Aku selalu suka melihat langit karena sederas apa pun ia menangis, pasti akan kembali cerah.
***
"Lo berantem sama siapa? Ini muka lo udah nggak berbentuk kayak gini gimana ceritanya coba? Lagian lo bisa diam aja nggak, sih? Nggak usah ngurusin hidup orang lain lagi. Kebiasaan atau gimana, sih?"
Setelah kemarin Manu tidak datang ke kos Mada karena lukanya masih baru, hari ini ia datang dan langsung mendapat omelan lebih panjang. Tidak berhenti di situ saja, masih ada ocehan lagi di belakang.
Menurut Mada, mengurusi hidup orang lain adalah kebiasaan Manu. Seandainya Mada tahu saja Manu melakukan itu karena dendam pada papanya dan pada dirinya sendiri di masa depan akibat tidak bisa menyelamatkan mamanya.
Manu meringis. Luka di wajahnya sedikit sakit ketika ia mencoba untuk tersenyum. Entah kapan terakhir ia diomeli oleh mamanya. Biasanya ia akan ngambek, balas mengomel, atau bahkan balik marah-marah. Ya, persis seperti terakhir sebelum tragedi itu. Namun, kali ini ia rindu omelan itu.
"Dengar nggak, sih? Ngapain ngeliatin mulu?" tanya Mada dengan nada kesal karena ia sudah menghabiskan banyak napas untuk memarahi Manu, tetapi laki-laki itu hanya diam memandanginya.
"Jangan pergi dulu," gumam Manu.
"Hah, lo ngomong apa barusan? Kecil banget suara lo. Masih sakit, ya, buat ngomong?"
Manu menggeleng pelan.
"Udahlah, Da. Naka berantem kali ini ada alasannya. Manggala aja hampir nggak bisa nahan emosi," ujar Isvara yang juga berada di kos Mada. Ia sedang memainkan ponselnya sembari selonjoran di kasur Mada. Tidak tahu diri sekali, pemiliknya saja duduk di kursi dengan anggunnya.
"Ya, emang kalau berurusan sama setan nggak bisa kalau nggak emosi."
Mendengar ucapan-ucapan mereka, Mada sedikit curiga. "Emang ada masalah apa di kampus?"
Ia jadi menyayangkan dirinya tidak lanjut kuliah lagi akibat masih belum sekuat itu. Tubuhnya sering lemas dan masih suka mual muntah, belum lagi rasa magernya kadang mengalahkan Isvara.
"Nggak. Nggak ada apa-apa, kok," jawab Isvara cepat dan terlihat mencurigakan.
Saat mereka sedang asyik bercanda sembari makan camilan, seseorang tengah memerhatikan kediaman Mada itu dari kejauhan. Mobilnya terparkir sedikit jauh sehingga tidak bisa melihat dengan jelas bagian dalam kos.
Orang itu menghela napas lebih dahulu sebelum memberanikan diri keluar dari mobil. Di tangannya ia memegang parsel buah-buahan segar dan cantik. Ia sedikit melonggarkan kerah bajunya, lalu berjalan mendekati pagar kos.
Hendak membuka pintu pagar, ia urung saat mendengar suara tawa dari dalam kos yang paling ujung bernomor 017 itu. Juga di depan pintu kos terdapat banyak sepatu-sepatu membuatnya segera berbalik badan.
Tak!
"Ouch!" Orang itu mengusap bagian belakang kepalanya yang terkena lemparan sesuatu. Menoleh, seseorang sedang menatapnya dari teras kos Mada.
Orang itu adalah Jay. Ia melihat Manu sedang asyik memakan kacang dan tadi jelas Manu-lah yang melempar satu polong kacang goreng itu ke kepalanya.
Mau tidak mau, Jay kembali karena tatapan Manu menyeramkan sekali. Ia membuka pintu pagar yang setinggi pinggangnya itu dengan wajah datar, lalu menutupnya kembali dengan tubuh membelakangi kos Mada. Berusaha terlihat sibuk dan mengulur waktu padahal pintu pagar itu bisa ditutup tanpa harus berbalik badan.
"Datang juga lo," sapa Manu dengan senyum miring ketika Jay sudah berada di hadapannya.
Wajah Jay bertambah masam, tetapi ia abaikan saja. Ia berdiri di depan pintu yang langsung mengundang perhatian tiga orang di dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Growing Pain
General FictionSetelah tragedi yang menimpa Manu dan menyebabkan dirinya koma itu, tiba-tiba ia kembali ke masa lalu di mana saat mamanya berusia 19 tahun. Ia bertemu dan menyaksikan secara langsung bagaimana cara mamanya bertahan hidup. Semua rasa sakit, kesedih...