Setidaknya aku ingin tahu tanggal berapa dan hari apa rasa sakit ini akan berakhir?
***
Meskipun sedang tidak fokus dan banyak pikiran, Mada tetap tahu ada seseorang mengikutinya. Kakinya mengentak-entak pelan di tanah ketika sedang membaca buku di kursi taman kampus. Ia sedang berusaha pura-pura fokus pada bacaannya, berharap orang itu segera menyudahi acara kucing-kucingan ini.
Lagi pula bagaimana bisa Mada fokus membaca sedangkan pikirannya bercabang. Kepalanya terasa penuh. Suara-suara menggema dan berdesakan, semakin ramai saja pikirannya itu.
Bahkan, matanya sudah melirik sebaris kalimat di dalam buku itu, sudah ia baca berulang kali, tetapi tidak kunjung ia pahami maksudnya. Kalimat seserdahana: 'Jika tidak bisa memberi warna yang tepat, jangan mencoba memberinya warna'.
Apa?
Sepasang mata dari kejauhan itu terus mengintai setiap pergerakan Mada, maka ia membuka halaman berikutnya, seolah telah selesai pada halaman sebelumnya.
Ah, sepertinya sudah berakhir. Ia buru-buru menghilang begitu saja. Sebenarnya, napasnya sudah sangat tidak kuat jika harus terus berlari dan menghindar dengan waswas seperti ini. Ia lelah.
Lelah karena berlari dan lelah karena menanggung semua beban itu sendirian. Tidak ada tempat untuknya menyandar barang sejenak. Jika beban itu terlihat, mungkin saat ini ia akan tergeletak di bumi saking tidak kuatnya lagi.
Mada melihat sebuah mobil berhenti tidak jauh darinya. Ia masih berada di area kampus, tetapi rasanya sudah menjauh dari si pemilik sepasang mata yang mengintainya tadi.
Bukan mobil mewah keluaran terbaru itu saja yang membuatnya terpaku, tetapi seseorang yang keluar dari pintu kursi kemudi. Orang yang telah mengubahnya sampai sejauh ini.
Mata mereka bertemu untuk sesaat sebelum akhirnya Mada memutus kontak tersebut. Ia berlari lagi dan lagi. Sampai kapan? Sampai kapan ia akan terus berlari seperti ini?
Mungkin ini saatnya, batinnya. Saatnya gue harus mengucapkan selamat tinggal kepada dunia.
Sebelum itu, Mada mampir dulu ke sebuah warung untuk membeli air mineral. Ia tenggak sampai habis dalam sekali tarikan napas. Peluh bercucuran di pelipisnya. Ia menatap kosong botol kosong di tangannya, lalu membuangnya ke tempat sampah.
"Pelan-pelan, Neng, jangan memaksakan diri."
Mada termenung sejenak, melirik si pemilik warung yang mengucapkan kalimat tersebut.
Bahkan, untuk memahami kalimat itu juga ia butuh waktu. Siapa yang memaksakan diri? Saat ini, ia sudah berjanji untuk tidak memaksa menghindar dari bahaya yang selama ini selalu berusaha ia jauhi, kok. Ia tidak akan memaksa dirinya untuk terus bersembunyi lagi.
Setelah beristirahat sejenak, ia keluar dari warung kecil itu. Netranya langsung menangkap sosok itu. Dengan pura-pura tidak tahu, ia berjalan normal saja. Sosok itu awalnya sedang menoleh kanan-kiri mencarinya, kini pasti sudah mengetahui keberadaannya. Memang tidak susah menemukan punggungnya meskipun dari kejauhan dan di keramaian.
Benar, kali ini akan gue hadapi. Kalaupun gue bakal dihabisi di sana, semoga orang itu puas dan gue juga terbebas dari semua ini.
"Sebenarnya apa, sih, mau lo?!" tanya Mada dengan nada lantang setelah ia muncul dari balik lorong.
Selama beberapa saat, laki-laki itu hanya diam saja. Mada mulai berpikir apakah orang ini salah satu komplotan orang itu?
"Aku-saya ... gue! Lo ... kalau ada masalah boleh bilang ke gue. Gue-gue orang baik, tenang aja! Gue bukannya suka sama lo, tapi anggap aja gue sebagai keluarga lo yang bisa dengan bebas lo ceritain semua masalah lo. Lo nggak sendirian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Growing Pain
General FictionSetelah tragedi yang menimpa Manu dan menyebabkan dirinya koma itu, tiba-tiba ia kembali ke masa lalu di mana saat mamanya berusia 19 tahun. Ia bertemu dan menyaksikan secara langsung bagaimana cara mamanya bertahan hidup. Semua rasa sakit, kesedih...