1 | "Jangan Pergi."

26 6 0
                                    

Jika takdir sudah digariskan, bisakah aku menghapus garis itu dan membuat garisku sendiri?

***

Manu menyobek kalender kertas yang tergantung di dinding dekat fotonya saat purnawiyata SMA. Tanggal yang semula 22 Juni, kini menjadi 23 Juni.

"Ma, topiku matching, nggak, sama baju?" tanya Manu sembari tersenyum bergaya. Ia memakai topi rajut warna hitam dengan kaos berwarna senada bertulisan 'Keep Calm, Find Yourself'. Tidak lupa celana kargo hijau tua, lalu tubuhnya ia balut lagi dengan jaket hitam tebal.

"Kamu mau ke mana?" tanya sang mama dengan nada datar. Ia meletakkan sejenak rajutannya untuk melirik sang putra kandung. Ya, topi rajut itu adalah buatan sang mama. Namun, beliau tidak merespons gaya Manu tersebut.

Manu menatap heran wanita 37 tahun itu. "Loh, bukannya aku udah bilang kalau tanggal 23 Juni mau hiking?"

Mada, nama mama Manu, menatap dingin anak laki-laki satu-satunya itu. "Jangan pergi," ucapnya tegas dan terdengar tidak bisa dibantah.

Apa maksud mamanya itu? Manu sedikit tersinggung, tetapi tidak langsung membalas ucapan mamanya tersebut. Ia melirik tas carrier-nya yang berada di lantai ruang tamu dan disandarkan di kaki sofa. Berharap mamanya juga melihat dan mengerti.

"Nggak bisa. Manu udah izin sama Mama sejak sebulan yang lalu."

Ekspresi Mada tetap dingin dan tidak terlihat bercanda atau akan melunak sama sekali. Justru ia melengos, kembali sibuk berkutat dengan benang rajut warna-warni di tangannya.

"Kan, Manu udah izin ke Mama dari lama, kenapa baru sekarang bilang enggak boleh, sih, Ma?!" tanya Manu dengan nada lebih tinggi. Napasnya naik-turun, ia tidak bisa menahan emosi kalau sudah seperti ini.

Wanita yang ia sebut sebagai Mama itu selalu bersikap tidak jelas. Dalam keadaan apa pun selalu diam dan tiba-tiba pergi. Setidaknya, Manu butuh penjelasan dan alasan.

"Lagian berkali-kali Manu izin Mama enggak kasih jawaban, giliran udah mau berangkat baru bilang," protes Manu menggerutu. Ia melepas topi rajutnya, ia lipat dengan penuh kekesalan.

"Jangan pergi."

Lagi. Manu benar-benar kesal untuk saat ini. Ya, benar, ia sudah meminta izin sejak lama, tetapi mamanya tidak memberi jawaban. Lalu, sekarang sudah tinggal berangkat satu jam lagi, sudah ditunggu oleh teman-temannya, dan beliau melarangnya pergi?

"Ma! Aku udah ditungguin sama temen-temen!" seru Manu sembari mengibaskan topinya. "Pantes Mama ditinggalin Papa! Mama aja kayak gini! Siapa yang tahan sama sifat mengekang dan nggak jelas Mama ini?! Nggak ada! Emang pantesnya Mama itu sendiri!"

Mada berdiri dengan mata melotot dan mulut bergetar. Tangannya meletakkan rajutan di meja dengan kasar dan bersuara keras. "Diam kamu! Tahu apa kamu soal itu?!"

Manu terkesiap. Emosinya jadi semakin membara dibentak seperti itu. Suara Mada lebih tinggi dari biasanya ketika ia marah.

Laki-laki berusia 19 tahun itu menggendong tas carrier-nya, lalu pergi dari rumah. Langkahnya lebar-lebar dan setengah mengentak. Ia langsung mengendarai motor gedenya keluar dari pekarangan rumah. Tidak peduli mamanya di belakang sana terus memanggil namanya.

"Manu! Manu, jangan pergi!"

"Persetan," gumam Manu sembari memutar gas pol.

***

Dalam perjalanan, laki-laki itu terus terngiang larangan mamanya. Bahkan, sampai ia tidak fokus menyetir dan menyebabkannya hampir menabrak seseorang di depannya, juga beberapa kali ia diklakson dari belakang karena melanggar lalu lintas.

Growing PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang