12 | Kehilangan Akar

8 2 0
                                    

Mengapa harus aku? Memangnya aku benar-benar punya kemampuan untuk menghadapi masalah itu?

***

"Sepertinya sesuatu baru aja terjadi."

Menyadari ucapannya sendiri, Manu segera bangkit dari tempat duduknya. Ia melepas masker yang sedari tadi mengganggu indra penciumannya. Matanya memberi isyarat kepada Manggala untuk segera mengikutinya.

Isvara dan owner kafe yang tadi berbincang, kini berhenti untuk menatap pergerakan Manu.

"Sorry, Is, gue sama Mangga mau pergi dulu ada urusan mendadak," ucap Manu dengan nada tergesa. "Buruan, Mang!"

"Loh, bukannya lo udah pesan, Ka?" Isvara menoleh ke belakang karena Manu sudah berdiri di belakangnya.

Begitu juga si owner kafe yang juga bertanya kebingungan. "Ini pesanannya gimana, Mas?"

"Lo makan sendiri aja, Is," jawab Manu cepat. Ia segera pergi dari sana dibuntuti oleh Manggala.

Baru sampai di pintu, Manggala menambahi jawaban Manu. "Lumayan lo dapat tiga porsi!" serunya kepada Isvara yang dibalas gerutuan dan cemberutan kesal perempuan itu.

Setelah cabut dari sana, Manu segera pergi mengikuti instingnya. Ia yakin sesuatu itu pasti sangat besar dan berhasil membuat Mada berada di titik terendah. Ia sangat yakin.

"Eh, Ka, tungguin gue, elah."

Manu berjalan dengan langkah besar-besar di trotoar jalan yang lumayan ramai. Terik matahari siang itu tidak membuatnya kesusahan sama sekali. Matanya tetap awas terhadap sekitar.

Bahkan, meskipun sedang sangat fokus, Manu tetap bisa melihat sebuah benda tergeletak di jalanan. Tali rambut berwarna biru langit yang tadi dipakai oleh Mada! Ia ingat dengan jelas rambut Mada digelung dengan tali rambut itu.

Benar, perempuan itu pasti berjalan ke arah sini.

Tiiinnnnn!

Suara klakson bersahutan mengalihkan atensinya. Ia menoleh ke jalan raya yang semakin padat saja padahal tengah hari. Mungkin memang jam istirahat siang, jadi begitu ramai.

Akan tetapi, yang menjadi pusat perhatiannya adalah seseorang yang sedang berdiri di tengah jalan. Rambut gelombang terurai itu menutupi setengah wajahnya—yang sama sekali tidak membuat Manu kesusahan mengenali.

"Man, itu cewek gila apa?!" tanya Manggala sembari menunjuk arah Mada. Namun, tunjukkannya ternyata kalah cepat karena Manu sudah berlari ke sana lebih dahulu.

"MAMA!" teriak Manu asal saja saking paniknya.

Laki-laki bertinggi badan 179 sentimeter itu membopong tubuh Mada begitu saja seolah memang seringan itu. Ia berjalan di tengah jalan sembari menyetop kendaraan, meminta untuk lewat sebentar saja.

Tepat ketika Manu sudah berada di pinggir jalan, sebuah taksi berhenti di hadapannya dengan pintu kursi belakang terbuka. Manggala berdiri di samping pintu, mempersilakan Manu memasukkan tubuh Mada ke sana.

Setelahnya, Manu duduk di samping Mada, sedangkan Manggala di samping kursi kemudi. Taksi melaju dengan kecepatan sedang.

***

"Kalian pergi."

Dua kata yang keluar dari bibir Mada itu menyentak Manu.

Memang, selama perjalanan tadi, mereka hanya diam. Manu diam-diam memerhatikan Mada yang menatap luar jendela. Manggala juga mencari topik, tetapi malah terdengar payah sekali.

Growing PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang