Jika kemarin-kemarin tidak bisa, maka hari ini pasti akan kuakhiri.
***
Isvara masih setia menunggu di rumah sakit, tetapi ekspresi wajahnya cemberut terus sejak pagi sampai lewat tengah hari. Hal itu disebabkan oleh Mada yang tidak menerima suapannya sama sekali. Makanan yang ia bawa sejak pagi, kini mulai dingin. Bahkan, susu dan air putih tidak juga tersentuh, tetap utuh di gelas masing-masing.
Manggala duduk di kursi agak jauh. Seruangan memang terdapat tiga kasur untuk tiga pasien, tetapi ruangan ini kebetulan ditempati oleh Mada sendiri.
"Da, seenggaknya lo makan sesuap, kek. Lo nggak lapar apa? Dokter udah bilang buat lo jaga kesehatan. Kalau gini terus, bay—bayar—" Isvara meralat ucapannya yang hampir keceplosan mengucapkan kata 'bayi', kemudian bingung mau mengganti dengan kata apa. "Eh, Manggala yang bayarin biaya rumah sakit lo jadi sia-sia."
Masih tidak ada jawaban dari bibir pucat Mada. Sedari pagi ia melamun, menatap luar jendela yang terdapat langit berawan, hanya berkedip, sesekali memejam, lalu membuka mata lagi. Ucapan demi ucapan Isvara seolah angin lalu yang tidak pernah mampir di telinganya.
Tiba-tiba, sebulir air mata mengalir di pipi perempuan itu. Ia masih belum sadar jika akhirnya ia bisa menangis karena yang ada di pikirannya adalah kosong.
"Ehm." Manggala berdeham, memberi isyarat untuk tidak membahas tentang biaya yang nantinya bisa membuat Mada semakin over thinking.
"Ayo, Da. Kali ini bubur, biar enak lo makannya tanpa ngunyah." Isvara menyendokkan bubur ayam yang masih agak hangat karena baru dibelikan oleh Manggala saat memasuki jam makan siang tadi. Ia menyodorkan sendok tersebut ke mulut Mada.
Bibir itu sama sekali tidak terbuka. Meskipun Isvara memaksa dengan memasukkan sendok, tetap saja terkatup rapat. Ia membiarkan bubur tersebut meluruh mengenai baju pasien rumah sakit yang ia kenakan.
"Mending lo makan dulu, deh, Is. Lo juga belum makan sedari pagi, 'kan?" tanya Manggala yang tahu hal itu.
"Mana bisa gue makan di saat teman gue lagi kacau gini. Ini juga salah gue yang sebelumnya kurang aware ke dia."
Manggala memang kurang tahu tentang hubungan dua perempuan itu. Ia hanya tahu dari cerita singkat Isvara waktu itu saat mereka pertama bertemu di depan kos Mada.
Laki-laki itu berdiri. "Gue mau cari Naka lagi," ujarnya.
Ya, sudah dua hari sejak itu dan Manu belum kembali. Sudah Manggala cari ke mana-mana, tetapi tidak ia temukan sama sekali. Meskipun sebenarnya yang ia maksud ke mana-mana adalah di area kos dan kampus saja.
Juga ucapannya barusan tidak benar-benar ia lakukan. Ia kehabisan ide ke tempat mana yang mungkin jadi tempat naungan Manu saat ini. Ia tidak pernah tahu latar belakang laki-laki itu dan dari mana asalnya. Selain itu, Manggala hanya ingin pergi dari suasana tidak mengenakkan di ruangan itu.
Sepeninggal Manggala, Isvara menghela napas panjang.
"Da, lo boleh nyalahin gue. Lo boleh ngamuk lagi ke gue, tapi lo harus kuat. Lo masih bisa bertahan sampai detik ini meskipun udah berkali-kali nyerah itu pasti ada alasannya. Pasti ada artinya. Lo harus, ehm, menjaga bayi itu. Gue bakal bantuin lo ke depannya. Lo boleh bersandar ke gue."
Kali ini, dua bulir air mata mengalir di kedua pipi Mada.
Isvara buru-buru menghapusnya, lalu menolehkan wajah perempuan itu ke hadapannya. Ia menangkupkan kedua tangannya di wajah Mada. "Da, lo kuat, kok. Lo bisa. Pasti. Ada gue. Yakin sama gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Growing Pain
General FictionSetelah tragedi yang menimpa Manu dan menyebabkan dirinya koma itu, tiba-tiba ia kembali ke masa lalu di mana saat mamanya berusia 19 tahun. Ia bertemu dan menyaksikan secara langsung bagaimana cara mamanya bertahan hidup. Semua rasa sakit, kesedih...