mengisapnya.

"Mas Rendy, gimana kabarnya ya Mas?" Aku coba membuka percakapan.

Boti-Boti ProblematikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang