Bab 22 - Sebuah Panggilan

562 22 0
                                    

"Eh Nak Andra, lama nggak main ke rumah?" Tanya Budhe Ani, ketika kami sampai di rumahnya. Dion membawa masuk barang-barang belanjaan. Sementara aku tertahan di ruang tamu bersama Pakdhe Sastro dan Budhe Ani.

"Iya, Budhe. Maklum lagi banyak tugas kuliah." Jawabku berbohong. Padahal beberapa minggu ini aku dan Dion memang saling menjaga jarak.

"Oh syukurlah, Budhe kira lagi berantem sama Dion." sahutnya. Aku hanya mencoba tersenyum.

Sudah tiga minggu dan aku belum bisa memutuskan, apakah akan menerima ungkapan perasaan Dion atau tidak. Tiga minggu ini banyak hal yang sudah terjadi. Bertemu stranger lewat grindr, mencicipi dunia malam, bahkan sampai melakukan threesome. Aku menikmatinya. Seru. Adrenalinku terpacu ketika melakukannya. Meski begitu, ternyata aku juga merindukan hari-hariku bersama Dion yang tenang dan tak menggebu.

Bersama Dion, aku sudah tak perlu membuktikan apa-apa. Aku tak perlu berusaha menjadi sempurna. Aku hadir. Sudah itu saja. Dion, dengan serta merta menerimaku apa adanya. Sementara ketika bertemu kenalan-kenalan baru, ada perasaan cemas dan khawatir. Aku takut mereka tak suka padaku.

Pagi ini aku senang sekaligus lega ketika mendapati nama Dion muncul di layar handphoneku. Aku menghela napas lega. Aku sempat uring-uringan karena menunggu pesan darinya namun terlalu gengsi untuk menghubungi lebih dulu. Hari ini ia memintaku membantu mempersiapkan perayaan anniversary pernikahan Pakdhe Sastro dan Budhe Ani. Aku senang karena malam ini akan bertemu dengannya lagi.

"Happy anniversary ya Pakdhe dan Budhe. Semoga selalu bahagia dan membahagiakan." Aku memberi selamat kepada keduanya. Kuberikan kado yang tadi aku dan Dion beli dalam perjalanan menuju ke rumahnya.

"Makasih Nak Andra. Aduh pakai repot-repot segala. Budhe itu udah bilang ke Dion nggak usah dirayain, tapi tetep aja susah dibilangin Dion itu." Cerita Budhe Ani panjang lebar. Sementara Pakdhe Sastro di sebelahnya hanya manggut-manggut sambil menyesap rokok kreteknya. Kulihat tangannya tak henti mengelus punggung tangan istrinya. Ah aku iri melihat kebersamaan dua orang sepuh ini. Di usia senja mereka masih saling mencintai.

"Saya ke taman dulu ya Budhe, Pakdhe, mau bantuin Dion." Aku pamit ke taman di pinggir kolam. Mereka mengangguk.

Di taman, Dion dan beberapa karyawan penginapan Omah Kepel sedang sibuk mempersiapkan acara perayaan anniversary Pakdhe dan Budhe yang ke-30. Kulihat ada juga Pedro si bule Spanyol, ia melambaikan tangan padaku. Aku membalasnya.

Sejak kakak-kakak sepupu Dion berkeluarga dan pindah ke luar kota bahkan luar negeri, anniversary Pakdhe dan Budhe tak pernah dirayakan lagi. Mumpung Dion masih tinggal di sini, dia ingin membuat perayaan untuk Pakdhe dan Budhenya tersebut. Ia mengundang beberapa teman dekat Pakdhe dan Budhe. Tamu-tamu penginapan juga turut serta meramaikannya.

Dion sedang sibuk memotong-motong bawang bombay dan wortel untuk pelengkap beef steak. Tangannya terampil seolah telah melakukannya ribuan kali. Kalau dipikir-pikir apa ya kurangnya Dion ini. Rajin salat, jago main gitar, suaranya bagus, bisa masak, pertemanannya luas dari berbagai negara, udah sering ke luar negeri juga. Tapi kenapa aku masih ragu?

"Ndra, bantuin nuang jus ke gelas-gelas ya.. " Dion memberikan instruksi sambil tersenyum. Senyum yang sama seperti ketika ku pertama kali bertemu dengannya.

"Siap" Jawabku.

"Nak Andra, kalau ada teman perempuan, mbok dikenalin itu ke Dion. Masak dari awal kuliah sampai sekarang Budhe nggak pernah lihat bawa pacarnya ke rumah." Budhe Ani menghampiriku yang sedang menuang orange juice ke gelas-gelas. "Lihat deh, ponakan Budhe itu high quality jomblo banget kan? Masak nggak ada cewek yang naksir?" Lanjutnya.

"Iya, budhe." Aku mengiyakan walau dalam hati merasa sedih. Budhe tidak tahu kalau keponakannya tidak tertarik pada perempuan. Tiba-tiba aku juga berpikir bagaimana dengan orang tua Dion, pasti mereka mengharap anak satu-satunya pada akhirnya akan menikah.

Tapi kalau dipikir-pikir masih lebih mendingan Dion, rolenya versatile, ia bisa jadi top, sementara aku selama ini selalu jadi bottom. Aku lebih nyaman menjadi pasif. Kalau Dion mau, dia masih bisa menikah dengan perempuan dan berpura-pura menjalani kehidupan layaknya laki-laki normal.

Sementara aku, bagaimana aku akan menikahi perempuan kalau aku lebih suka dientot daripada mengentot? Tiba-tiba aku galau memikirkan orang tuaku. Bagaimana kalau mereka tahu, anak laki-lakinya ternyata seorang gay?

Setelah isya, tamu-tamu mulai berdatangan. Mereka memberikan ucapan selamat kepada Pakdhe dan Budhe. Mereka menyantap makanan dan minuman yang telah disediakan. Kali ini makanan yang disediakan oleh Dion serba masakan barat, mulai dari beef steak, pasta, hingga creamy chicken soup. Kadang aku merasa kehidupan keluarga Dion ini seperti khayalan karena saking sempurnanya. Seperti keluarga di sinetron-sinetron yang ada di TV yang pernah kutonton.

“Coba icipin, enak ga?” Dion mengiris daging dan menyodorkan garpunya padaku. Aku sempat ragu. Kulihat ke sekeliling. Orang-orang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Aku pun menerima suapannya. 

“Enak” Jawabku. Ia pun tersenyum puas. 

Selagi tamu-tamu menikmati hidangan, Dion seperti biasa mesti melakukan tugasnya yang lain sebagai seorang seniman. Kali ini ia mendapatkan banyak request dari ibu-ibu dan bapak-bapak. Kebanyakan mereka meminta Dion menyanyikan lagu nostalgia, mulai dari The Beatles, Bee Gees, ABBA hingga Bimbo.

Di antara riuh tepuk tangan dan suara orang-orang menyanyi, ponselku berbunyi. Ada sebuah panggilan. Aku mengecek handphoneku. Ada nama yang berkedip di layar. Nama Mas Rendy yang terpampang. Ternyata aku tak menyadari sedari tadi ia mencoba menghubungiku. Tumben sekali, pikirku. Mas Rendy jarang menghubungiku. Percakapan whatsapp kami lebih sering dimulai karena aku yang kadang mengomentari status whatsappnya. Tentu karena aku yang penasaran dengan update kesehariannya.

"Halo.." Aku menyapa.

"Halo, Mas Andra?" Bukan suara Mas Rendy yang kudengar.

Panggilan tersebut ternyata dari orang yang mengantar Mas Rendy ke rumah sakit. Mas Rendy kecelakaan, saat ini belum sadar. Dion sepertinya melihat kepanikanku. Ia menghampiriku. Sementara Pedro menggantikannya menyanyi sambil memainkan gitar di depan. Kuceritakan apa yang sedang terjadi kepada Dion.

"Aku bisa naik Grab saja, Dion." kataku ketika Dion menawariku untuk mengantar ke rumah sakit dengan mobilnya.

"Nggak bisa, Ndra. Tadi aku yang jemput kamu, aku juga yang mesti anter kamu." Jawab Dion meyakinkanku.

"Tapi kamu masih ada acara kan, aku nggak enak sama Pakdhe dan Budhe." Jawabku.

"Udah nggak apa-apa, aku nggak mungkin biarin kamu panik terus pergi ke sana sendiri. Kalau kamu kenapa-kenapa di jalan gimana?" Jawab Dion cepat. Ia berpamitan pada Budhe dan Pakdhe lantas menarikku keluar dari kerumunan kemudian menuju ke mobilnya. Aku cuma bisa menurut.

Di dalam perjalanan, pikiranku kalut. Aku bingung. Mas Rendy kecelakaan. Saat ini belum sadar. Hanya itu yang terus terngiang di kepalaku. Dalam hati kuterus merapal doa. Aku sadar aku bukan orang yang taat beribadah, tapi kumohon Tuhan dengarkan doaku. Semoga Mas Rendy selamat. Semoga ia lekas siuman. Semoga ia tak kenapa-kenapa. Aku takut.

Dion berusaha menenangkanku. Sesekali ia menggenggam tanganku. Aku hanya bisa menatapnya dan tak tahu harus berkata apa-apa. Dalam keheningan kudengar dadaku berdetak begitu kencang.

Pikiran-pikiran buruk itu terlintas. Aku berusaha menepisnya namun ia terus muncul. Bagaimana kalau lukanya parah? Bagaimana kalau Mas Rendy meninggal? Apa yang harus kulakukan?

(Bersambung)

Boti-Boti ProblematikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang