Pikiran itu terus mengikutiku sampai mengganggu makan, tidur, dan kehidupanku.
***
Kepala Manu menyembul di balik tembok pagar sedada itu. Ia sengaja menundukkan tubuh agar tidak terlihat sedang mengintip.
Tadi setelah kehilangan jejak Mada lagi, Manu akhirnya berjalan ke arah perempuan itu pergi. Ia berbelok di persimpangan dekat lampu merah. Sebuah gang kecil yang lumayan ramai di sore hari. Ia dapati banyak sekali kos-kosan baik khusus putra, khusus putri, atau kos campuran. Hampir setiap rumah disewakan khusus untuk kos.
Namun, tidak sulit untuk mengetahui di mana mamanya itu tinggal karena ia tahu salah satu kebiasaan perempuan itu. Mada tipe orang yang perfeksionis. Sudah pasti ia akan memilih kos yang rapi dan bersih. Namun, ternyata banyak sekali kos yang seperti itu.
Hampir satu jam Manu hanya mondar-mandir di gang itu, tetapi tidak menemukan clue satu pun di sebelah mana Mada tinggal. Ia jadi tidak enak ditatap oleh beberapa gadis mengira ia memiliki maksud buruk karena sedari tadi tengak-tengok seperti anak ayam mencari induknya.
"Permisi, Mas," sapa seorang ibu-ibu bertubuh gempal memakai daster merah dengan rambut penuh roll pengeriting. Tangan kanannya membawa kipas dan dikibas-kibas di udara.
"I-iya?" Manu menoleh kanan-kiri. "Saya?" Tangannya menunjuk dirinya sendiri memastikan apakah ibu tersebut memanggilnya. Lebih tepatnya ia sudah tahu jika dipanggil, hanya sedang beralibi agar tidak begitu mencurigakan.
"Masnya mencurigakan sekali."
Duh.
"Memangnya mau cari apa? Atau cari siapa?"
Nah. Tidak mungkin juga, 'kan, kalau ia jawab jujur mencari perempuan bernama Mada Awahita? Bisa-bisa kalau ibu ini kenal dilaporkan ke Mada dan bisa jadi perempuan itu ilfeel dengannya. Belum lagi tanggapan orang sekitar yang saat ini tengah menguping di depan kos. Beberapa ada yang pura-pura sedang berbincang, ada yang pura-pura mengelap tembok, juga yang terang-terangan berdiri di depan pagar rumah mengamati mereka berdua. Kebanyakan, sih, para gadis mahasiswi.
"Saya mau cari kos buat semalam," jawab Manu asal.
Wanita yang tingginya tidak sampai sedada Manu itu ber'oh' ria sembari memandanginya dari atas ke bawah. Mungkin saat ini beliau sedang berpikir yang tidak-tidak.
"Bilang dari awal, dong, saya bantu cariin."
"Ibu pemilik kos-kosan?" tanya Manu basa-basi.
"Ya, tapi jangan di tempat saya!" tolak wanita itu cepat, padahal Manu baru bertanya apa. "Ehm, khusus cewek," imbuhnya cepat dengan agak salah tingkah.
"Oh," gumam Manu pelan.
Ia melihat sekeliling. Gadis-gadis yang tadi menguping sudah mulai pergi, tetapi masih ada beberapa yang meliriknya senyum-senyum.
"Sini, saya tawarkan ke kosnya Teh Anis." Ibu kos itu mengibaskan kipasnya memberi tanda agar Manu mengikuti ke arahnya berjalan.
Sesampainya di sebuah rumah berlantai tiga dan bercat biru muda, ibu kos itu masuk saja, lalu berbincang dengan seorang wanita yang lebih tua darinya. Tatapannya agak aneh saat berbicara. Apalagi bibirnya yang dipoles lipstik merah menyala itu sedikit menyeramkan bagi Manu.
"Nggak bisa. Udah penuh. Di tempat lo ajalah masih banyak longgar."
Samar-samar dari luar Manu mendengar suara Teh Anis yang menolak. Ia tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tatapannya masih mengerling liar. Hingga terpaku pada sebuah kos-kosan berbentuk perumahan yang berderet di depan sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Growing Pain
General FictionSetelah tragedi yang menimpa Manu dan menyebabkan dirinya koma itu, tiba-tiba ia kembali ke masa lalu di mana saat mamanya berusia 19 tahun. Ia bertemu dan menyaksikan secara langsung bagaimana cara mamanya bertahan hidup. Semua rasa sakit, kesedih...