23 | Tumbuh Semaunya Sendiri

3 1 0
                                    

Kalau hanya untuk pergi, jangan coba meninggalkan luka pada setiap yang kau datangi.

***

Baru menginjakkan kaki di kampus, Jay langsung ngacir menghindari Manu yang terlihat celingukan di tidak jauh dari tempatnya parkir mobil. Wajahnya sama sekali belum sembuh. Banyak perban dan plester yang menghiasi jadi terlihat seperti mumi. Belum lagi beberapa bagian yang tidak tertutupi perban terlihat lebam-lebam. Padahal sudah tiga hari dikompres air es selama ia di rumah saja tanpa ke kampus, tetapi belum kunjung sembuh juga.

Kalau sampai hari ini ketemu Manu lagi, firasatnya mengatakan dirinya akan benar-benar habis.

Ia segera menghubungi teman-teman dekatnya agar ia bisa berbaur dan Manu tidak bisa melihatnya dalam kerumunan. Namun, salah satu pun tidak ada yang berhasil ia hubungi.

Jay sangat fokus dengan ponsel di tangannya sehingga tidak menyadari Manu yang ternyata sudah berada di belakangnya.

"Mau lari ke mana?" tanya Manu.

Jay terkejut sampai hampir terjungkal. Beruntung ponselnya masih berada di genggaman. Ia mengelus dadanya pelan.

Melihat papanya ketakutan dengan dirinya itu, Manu tersenyum lebar. Memang belum puas, tetapi setidaknya ia berhasil membuat laki-laki itu mempunyai rasa takut.

"Lo nggak akan lari dari tanggung jawab, 'kan?" tanya Manu mengintimidasi.

Mata Jay melirik ke sana kemari, menghindari kontak langsung dengan Manu atau ia akan gila. Ia berdecak sebelum menjawab, "Gue nggak tau apa-apa. Mada hamil emang urusan gue? Emang dia hamil anak siapa? Kita udah lama putus kali."

Tangan Manu yang sudah melayang kali ini bisa dihentikan Jay tepat waktu. Laki-laki dengan tinggi tubuh tiga sentimeter lebih rendah dari Manu itu sudah menduga Manu akan langsung menghajarnya. Makanya ia dengan sangat siap siaga mencekal kepalan tangan Manu.

"Lo nggak usah pura-pura bego. Lo nggak bego dan lo tahu itu. Dengan sifat lo yang selalu pengecut kayak gini bikin lo dibenci sama anak lo sendiri nantinya," ujar Manu penuh penekanan di setiap kata-katanya.

Jay masih belum melepas cekalan tangannya pada tangan Manu. Ia berdecak. "Lo nggak usah berlagak jadi peramal dari masa depan, deh. Lo sendiri siapa emangnya, hah? Mada hamil salah dia sendiri kenapa bisa sampai gitu, 'kan?"

Manu mendengkus keras. Tidak menyangka kalimat itu keluar dari bibir papanya. "Wah! Lo cari mati? Gue bisa aja ngirim lo ke neraka sekarang juga! Gue nggak takut lo anak orang kaya atau gue bakal dipenjarain. Gue orang bebas."

Sementara tangan kanan Manu dicekal Jay, tangan kirinya menepuk keras bahu Jay. Ia bersiap hendak menendangkan lutut kakinya ke perut Jay.

"Udah gue bilang, gue nggak ada hubungan apa-apa sama itu. Bukan gue yang bikin Mada hamil!"

"Mau ngeles berapa kali lo, hah?!" teriak Manu. Ia langsung melepaskan cekalan tangan Jay dan memberikan laki-laki itu tendangan jarak dekat.

Namun, ternyata Jay tidak kalah jago dari Manu. Ia menangkap tendangan tersebut dan memelintir kaki Manu sehingga laki-laki itu jatuh ke tanah paving. Jay menang bisa berada di atas tubuh Manu. Ia mencekik leher Manu dengan satu lengannya yang berotot sehingga Manu tidak bisa bernapas ataupun membalas. Wajahnya memerah karena cekikan itu lama tidak dilepaskan.

Setelah dirasa Manu tidak akan mempunyai tenaga lagi, Jay melepaskan cekikannya. Ganti mencengkeram kerah kemeja Manu. Satu tangan kanannya ia pukulkan sebuah bogeman mentah ke pipi Manu.

"Udah gue tahan kemarin-kemarin nggak balas. Sekarang gue udah nggak tahan lagi. Lo udah bikin wajah gue kayak gini, nuduh gue ngehamilin anak orang, dan sekarang bilang mau bunuh gue? Jangan harap!"

Growing PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang