Jadi seperti ini rasanya menjadi alasan seseorang bertahan hidup?
***
Pagi-pagi Isvara sudah berada di depan pagar kos Mada. Namun, dahinya mengerut heran melihat sebuah mobil sudah terparkir lebih dahulu di pinggir jalan.
"Lo jalan kaki? Kasian banget."
Manggala dan Manu turun dari mobil langsung menyapa Isvara. Namun, karena sapaannya sangat tidak sopan, Isvara tidak membalas. Ia melengos, lalu masuk ke kos Mada tanpa mengetuk pintu lebih dahulu.
"Lah, cewek emang suka ngambek, ya," gumam Manggala yang mendapat timpukan pada kepalanya.
Manu menjauhkan tangannya dari kepala Manggala, lalu berjalan lebih dahulu.
Belum sempat mereka masuk, perempuan tadi sudah keluar bersama Mada yang kini terlihat semakin cantik. Manu dan Manggala sampai terbengong saking panglingnya.
"Eh, kalian berdua! Jadi numpangi kita ke kampus nggak, sih? Malah bengong gitu," gerutu Isvara memecah lamunan mereka.
Senyum Manggala melebar. Melihat perempuan secantik bidadari di hadapannya membuat semangat paginya menggebu. "Iya, dong. Ayo, silakan Tuan Putri boleh duduk di depan," ujar Manggala langsung membuka pintu mobil bagian samping kemudi.
Namun, dengan secepat kilat Manu lebih dahulu memasuki. Ia tidak akan membiarkan Mada duduk di samping laki-laki.
"Ck, emang lo tuan putrinya?"
Isvara mencebikkan bibir, membuka pintu untuk Mada, lalu ia memutari mobil dan duduk di samping Mada. Tidak lupa memastikan Mada aman, baik-baik saja, dan nyaman.
Siang itu, yang biasanya Mada sendirian ke mana-mana, bahkan ke kafetaria juga sendirian, kini bersama tiga teman barunya itu. Ia juga merasa terhibur dengan lelucon dari mereka. Meskipun ia agak kurang senang dengan perlakuan mereka yang membedakan karena ia hamil. Mereka menge-treat ia layaknya seorang putri yang apa-apa harus dilayani.
Contohnya; Manu yang selalu menatapnya intens dan selalu khawatir ia kenapa-kenapa, Isvara yang selalu mengingatkannya minum air putih banyak dan minum susu ibu hamil, juga Manggala yang selalu berusaha membuatnya tertawa.
"Sini, gue aja yang bawa." Manu meminta totebag Mada untuk ia bawakan.
"Bisa turunnya? Pelan-pelan." Saat Mada hendak turun dari mobil dan sudah dibukakan pintu oleh Manu. Telapak tangannya sudah siap di atas kepala Mada, menjaga kepala perempuan itu agar tidak terantuk pinggiran pintu mobil.
"Awas, jalan ini agak licin, lewat sini aja." Padahal jalan cuma basah sehabis hujan gerimis.
"Mau digendong aja nggak biar cepet dan nggak capek?" Ketika mereka di depan gerbang kampus menuju fakultas yang lumayan jauh dan jelas ditolak.
"Pasti capek, 'kan? Mau dipijit bentar nggak?" Baru sampai di depan fakultas doang, belum sampai kelas sudah Manu tawari.
Lalu, Isvara yang ke mana-mana membawa botol air mineral di tangannya. "Ini, minum air putih dulu abis jalan." Ya elah baru juga jalan lima menit.
"Makan yang banyak abis itu minum susu. Udah gue seduhin buat lo." Setelah mereka makan di kafetaria.
"Mada, gue bisa sulap, loh." Manggala tidak mau kalah, menunjukkan sulap abal-abalnya yang justru terlihat sangat payah.
"Lo tadi pas sarapan bubur aslinya bisa digedein atau dikecilin, loh. Soalnya bubur zoom zoom." Jokes receh bapak-bapak yang sama sekali tidak membuat Mada tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Growing Pain
General FictionSetelah tragedi yang menimpa Manu dan menyebabkan dirinya koma itu, tiba-tiba ia kembali ke masa lalu di mana saat mamanya berusia 19 tahun. Ia bertemu dan menyaksikan secara langsung bagaimana cara mamanya bertahan hidup. Semua rasa sakit, kesedih...