Bab 35 | Pemakaman

189 31 70
                                    

Ternyata nulis adegan sedih itu susah banget yaa

Salut buat para author yang berhasil bikin pembacanya nangis bombay!

Happy Reading ❤️

🍁🍁🍁

Karangan bunga dengan ucapan bela sungkawa berjejer rapi di ruas jalan sepanjang kediaman keluarga Hartawan. Tampak beberapa reporter berada di luar gerbang, meliput acara pemakaman yang dilaksanakan secara tertutup tersebut.

Nala tahu benar dia tak mungkin diijinkan masuk. Namun dia bersikeras ingin mengantar ayahnya ke peristirahatan terakhir beliau. Meski yang bisa dia lakukan hanya menunggu di mobil bersamaku, dua ratus meter dari rumah besar itu berada.

Gadis ini lebih banyak diam setelah bangun dari tidur panjangnya. Dia tengah memandang kosong ke rumah Ayahnya, menanti dengan sabar. Kugenggam tangan Nala yang terkulai lemah diantara pahanya. Dia menoleh ke arahku, mencoba memberikan senyum terbaiknya.

"Kita pulang, yuk!" ajakku lembut. Jujur saja, melihat Nala yang berpura-pura tegar membuatku tak tahan.

Dia menggeleng, masih dengan senyum sedihnya. "Aku pengen ngantar Ayah sampai ke makam. Boleh 'kan?" lirih Nala.

Baiklah. Mungkin ini cara Nala menghadapi takdir yang dijalani sekarang. Mungkin setelah ini, dia akan bisa mengikhlaskan kepergian Ayahnya.

Satu jam kemudian, ambulans yang aku yakini membawa jenazah Pak Danuar keluar dari gerbang yang terbuka lebar. Di belakangnya ada beberapa kendaraan lagi yang mengiringi keberangkatan beliau menuju peristirahatan terakhirnya.

Nala tercekat. Namun dengan kukuh dia berkata, "Ayo Kak!" memintaku untuk ikut iring-iringan di depan.

Sepanjang jalan Nala terlihat gelisah. Berkali-kali dia menggigit bibir bawahnya. Sesekali dia memejamkan mata kuat-kuat, mungkin sekedar menghalau suara sirine ambulans di depan yang meraung-raung.

Kami sampai di kompleks pemakaman dua puluh menit kemudian. Sekali lagi Nala harus cukup puas melihat prosesi pemakaman ayahnya dari kejauhan. Hingga ayahnya selesai disemayamkan, kulihat tinggal Tante Ira dan putrinya, Pak Doddy, dan tiga orang lain masih tertinggal disana. Meski dari jauh, bisa kurasakan kesedihan masih terasa pekat.

"Aku pengen kesana, Kak," lirih Nala. "Tapi aku takut," lanjutnya makin lirih.

Memang bukan ide bagus mendekati pusara, sementara masih ada Tante Ira. Sudah pasti Nala akan kembali disalahkan bahkan dilukai saat itu juga.

"Nanti, ya?" bujukku selembut mungkin. "Kita tunggu Tante Ira dan yang lainnya pulang. Nanti kita bisa doain Ayah kamu disana."

Penantian kami membuahkan hasil. Tak berapa lama Tante Ira dan yang lainnya bangkit dan berjalan menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari kami. Meski tidak terlampau dekat aku bisa melihat wajah wanita itu begitu pucat. Mau tak mau aku merasa iba meski kemarin aku begitu mengutuk perlakuan beliau terhadap Nala.

Aku mengajak Nala turun, berjalan menyusuri rerumputan menuju pusara sang ayah. Duduk berjongkok dekat makam yang basah, jari-jari Nala menyentuh nama ayahnya yang terukir pada nisan dengan gemetar.

Aku berjongkok di samping Nala. Menyentuh kepala gadis itu, seolah menyalurkan kekuatan. Bulir air mata mengalir ke wajah pucat Nala tanpa permisi. Dia menangis tanpa suara, bahkan isakannya sama sekali tak kudengar.

"Kita doain sama-sama yuk!" ajakku. Nala mengangguk. Tangannya yang bergetar menengadah, matanya terpejam, dalam hati merapalkan doa untuk sang ayah.

Langit hampir gelap ketika kami pergi. Nala lagi-lagi hanya diam, menatap kosong sepanjang perjalanan pulang. Sesekali aku usap pelan kepalanya, dan Nala akan menoleh. Tersenyum lembut seakan dia baik-baik saja.

Sad Things About RenalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang