20 | Semoga

4 2 0
                                    

Suara itu menghantuiku setiap malam. Selalu bertanya bagaimana kabarku hari ini. Apakah kabarku sudah sangat buruk, jika iya, ia ingin membawaku pergi.

***

"Lo ke mana aja, sih, gue telepon nggak lo angkat-angkat?!" cerocos Manu ketika melihat Manggala pertama kali keluar mobil setelah hampir tengah hari.

Baru saja memarkirkan mobil di pinggir jalan yang tidak seberapa lebar itu, Manggala datang dengan wajah masam. "Ke mana apanya, Bambang? Kelas lah!" ketus Manggala juga kesal baru datang langsung diomeli. Jangankan disapa baik-baik atau disambut, malah mendapat cerocosan seolah ia menghilang seabad lamanya.

"Mana ada! Lo pasti baru bangun tidur gara-gara semalem bergadang nonton anime!"

Laki-laki yang rambutnya tidak sampai menyentuh bahu dan hanya menggantung di bawah telinga itu menunjukkan ekspresi tidak setuju dan tidak percaya dituduh seperti itu. "Emang kenapa, sih? Bukannya baru di panggilan ketiga udah gue angkat? Sepenting itu lo? Berasa cewek gue aja lo."

"Ya, itu kelamaan, anjir!"

"Anjir apa, sih? Masih untung lo gue angkat, coba kalau gue biarin? Emang kenapa, sih? Panik banget kayak orang ngidam!" ketus Manggala. Manu marah-marah mulu padahal setelah dipanggil tadi Manggala langsung datang tanpa ba-bi-bu lagi.

"Iya, emang!"

"Emang apa?"

"Nih, Mada pengen bakso ikan, carinya di mana? Dari tadi gue udah coba muter-muter nemunya bakso sapi mulu. Si Isvara juga emang risetnya kurang berapa banyak, sih? Heran nggak balik-balik. Gue bingung Mada belum mau makan dari pagi. Udah gue coba kasih yang lain, dia nggak mau," jelas Manu panjang dengan satu tarikan napas tanpa jeda.

Manggala melongo terkesima. Bukan hanya karena Manu yang napasnya bisa tahan selama itu, tetapi juga karena Manu yang begitu bodoh menurutnya. Ia berdecak. "Ck, gitu doang! Sini gue cariin!"

"Lah, lo tau?" tanya Manu meremehkan.

"Noh, pembantu di rumah gue jago bikinnya!" jawab Manggala dengan bangga.

"Kok, lo nggak bilang? Harusnya, mah, dari tadi!" protes Manu kesal.

"Emang lo nanya?"

"Ya udah, suruh buatin yang banyak sekalian!" suruh Manu yang langsung ngacir ke dalam kos.

Manggala mencebikkan bibirnya kesal.

***

"Gue pengen apel itu," ujar Mada tiba-tiba.

Manu langsung mengupas satu apel dan mengirisnya jadi tidak begitu tebal agar Mada bisa dengan mudah menggigitnya.

Namun, makan satu iris saja ia sudah tidak mau lagi. Pikirannya masih tertuju pada bakso ikan yang ia idamkan.

"Mau bakso ikan," ujarnya lagi.

"Sabar dulu, ya, belum jadi." Manu menenangkan. Ia melirik Manggala yang diam saja tanpa konfirmasi sudah jadi atau belum.

"Iya, bentar lagi jadi, kok," imbuh Manggala. "Bibi gue lagi beli bahan-bahannya dulu—iya-iya, ampun, gue suruh dia cepet-cepet."

Manggala buru-buru keluar dari kos Mada untuk menghubungi pembantu rumah tangganya. Agak seram juga melihat wajah Manu seperti siap mengunyahnya hidup-hidup akibat ia berkata masih beli bahan-bahannya.

"Nggak mau, ah!"

Manu buru-buru menghampiri Mada, menenangkannya dengan mengelus bahunya agar mau bersabar sebentar. "Makan apel dulu aja, ya?"

Growing PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang