Bab 18 - Rahasia Kami

788 23 0
                                    

Hari telah terang ketika Mas Rendy terbangun. Aku duduk di karpet bersandar pada divan sambil menonton Netflix. Mas Rendy terlihat mulai mengucek mata. Ia memandang ke sekeliling. Sepertinya ia masih menerka kenapa bisa terbangun di kamarku dalam keadaan setengah telanjang. 

“Ndra..” Mas Rendy memanggil begitu melihat keberadaanku. Suaranya masih terdengar serak. Matanya masih sayu.

“Mas Rendy, sudah bangun?” tanyaku. 

“Kepalaku pusing banget nih.” Keluhnya. Ia memijit-mijit pelipisnya. 

“Mau dibuatkan teh panas?” Aku menawarkan. Ia mengangguk. Kemudian ku bergegas pergi ke dapur. Aku membuat dua sekalian. Satu untukku dan satunya untuk Mas Rendy.

Ketika aku kembali ke kamar, Mas Rendy sudah duduk di ujung tempat tidur. Bersandar pada tembok. Selimut menutupi bagian bawah tubuhnya. Kuberikan segelas teh panas untuknya. Ia meraih kemudian meneguknya pelan. "Makasih Ndra." Katanya.

“Semalem apa yang terjadi ya?" Tanyanya. Dahinya sedikit berkerut. Sepertinya ia masih berusaha mengingat-ngingat.

“Semalem Mas Rendy pulang mabuk terus tiduran di depan. Aku nggak nemu kunci kamar Mas Rendy jadi kubawa ke sini. Mas Rendy juga muntah jadi kucopot kaos dan celananya karena kotor.” Jawabku. 

“Makasih ya, Ndra. Sorry udah ngrepotin.” Lanjutnya. 

“Oh iya, Mas. Nyantai saja.” Jawabku. Aku masih bertanya-tanya apa ia ingat sepenuhnya kejadian semalam atau tidak. 

“Terus aku ngapain aja di sini?” Tanyanya. 

Sepertinya ia mengingat sesuatu. Tapi aku takut untuk menceritakan semuanya. Aku takut ia akan salah paham. 

“Mas Rendy ingetnya apa?” Aku coba pancing balik dengan pertanyaan. 

“Semalem itu aku mimpi tentang mantan aku. Aku bingung antara mimpi atau nggak tapi terasa nyata banget. Aku having sex sama dia. Eh bukan sih, sebenarnya di mimpiku, aku memperkosa dia.” aku mengangguk-angguk. Ternyata itu yang ada di bayangan Mas Rendy. Memperkosa mantannya. Aku agak begidik ngeri membayangkan jika itu benar-benar terjadi.

“Cuman, samar-samar aku kok ngerasa bukan lagi sama mantan aku.. tapi kamu.. Ndra.” Ia agak ragu mengucapkannya. Jujur walaupun aku sudah menduga, tapi aku tetap kaget ketika ia menyebut namaku. 

“Oke, aku ceritain. Tapi Mas Rendy janji jangan marah ya.” Kataku. Ia mengangguk. 

“Semalem Mas Rendy nyebut nama Astrid. Dan sepertinya Mas Rendy salah ngira kalau aku ini Astrid. Aku udah berusaha melawan tapi tahu sendiri badan Mas Rendy gede banget. Aku kalah tenaga.” Aku menceritakan intinya saja. Tak kuceritakan bagaimana detail lengkapnya. “Dan ya Mas Rendy nindih aku kayak lagi having sex gitu.” Lanjutku.

“Bodoh.. Bodoh.. Goblok banget sih aku." Mas Rendy memukul-mukul kepalanya. Ia tampak sangat menyesal. 

“Udah nggak apa-apa, Mas. Aku maklum karena Mas Rendy lagi mabuk. Mas Rendy nggak sadar. Lupain aja ya.” Pintaku. 

“Nggak bisa Ndra. Aku seharusnya nggak melakukan itu. Sorry banget. Sorry banget. Aku nggak bermaksud untuk itu." Ia benar-benar menyesali kejadian semalem. Seandainya saja ia tahu, aku justru tak pernah menyesalinya, Mas Rendy. Aku bahkan dengan senang hati akan mengulangnya lagi jika kamu meminta. 

“Kamu boleh pukul aku, Ndra. Aku nggak ngerti gimana caranya harus minta maaf sama kamu." Kulihat matanya berkaca. Aku jadi merasa tidak tega melihat wajah sedihnya. 

“Sudah Mas lupain saja.” Aku coba mengalihkan pembicaraan. “Jadi yang namanya Astrid itu mantan Mas Rendy?"

Ia mengagguk. Kemudian melanjutkan cerita, “Salah satu alasan kenapa aku tak percaya cinta lagi sekarang”

Aku menunggunya melanjutkan cerita. Sedalam itu kah sakit yang dibuat oleh Astrid ini? 

“Dia selingkuh dengan sahabat aku sendiri. Dan mereka sekarang udah nikah.” Lanjutnya. Pasti Mas Rendy sangat mencintai mantannya. 

“Jadi itu alasannya Mas Rendy nggak mau lagi pacaran?” Tanyaku. 

“Iya, salah satunya. Dan ada alasan yang lain.” Jawabnya. Aku mengangguk dan menunggu alasan apa itu. 

“Kamu inget foto keluarga di kamarku?” Tanyanya.

"Yang foto berempat saat Mas Rendy wisuda? " Aku memastikan.

“Iya. Semua tak seindah yang ada di foto itu. Mama Papaku ternyata masing-masing punya selingkuhan. Di rumah saja mereka terlihat bahagia tapi ternyata mereka membohongi aku dan adikku."

“Mama punya piaraan brondong. Papa juga. Parahnya, selingkuhan Papa itu cowok, Ndra. Itulah sebabnya sampai sekarang aku benci banget dengan semua yang berhubungan dengan gay karena sudah merusak keluargaku.” Mas Rendy mengakhiri ceritanya. 

Entah kenapa dadaku terasa sesak mendengar penjelasan Mas Rendy. Pintu yang tadinya sedikit terbuka kini kukunci lagi. Tadinya aku sempat ingin jujur bahwa aku nyaman diperlakukan seperti semalam olehnya tapi kini kuurungkan. Aku tak siap dibenci oleh Mas Rendy. 

Sebelum pamit, Mas Rendy kembali minta maaf. Ia bangkit dari tempat tidur dan bergegas menuju ke kamarnya dengan mengenakan sarungku. Kulihat tubuh yang semalam menindihku itu hilang melewati pintu kamarku. Yang tersisa adalah perasaan kosong di dadaku yang tak bisa dijelaskan.

Pantas saja tak kutemukan kunci kamarnya di saku celana ternyata ia menyimpan kunci kamarnya ada di lubang ventilasi atas pintu. Dari dalam kamarku, kudengar obrolan Mas Rendy dan penghuni kos yang lain di koridor kos-kosan. 

“Hei, Bro ngapain pagi-pagi ke tempat Andra. Mana sarungan doang?” Dari suaranya aku tahu itu adalahMas Edi. 

“Semalem aku jackpot. Teler sampe muntah. Untung ditolongin Andra. Kalau tidak sudah tidur di luar.” Jawab Mas Rendy. Tentu saja ia tak menceritakan bagian memperkosaku. Biarlah itu jadi rahasia kami berdua. Aku pun tak akan menceritakan pada siapa-siapa, termasuk pada Dion.

“Kasian ya Andra. Bukan pacar, tapi harus ngurusin orang teler.” Sahut Mas Edi diikuti tawanya. Aku terkejut mendengar ia menyebutkan kata pacar. 

“Ya, masa aku pacaran sama laki, bro.” Timpal Mas Rendy. 

“Zaman sekarang yang penting kenikmatan bro. Yang penting ada lubangnya.” jawab Mas Edi yang lagi-lagi diikuti tawanya. Ada perasaan tak nyaman saat ku mendengarnya. 

“Anjing. Najis lo ya.” Sahut Mas Rendy. Dia ikut tertawa. 

“Daripada mabuk-mabukan mending kita cari cewek aja. Udah perlu ganti oli nih.” Ajak Mas Edi. 

“Siap. Atur aja.” Jawab Mas Rendy. 

Begitulah obrolan dua cowok straight ini. Perempuan sudah dianggap seperti barang. Jujur ini salah satu hal yang tak kusukai dari Mas Rendy. Trauma ternyata bisa mengubah seseorang menjadi sosok yang lain.

“Andra, gimana semalem?” Tiba-tiba kepala Mas Edi sudah melongok di pintu kamarku. Aku kaget. 

“Semalem, apanya Mas?” Jawabku. Benar-benar tidak tahu apa maksudnya. 

“Itu si Rendy, ngrepotin nggak?” Tanyanya. 

“Oh nggak Mas. Temen kos kan emang kudu saling bantu.” Jawabku. 

“Next kalau aku pulang mabuk, bantuin juga ya..” Lanjutnya sambil tersenyum. 

“Eh, iya, Mas..” Jawabku dengan sedikit kebingungan. Berbicara dengan Mas Edi kadang membuatku harus menerka-nerka apa maksudnya. 

Apa ya maksud perkataan Mas Edi, kenapa perasaanku menjadi tidak enak?

(Bersambung) 

Boti-Boti ProblematikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang